
Awal Mula Kesejahteraan Hewan
Setiap 15 Oktober, warga dunia memperingati hari hak asasi hewan. Peringatan ini merupakan langkah maju dalam memperjuangkan nasib hewan.
Aspirasionline.com — Istilah hak asasi hewan mulai populer sejak 1965 hingga awal 1970-an. Istilah ini dipopulerkan oleh Richard Ryder, Brigid Brophy, Ruth Harrison, dan Robert Garner.
Menurut Ryder, pembelaan terhadap hewan mulai muncul sejak 1635 saat di Eropa muncul gerakan membela domba-domba ternak yang bulunya dieksploitasi untuk dijadikan kain wol dan kuda yang buntutnya dipotong untuk bahan tekstil.
Sejak saat itulah, hingga akhir abad ke-19, wacana hak asasi terhadap hewan terus menjadi perbincangan oleh para filsuf, mulai dari Rene Descartes, John Locke, Immanuel Kant, Jean-Jacques Rousseau, dan Jeremy Bentha. Perdebatan itu berujung pada persamaan pendapat bahwa perlakuan terhadap hewan membutuhkan perhatian khusus dan perlakuan kejam kepada hewan sudah tidak sesuai lagi.
Pada 1965, Komisi Bramble di Inggris menjabarkan lima prinsip kebebasan satwa, yaitu bebas dari rasa haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas untuk berekspresi sesuai tingkah laku alami hewan, bebas dari rasa takut dan tertekan, bebas dari rasa sakit atau dilukai.
Kemudian pada 1970, Ryder memperkenalkan istilah speciesism atau spesiesisme. Menurut Oxford English Dictionary, speciesism adalah asumsi akan superioritas manusia yang mengarahkan pada eksploitasi hewan.
Istilah spesiesisme juga dipopulerkan oleh Profesor Bioethika Universitas Princeton Peter Singer, dalam bukunya Animal Liberation. Menurutnya, spesiesisme harus dihindari karena hewan juga merasakan rasa sakit yang sama seperti manusia. Untuk menghindarinya, manusia harus berpikir bahwa makhluk yang mirip dengannya secara relevan juga memiliki hak yang sama untuk hidup.
Hak Asasi Hewan
Dalam wawancara dengan The New York Times, Peter Singer mengatakan bahwa apabila spesiesisme dibandingkan dengan rasisme dulu maka saat ini kita berada di masa ketika perdagangan budak masih legal, meskipun ada suara yang menentangnya.
Kondisi kesejahteraan hewan di Indonesia juga tak jauh berbeda. Menurut Novi, kesejahteraan hewan di Indonesia berada di peringkat terakhir, yaitu Animal Protection. “Itupun masih ribut,” kata Novi.
Menurut Benfica, hak asasi terhadap hewan di Indonesia sendiri masih tabu. Namun, upaya perlindungan pada hewan agar tidak mengeksploitasinya secara berlebihan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Pada masa itu, kuda lah yang paling sering dieksploitasi karena dijadikan sebagai alat transportasi utama, terutama untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh kolonial.
Insiden eksploitasi yang berlebihan ini pada akhirnya melahirkan sebuah peraturan yang tertuang dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Perlindungan Hewan.
Senada dengan Benfica, Irma Hermawati mengatakan bahwa hak asasi hewan lebih sering didengungkan di luar negeri, terutama di negara-negara maju seperti Inggris dan Australia.
“Di Indonesia, perlindungan hewan masih kurang mendapat perhatian,” katanya kepada ASPIRASI saat diwawancarai pada Senin (4/6) lalu.
Irma merupakan salah satu anggota Wildlife Conservation Society (WCS) yang berfokus pada perlindungan satwa liar. Masih maraknya kasus kekerasan yang mengesampingkan hak asasi hewan dan eksistensi hukum yang belum masif menjadi landasan pendapatnya tersebut.
“Di luar negeri, hak asasi hewan berarti menyangkut hak kebebasan hewan, bebas kawin, hak berekspresi, dan bebas berperilaku sesuai perilaku habitat aslinya. Jadi seharusnya tidak ada tuh mereka dikandang. Mereka bebas hidup sesuai habitatnya,” kata Irma[.]
Reporter: Syahida Ayu