Ancaman Demokrasi dan Kebebasan Sipil dalam Bayang-Bayang Militer di Indonesia

CategoriesNasional

Di tengah gelombang kritik dan penolakan, pengesahan RUU TNI dinilai membuka jalan bagi kembalinya kuasa militer di ruang sipil. Hal ini tak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga mencederai konstitusi dan semangat reformasi.

Aspirasionline.com — Ketok palu Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis, (20/3), yang berlangsung di tengah aksi protes masyarakat dalam menolak pengesahan RUU TNI mempertanyakan kembali transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. 

Sejak tahap penyusunan, RUU TNI telah menuai penolakan luas dari masyarakat. Proses yang dinilai tertutup dan minim partisipasi ini memicu kekhawatiran akan kembalinya bayang-bayang kuasa militer pada ranah sipil dan mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. 

Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menilai pembahasan RUU TNI dianggap  tidak mendesak untuk dibahas secara cepat sampai harus mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. 

“RUU TNI ini pada akhirnya dibahas dengan sangat cepat, ya, express. Tapi kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan mengabaikan prinsip demokrasi, prinsip partisipasi bermakna yang semestinya kemudian dipenuhi dalam setiap penyusunan regulasi, khususnya UU (Undang-Undang) oleh pemerintah dan DPR,” jelas  Arif saat diwawancarai ASPIRASI pada Minggu, (23/3).

Menurut Arif, pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara diam-diam berpotensi semakin cepat disahkan jika tidak mendapatkan tekanan dari masyarakat sipil. 

Berdasarkan penelusuran ASPIRASI, dilansir dari detikNews, penyergapan dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mereka menyergap pelaksanaan Rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI yang digelar secara tertutup di Hotel Fairmont pada Sabtu, (15/3).

“Kalau tidak diprotes dan ketahuan oleh teman-teman koalisi masyarakat sipil, ya mungkin pembahasannya bisa lebih cepat lagi gitu dan ini (pemerintahan) betul-betul presiden yang sangat buruk dalam penyusunan regulasi UU oleh pemerintah dan juga DPR,” tukas Arif. 

Tagar #TolakRUUTNI pun semakin ramai menggema di media sosial, pasca terungkapnya proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tersembunyi oleh DPR RI.

Intervensi Militer di Ranah Sipil yang Tertuang dalam UU TNI

Pengesahan RUU TNI menimbulkan kekhawatiran serius karena dinilai dapat membuka ruang intervensi militer yang lebih besar dan mengancam kebebasan sipil. 

Terlebih lagi, Arif menilai bahwa RUU TNI berpotensi menghambat merit system, atau sistem berdasarkan kompetensi serta berisiko mengganggu jalannya birokrasi di  

ranah sipil. 

“Yang mana itu (RUU TNI) akan mengganggu merit system atau sistem jenjang karir profesionalisme dan juga kualitas pelayanan publik di dalam birokrasi kementerian atau lembaga,” ujar Arif. 

Chikita Edrini Marpaung, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengungkapkan, tak hanya perluasan kewenangan di kelembagaan sipil, ikut campur TNI dalam ranah siber yang tercantum dalam naskah RUU TNI juga menjadi kekhawatiran.

“Karena ranah digital ini sangat multidimensi, terus kemudian punya multi-aktor yang mana platform-platform ini belum diatur ketentuan terkait dengan gimana sih prosedur untuk mereka bisa beroperasi di Indonesia, sejauh mana moderasi konten yang bisa mereka lakukan,” ungkap Chikita kepada ASPIRASI pada Kamis, (27/3).

Kondisi ini dijelaskan oleh Chikita dapat berpotensi mengembalikan situasi kemunduran demokrasi seperti masa tahun 98 ketika kebebasan berekspresi dibatasi.

“Bahkan enggak ada bedanya, kejadian zaman dulu tinggal dipindah aja. Lewat digital, doxxing. Jadi, lebih gampang untuk para aparat bisa melacak data-data kita,” tutur Chikita.

Benturan Pasal Konstitusi dan Menghilangkan Amanat Reformasi, UU TNI jadi Bentuk kemunduran Demokrasi 

RUU TNI juga dinilai bertentangan dengan konstitusi dan mengingkari semangat Reformasi 1998, yang menekankan pemisahan tegas antara TNI dan Polri sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)  Nomor 6 dan 7 Tahun 2000.

Arif menjelaskan, adanya perluasan wewenang militer di luar fungsi pertahanan negara mengaburkan pemisahan peran antara TNI dan Polri, yang tidak sejalan sesuai pasal konstitusi dan amanat reformasi yang ada. 

“Substansi RUU TNI ini justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI yg sudah didesain berdasarkan TAP MPR Nomor 6 dan 7, yang itu (regulasi) adalah mandat konstitusi. Sehingga bisa kita katakan bahwa substansi dari RUU TNI  bertentangan dengan konstitusi,” ujar Arif. 

Tak hanya itu, Chikita juga menegaskan bahwa hal ini menjadi bentuk kemunduran agenda reformasi ketika profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara perlahan hilang sebab semakin diperluas peranannya dalam ruang sipil. 

“TNI fokus sebagai tentara rakyat, tentara nasional, dan tentara profesional yang mengurusi pertahanan. Tidak boleh berbisnis, tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, tapi ini justru malah dikembalikan lagi seperti situasi di zaman Orde Baru (Orba). Ini sebuah kemunduran yang sangat patut untuk kita sesalkan,” pungkas Chika. 

 

Illustrasi : Najmi Fathya

Reporter : Najmi Fathya, Mg. | Editor : Azaliya Raysa

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *