Mengulik Relevansi Usia dan Matinya Meritokrasi dalam Sistem Zonasi PPDB

Opini

Sistem zonasi yang berlaku saat ini menimbulkan pertanyaan perihal relevansinya untuk menambahkan syarat usia bagi para calon peserta didik.

Aspirasionline.com — Tiga tahun dari berjalannya pembaharuan sistem zonasi yang ikut memperhitungkan usia sebagai salah satu syarat masih mengundang banyak perdebatan di kalangan masyarakat, terutama para orang tua calon peserta didik yang mempertanyakan relevansi dari pencantuman usia ini.

Sebelumnya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilaksanakan dengan melihat hasil Ujian Nasional (UN) masing-masing peserta didik. Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristrek) memberlakukan aturan baru dalam menerima calon peserta didik baru dengan merevisi sistem zonasi.

Sistem zonasi memiliki gagasan mulia untuk menyamaratakan kesempatan setiap siswa untuk bersekolah tanpa melihat favorit atau tidaknya sekolah tersebut. Adapun maksud lain adalah tersiratnya usaha pemerintah untuk menyamaratakan kualitas sekolah di tiap-tiap daerah.

Akan tetapi, kemuliaan gagasan yang diusung oleh pemerintah mendapatkan banyak penolakan dari para orang tua calon peserta didik. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa pengadaan sistem zonasi ini malah merugikan kesempatan anak mereka untuk bisa bersekolah di tempat yang lebih unggul, terlebih pencantuman usia menjadi salah satu syarat ikut memperkecil peluang para calon peserta didik untuk memasuki sekolah tujuan mereka.

Sebelumnya, perlu kita pikirkan terlebih dahulu mengapa pemerintah memasukkan usia sebagai syarat dari sistem zonasi. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan  Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 dengan jelas menyebutkan bahwa usia ikut menjadi syarat dari diterimanya calon peserta didik. Permendikbud ini secara jelas juga menyatakan telah mengingat adanya Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Maka bisa kita sepakati bahwa permendikbud yang mengatur perihal zonasi ini sudah selaras dengan UUD 1945 terkait penjaminan kemakmuran rakyatnya. Tentu kemampuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya bisa memakmurkan mereka. Oleh karena itu, memasukkan usia sebagai syarat penerimaan bisa dipahami maksudnya yaitu untuk tetap bisa menyediakan pendidikan wajib tanpa memandang usia peserta didik.

Namun, kita kesampingkan hal itu terlebih dahulu. Pertanyaan baru muncul tentang bagaimana nasib calon peserta didik yang lebih muda dan terbukti memiliki kualitas kepintaran lebih baik dibandingkan calon peserta didik yang hanya sekadar lebih tua? 

Pemerintah seharusnya sudah memikirkan secara matang perihal perubahan teknis PPDB ini, seperti sejauh mana relevansi usia dijadikan syarat memasuki suatu sekolah. Niat baik untuk memberikan kesempatan belajar yang tidak memandang usia malah menjadi suatu pisau bermata dua dengan mengorbankan calon peserta didik yang lebih kompeten.

Hal ini juga bisa menjadi bahan evaluasi lain bahwa pendidikan Indonesia belum bisa menerapkan sistem pendidikan yang benar-benar “pendidikan”. Jika PPDB dilakukan dengan melihat jarak domisili calon peserta didik dan usia mereka, maka sangat terlihat bahwa sistem pendidikan Indonesia belum menerapkan apa “pendidikan” itu sebenarnya.

Kita akui bahwa perubahan yang terjadi merupakan salah satu usaha pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas sistem pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat negara perlu mendukung apa yang diusahakan oleh pihak pemerintah. Adapun dalam kasus ini, sikap kritis yang diberikan oleh masyarakat merupakan suatu bentuk dukungan.

Pemerintah semestinya mengetahui sebab apa masyarakat menolak perubahan sistem PPDB ini. Sebelumnya, prestasi memang menjadi acuan utama dalam menerima peserta didik baru, sehingga para orang tua peserta didik sangat mendorong anak-anak mereka untuk giat belajar agar mereka bisa memasuki sekolah favorit di daerah masing-masing.

Perlakuan tersebut tentunya untuk memberikan kualitas serta fasilitas pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. Karenanya, wajar jika banyak orang tua yang tidak setuju dengan perubahan sistem PPDB berdasarkan domisili dan usia calon peserta didik yang membuat anak-anak mereka kehilangan kesempatan untuk memasuki sekolah favorit tersebut.

Keinginan para orang tua calon peserta didik ini ikut membuktikan bahwa pemerataan sistem pendidikan terkait kualitas dan fasilitas suatu sekolah masih memerlukan banyak evaluasi. Sebetulnya, bilamana perubahan sistem PPDB ini dilakukan ketika sudah terpenuhi pemerataan tersebut, bisa dipastikan bahwa para orang tua calon peserta didik pun tidak akan keberatan.  

Hanya saja kembali lagi, tidak ada sistem yang sempurna. Harus kita sadari bahwa pemerintah sudah berusaha untuk memberikan kesempatan belajar sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia. Namun, alangkah baiknya pemberian kesempatan itu selaras dengan pemerataan kualitas pendidikan yang ditawarkan. Jangan sampai pembenahan yang telah dilakukan hanya membawa permasalahan baru di kemudian hari.  

 

Foto: pendaftaran.net

Penulis: Abdul Hamid, mahasiswa semester 2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPNVJ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *