Sinergi Prakarsa dan Transparency International Indonesia Ajak Pemangku Kebijakan dalam Diskusi Perbaikan Sektor Perikanan

Nasional

Beragam temuan mengindikasikan perlunya perbaikan pada beberapa sektor perikanan. Berbagai instansi, baik negara maupun swasta, berembuk terkait kelanjutan dari tata kelola perikanan yang lebih baik. 

Aspirasionline.com – Sebagai negara yang bercita-cita menjadi poros maritim dunia, Indonesia ternyata belum mampu menangani urusan kemaritimannya secara komprehensif. Masih terdapat celah dan kemunculan persoalan tak terduga dalam kebijakan-kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Sebagai contoh, hasil penelitian tim Prakarsa, SD suatu lembaga penelitian dan advokasi kebijakan non-profit terkait kondisi sektor perikanan di kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa kebijakan pemberian dana insentif dari pemerintah untuk sektor perikanan malah menimbulkan sejumlah masalah baru kepada isu lingkungan di kawasan Asia Tenggara.

Melihat kondisi tersebut, Prakarsa bersama dengan Transparency International Indonesia (TII) mengadakan diskusi multipihak dengan harapan adanya perubahan kebijakan-kebijakan yang lebih baik di sektor kelautan Indonesia.

“Penting bagi kita untuk terus membicarakan tata kelola soal perikanan ini,” buka Danang Widiyoko selaku Sekretaris Jenderal TII pada sambutannya di agenda diskusi yang berlokasi di Le Meridien Hotel, Jakarta Pusat, pada Jumat, (15/3).

Adapun diskusi bertemakan “Tata Kelola Sektor Perikanan di Indonesia: Transparansi dan Upaya Perbaikan Kebijakan” ini turut dihadiri oleh para pemangku kebijakan, seperti perwakilan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan serta Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan (DKPP), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bayang-Bayang Eksploitasi dan Korupsi dalam Kebijakan Pemerintah

Pemberian insentif kepada masyarakat yang awalnya diniatkan untuk meningkatkan sektor perikanan, berbalik menjadi masalah baru ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa hal tersebut menyebabkan eksploitasi alam secara berlebih.

Hasil penelitian tim Prakarsa menemukan adanya korelasi penurunan kualitas perikanan Indonesia dengan adanya bantuan insentif tersebut.

“Ternyata insentif atau pun subsidi dari bantuan pemerintah juga bisa berkontribusi terhadap permasalahan ini,” ucap Farhan, salah satu peneliti dari Prakarsa, dalam paparannya pada Jumat, (15/3).

Eksploitasi ini terjadi akibat program maupun bantuan pemerintah yang mendorong kapasitas dari penangkapan ikan. Akibatnya, program ini justru menimbulkan penurunan kualitas dari stok cadangan perikanan yang ada di kawasan perairan Asia Tenggara.

Hal serupa juga ditemukan oleh salah satu peneliti TII, Bagus Pradana yang menjabarkan terdapat temuan berupa eksploitasi serta praktik korupsi yang dihasilkan dari kebijakan ekonomi biru yang dirumuskan oleh pemerintah.

Peneliti TII secara khusus mengamati daerah pesisir di Indonesia, yaitu di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. 

Dalam penelitiannya, mereka mengemukakan bahwa kegagalan tata kelola dalam sektor perikanan, serta praktik korupsi dan eksploitasi, berpengaruh kepada kemiskinan kelompok nelayan dan masyarakat pesisir.

“Ada kelindan (keterkaitan) korupsi dan eksploitasi laut di situ ternyata. Kami temukan di situ,” jelas Bagus terkait temuannya tersebut pada Jumat, (15/3). 

Bentuk nyata dari perilaku korupsi dan eksploitasi tersebut ditemukan dalam pembangunan objek wisata baru Makassar, yakni Central Point of Indonesia (CPI), dimana penjualan jutaan kubik pasir yang dikeruk guna mendirikan bangunan tersebut menandakan adanya korupsi penyimpanan dan penetapan harga jual pasir laut.

Perwakilan BKF yang turut hadir dalam kesempatan tersebut, Nurlaidi, menanggapi berbeda terkait temuan proses perdagangan pasir laut yang dipaparkan oleh tim peneliti TII tersebut.

Menurutnya, proses jual-beli pasir laut ini sah untuk dilakukan selama penjualan tersebut tidak dilakukan dengan cara diekspor. Hal ini dikarenakan pasir laut tercatat sebagai bagian dari hasil sedimentasi laut, bukan dari hasil tambang.

“Sementara ini, posisi pasir laut ini memang masih dilarang untuk diekspor, jadi kalau kita lihat dari kode HS-nya sendiri kan 25059000. Ini kan memang, pasir laut, pasir alam lainnya masuk kategori itu,” ucap Nurlaidi.

Pemenuhan Hak Asasi Manusia Masih Belum Terlaksana Secara Maksimal

Pada kesempatan yang sama, Eka Afrina selaku Manajer Penelitian dan Pengetahuan Prakarsa mengemukakan bahwa belum adanya pemenuhan hak pekerja secara optimal.

“Pemenuhan hak pekerja itu masih belum dapat optimal atau belum maksimal,” ungkapnya secara tegas.

Apa yang dikemukakan Eka kemudian didukung oleh hasil temuan dari tim peneliti Prakarsa dan TII yang menunjukkan bahwa hal tersebut memang benar adanya.

Prakarsa menemukan bahwa terdapat 2 dari 19 konvensi internasional yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Salah satu dari konvensi tersebut, yaitu ILO (International Labour Organization, red.) 190 yang membahas terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan kekerasan berbasis gender, lebih spesifik lagi terkait perlindungan perempuan.

Meski begitu, di skala nasional, pemerintah sudah memberikan wadah hukum yang melindungi perempuan secara khusus, yaitu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 88 Tahun 2003 tentang Pedoman, Pencegahan, dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja dan Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Seorang seniman sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dewi Candraningrum, ikut mengomentari perihal persoalan perempuan nelayan ini. 

Dewi mengatakan, dalam konstruksi sosial masyarakat sering menitikberatkan bahwa perempuan itu warga negara ke sekian dari status nelayan itu sendiri. Padahal, pada mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam itu mengakui status perempuan sebagai nelayan perempuan.

Di sisi lain, menurut Muhammad Iqbal selaku perwakilan DKPP, pemerintah sudah cukup andil dalam menangani isu HAM. Terbukti dengan adanya Peraturan Menteri No. 33 Tahun 2021 turunan dari Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

“Saya harus katakan istilah afirmasi dari pemerintah, kehadiran pemerintah bagaimana melindungi pekerja pada sektor penangkapan ikan,” tuturnya pada Jumat, (15/3).

Berselisih pendapat dengan apa yang disampaikan oleh Iqbal, Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan menganggap bahwa pemerintah belum memiliki tindakan yang jelas dalam sektor perikanan. 

Bagi Dani, pemerintah harus lebih menunjukkan perhatiannya kepada kaum-kaum terpinggirkan. Banyaknya subsidi perikanan yang diberikan oleh pemerintah kepada nelayan, sekitar 82% nelayan tidak mampu mengonsumsi subsidi tersebut.

“Harus punya justifikasi yang kuat bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia itu betul-betul dijukan bagi satu kelompok yang marjinal dalam struktur sosial masyarakat Indonesia,” pungkas Dani.

 

Foto: Abdul Hamid

Reporter: Abdul Hamid | Editor: Natasya Oktavia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *