Naiknya Angka Pengangguran dalam Pusaran Diskriminasi Usia Kerja

CategoriesOpini

Persyaratan usia maksimal dalam lowongan kerja mempersempit akses masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini jadi salah satu bentuk diskriminasi dan pembatasan usia turut menyumbang tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Aspirasionline.com – Dewasa ini, isu tingginya angka pengangguran di Indonesia kembali mencuat dan menjadi perhatian publik. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah kenyataan bahwa lowongan pekerjaan terbilang sempit. Ditambah lagi dengan praktiknya bahwa tak semua pencari kerja mendapat kesempatan untuk mengakses lowongan tersebut. 

Salah satu hambatan yang terus menghantui adalah batasan usia maksimal dalam seleksi tenaga kerja. Persyaratan ini sering kali menjadi penghalang bagi pencari kerja yang telah melewati usia tertentu, terlepas dari semangat dan kompetensi yang mereka miliki.

Bagi banyak perusahaan, usia pelamar seolah menjadi tolak ukur utama. Mereka yang berada di rentang usia 22 -25 tahun kerap menjadi kelompok yang paling diminati. Di luar rentang usia itu, kesempatan kian mengecil bahkan nyaris tertutup.

Jika pertimbangan yang ada dalam proses seleksi tenaga kerja selalu terpatahkan oleh usia yang tidak lagi belia, maka fenomena ini bisa menjadi penanda bahwa diskriminasi usia telah tumbuh dan perlahan mengakar dalam dunia pekerjaan. 

Alih-Alih Diukur dari Kompetensi, Usia Justru Menjadi Faktor Penghalang

Praktik rekrutmen sering kali memunculkan perlakuan yang tidak setara. Benar adanya bahwa umur berpengaruh terhadap tenaga dan fisik yang prima. Namun, tak sedikit pula perusahaan justru memasang persyaratan umur yang ketat untuk posisi-posisi yang tidak mengandalkan kekuatan fisik.

Isu mengenai pembatasan maksimal pelamar kerja menciptakan paradoks dari berbagai pihak. Pasalnya, banyak pencari kerja yang dinilai dirugikan karena kesempatan mereka untuk memperoleh pekerjaan semata-mata dibatasi oleh angka kelahiran. 

Meskipun keresahan pembatasan usia di dunia kerja menjadi bahan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2024 oleh pihak yang menilai pembatasan usia sebagai ketidakadilan. Berdasarkan dalam Putusan Nomor 35/PUU-XXII/2024, hakim memutuskan bahwa pemilik usaha memiliki hak menentukan syarat usia dan latar belakang pendidikan dan bukanlah merupakan tindakan diskriminatif.

Padahal, perlindungan hukum terhadap calon tenaga kerja juga tercantum dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan tepatnya Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak atas kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 

Menurut Hotmartua Simanullang dkk, dalam artikel jurnal berjudul Urgensi Pengaturan Mengenai Larangan Diskriminasi Usia dalam Proses Rekrutmen di Indonesia, menyebutkan bahwa pembatasan maksimal usia kerja merupakan bentuk dari diskriminasi usia sebab praktik ini mencederai hak-hak dari pencari kerja. 

Kedua dasar ini memperkuat bahwa praktik seperti pembatasan usia semestinya tidak lagi menjadi bagian dari mekanisme seleksi.

Dalam konteks pembatasan usia maksimal, alih-alih mempertimbangkan potensi yang ada pada individu, batasan usia justru menciptakan penghalang yang tidak relevan sehingga mereka yang menempuh pendidikan lebih lambat atau tertunda akibat berbagai kondisi seperti ekonomi, keluarga, dan situasi personal lainnya sering kali luput dari pertimbangan perusahaan dalam proses seleksi kerja.

Kondisi tersebut menjadi salah satu bukti bahwa perusahaan melihat ketidakmampuan sebagai akibat dari kekurangan pada individu, bukan dari faktor sistemik seperti pendidikan, pelatihan, atau kondisi sosial ekonomi. Mereka yang terlambat memasuki dunia kerja karena berbagai hambatan struktural justru menghadapi tantangan berlapis. 

Diskriminasi usia melanggengkan ketidaksetaraan status sosial para pencari kerja dalam mendapatkan kerja. Oleh karenanya, diskriminasi telah menjadi akar tersembunyi dari tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Hal ini diperkuat oleh tingginya angka pengangguran di Indonesia saat ini. Dilansir dari Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada usia produktif, yaitu rentang usia 15–64 tahun bernilai sebesar 4.91% per Agustus 2024. Artinya, dari sekitar 152 juta orang yang termasuk dalam angkatan kerja, ada sekitar 7,4 juta jiwa yang masih menanti kesempatan kerja.

Sering kali diabaikan dan terkesan sebagai data statistik semata, angka 7,4 juta jiwa tersebut termasuk juga mereka yang berada pada tahap hopeless atau putus asa ketika mengetahui usianya tidak lagi dapat menunjang kompetensi yang telah lama diperjuangkan. 

Diskriminasi Usia, Masalah Mengakar yang Terus Menjalar

Usia sering kali dijadikan parameter utama dalam menyaring pelamar kerja, seolah-olah mereka yang lebih tua pasti lebih lamban, kurang adaptif, atau sulit diarahkan. Menyederhanakan kemampuan seseorang hanya pada angka usia jelas merupakan pendekatan yang terlalu sempit dan mengabaikan kompleksitas latar belakang tiap individu.

Penerapan batas usia secara sepihak dalam proses perekrutan tenaga kerja mencerminkan praktik diskriminasi yang berlangsung secara sistematis. Individu tidak lagi dinilai berdasarkan keahlian dan kompetensinya, melainkan dari aspek biologis yang tidak dapat dikontrol seperti usia. Ini jelas bertentangan dengan asas keadilan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi landasan dalam dunia kerja.

Dalam Pasal 38 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) disebutkan secara tegas bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan yang layak sesuai dengan bakat, keterampilan, dan kemampuannya. Ketentuan ini seharusnya menjadi pijakan hukum bagi siapa pun untuk mengakses kesempatan kerja tanpa perlakuan diskriminatif.

Diperlukan kebijakan yang konkret agar perubahan benar-benar terjadi. Jika Indonesia serius meniadakan batasan usia tanpa dasar yang jelas, maka reformasi ketenagakerjaan bisa mulai bergerak menuju arah yang lebih setara. Langkah seperti ini bisa membuka peluang dalam menjamin hak tenaga kerja.

Sebagai contoh, Jerman menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang untuk tetap aktif dan dihargai dalam dunia kerja. Di sana, seseorang yang berusia 50 tahun tidak serta-merta dianggap ketinggalan atau kurang layak. 

Sistem ketenagakerjaan mereka berjalan di bawah aturan yang menekankan prinsip kesetaraan, di mana faktor seperti usia, jenis kelamin, ras, maupun latar belakang sosial tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak seseorang dari suatu pekerjaan. Komitmen tersebut bukan sekadar menjadi wacana pemerintah. 

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Giorgio Alfari dkk, yang berjudul Kepatuhan Pemerintah Jerman terhadap ICERD Dalam Upaya Pemberantasan Diskriminasi Rasial di Jerman (2020), pemerintah Jerman telah menegaskan bahwa segala bentuk diskriminasi termasuk diskriminasi usia, merupakan pelanggaran hukum yang dapat dibawa ke ranah pengadilan. Hasilnya, Jerman menjadi salah satu negara dengan tingkat pengangguran terendah di Eropa. 

Tentu saja, banyak faktor pendukung lainnya. Namun, inklusivitas dalam proses rekrutmen menjadi salah satu pilar penting untuk menekan angka pengangguran di suatu negara. Karena ketika kompetensi tak lagi jadi ukuran utama, diskriminasi pun menjelma jadi sistem yang sah.

Pengalaman Jerman menunjukkan bahwa usia bukanlah penghalang jika negara hadir melalui kebijakan-kebijakan yang dibentuk dan perusahaan menilai manusia berdasarkan kemampuannya. 

Indonesia pun bisa melangkah ke arah yang sama dimulai dengan reformasi kebijakan ketenagakerjaan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi anti-diskriminasi dan memastikan pelaksanaannya berjalan merata. Hanya dengan cara itu, sistem kerja yang adil dan setara bisa benar-benar terwujud.

 

Ilustrasi : Fadhel, Mg./ASPIRASI

Penulis: Fadhel, Mg. | Editor: Zhufar Athalla

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *