Imbas dari pemangkasan anggaran terhadap Komnas Perempuan dikhawatirkan dapat melemahkan perlindungan hak asasi perempuan serta menghambat akses korban terhadap layanan pendampingan dan hukum.
Aspirasionline.com — Di tengah huru-hara politik Indonesia, pada 22 Januari 2025 lalu, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 (Inpres 1/2025) tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berdampak pada berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang memiliki wewenang terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan Indonesia dan berperan penting dalam memberikan perlindungan dan pendampingan terhadap korban kekerasan berbasis gender.
Melansir dari Komnasperempuan.go.id, kebijakan efisiensi memangkas anggaran menjadi Rp 28,9 miliar. Sementara, dana ini harus mencakup dua Program Prioritas Nasional (PPN), lima Program Prioritas Lembaga (PPL), serta biaya pegawai.
Ironisnya, di saat kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi masalah krusial, pemerintah justru memangkas anggaran yang kemungkinan berdampak akan melemahnya daya tanggap Komnas Perempuan dalam melindungi hak asasi perempuan.
Pemangkasan Anggaran Mempersempit Ruang Gerak Komnas Perempuan dalam Menjalankan Mandatnya
Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran Komnas Perempuan mengalami pasang surut. Selama ini, Komnas Perempuan beroperasi dengan anggaran yang tidak sebanding dengan meningkatnya kebutuhan penanganan kasus dan pemulihan korban.
Dilansir dari Komnasperempuan.go.id, dana yang berkurang hingga 75 persen membuat pelaksanaan PPN terkait Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) tidak dapat dilaksanakan.
Padahal, sebelum kebijakan ditetapkan, perempuan korban kekerasan sudah mengalami kendala dalam memperoleh hak perlindungan hukum dan pendampingan psikologis, ditetapkannya efisiensi anggaran dinilai memperburuk kondisi ini.
Namun, Alih-alih memperkuat perlindungan HAM, negara justru menjadi penghambat akses terhadap keadilan. Keputusan ini mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, pada konferensi pers pada tanggal 13 Februari 2025 menyatakan bahwa dengan adanya efisiensi anggaran tahun ini, Komnas Perempuan kembali tidak mampu melaksanakan tugas dari Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).
Pengurangan daya tanggap ini dikhawatirkan menghambat pencapaian agenda pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, terutama mengenai upaya transformasi sosial dan supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan perempuan.
Saat berbagai program lain menelan anggaran besar, pemotongan anggaran Komnas Perempuan menunjukkan adanya ketidakseimbangan prioritas. Perlindungan hak asasi perempuan seharusnya menjadi prioritas utama.
Padahal terhadap hak asasi perempuan, yang mencakup perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender dan akses terhadap keadilan, seharusnya tidak dipandang sebagai sektor yang bisa dipangkas anggarannya. Sebaliknya, sektor ini harus memadai guna menciptakan masyarakat yang setara dan bebas dari diskriminasi.
Tanpa perlindungan yang memadai, perempuan dan kelompok marginal lainnya sering kali menghadapi hambatan signifikan dalam mengakses hak-hak mereka.
Perlindungan ini bukan hanya soal menyediakan mekanisme hukum yang melindungi dari kekerasan atau diskriminasi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan bebas dari ketidaksetaraan yang mencegah partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Pemangkasan Anggaran Semakin Mencekik Korban Perempuan untuk Mendapatkan Perlindungan
Salah satu pengguna platform X, @slaychiizu, mengungkapkan kekesalannya terkait dampak efisiensi terhadap layanan pengaduan yang dinilai tutup terlalu dini serta berimbas pada penutupan layanan rumah aman.
Terlebih, keberadaan Komnas Perempuan yang hanya terletak di Jakarta menyebabkan korban perempuan dari daerah terpencil dan terluar, khususnya korban dari keluarga miskin dan minim informasi semakin sulit untuk dijangkau karena terbatasnya akses kepada layanan perlindungan, termasuk rumah aman.
Ditambah, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas 2023 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih rentan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual, alih-alih mendukung, kebijakan efisiensi ini justru mempersulit upaya perlindungan hukum bagi mereka.
Dalam penelitian berjudul Pemenuhan Hak Rumah Aman yang Aksesibel Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual di Yogyakarta oleh Imanda Nur Risma, ditemukan bahwa rumah aman yang tersedia belum sepenuhnya aksesibel, baik secara fisik maupun nonfisik.
Tidak adanya kebijakan yang secara khusus mengatur standar rumah aman aksesibel menandakan lemahnya perhatian pemerintah terhadap kelompok rentan.
Sehingga, Rentika, dkk., dalam artikel jurnal yang berjudul Implementasi Tugas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa Komnas Perempuan masih membutuhkan tambahan dana untuk menyediakan fasilitas dan transportasi bagi korban kekerasan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara masih abai dalam memenuhi hak-hak dasar perempuan yang justru memperlebar jurang ketidakadilan, terutama bagi kelompok rentan.
Jika pemerintah berkomitmen pada penegakan HAM, seharusnya anggaran ditingkatkan, bukannya dikurangi. Efisiensi tidak boleh dilakukan jika mengorbankan kelompok rentan terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan karena hal tersebut berisiko mempersulit keadaan.
Untuk tetap menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan terus mendesak Komisi XIII DPR RI agar mempertimbangkan penyesuaian anggaran dari Rp12,6 miliar menjadi Rp18,7 miliar guna memastikan layanan perlindungan dan pendampingan bagi korban tetap optimal.
Dengan ini, diharapkan Komnas Perempuan tetap berupaya mempertahankan layanan dan menjaga kepercayaan publik demi mendukung perempuan korban kekerasan dapat terpenuhi hak-haknya.
Foto: ASPIRASI
Reporter: Meelfha, Mg. | Editor: Azzahwa