Menakar Pelaksanaan MBG, Janji Gizi Anak Dipertanyakan

CategoriesOpini

Program MBG yang diluncurkan pada awal 2025 digadang-gadang sebagai solusi untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Namun, pelaksanaannya saat di lapangan justru memunculkan berbagai persoalan, mulai dari kualitas makanan yang dipertanyakan hingga pemangkasan dana anggaran pendidikan.

Aspirasionline.com –  Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dilaksanakan secara serentak di berbagai daerah pada Senin, (6/1). Program ini merupakan salah satu  janji politik Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan  menurunkan angka malnutrisi dan stunting anak-anak Indonesia. 

Selain untuk memastikan pemenuhan kebutuhan gizi sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional, program MBG juga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pemberdayaan lahan serta penyerapan tenaga kerja dari masyarakat di sekitar, khususnya melalui pelibatan aktif dalam Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 

Meskipun memiliki itikad baik dengan memfokuskan perbaikan gizi pada anak usia sekolah, sejak awal pelaksanaannya, program ini telah menuai kritik dari masyarakat. Kritik tersebut muncul karena program ini dinilai belum siap mulai dari pelaksanaan hingga lemahnya pengawasan dari pemerintah. 

Sejumlah kendala yang luput dari pandangan pemerintah seperti kasus keracunan, distribusi makanan kadaluarsa, penunggakan pembayaran mitra dapur MBG, serta turunnya pendapatan kantin sekolah merupakan dampak dari kurangnya mekanisme dan prosedur operasional program MBG.

Realitas Implementasi Kebijakan MBG, Gizi Anak Dipertanyakan

Dilansir dari Kompas.com, dalam berita yang berjudul Kasus Keracunan Makanan Bergizi Gratis Tak Bisa Disepelekan, sebanyak 342 siswa dan dua guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 35 Kota Bandung mengalami keracunan massal usai mengonsumsi menu MBG. 

Peristiwa ini mencerminkan lemahnya kontrol dalam pengelolaan kualitas makanan yang disajikan dan ketidakjelasan standar mutu makanan. 

Salah satu lembaga yang mengawasi berjalannya program MBG yakni Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai  bahwa penyebab terjadinya kasus keracunan di sejumlah daerah merupakan imbas dari menu MBG yang tidak memenuhi standar gizi dan kelayakan konsumsi.

Tak hanya dari sisi kualitas makanan, MBG juga bermasalah dalam pengelolaan dana. Sebelumnya diberitakan bahwa dana program MBG senilai hampir Rp1 miliar diduga digelapkan oleh sebuah yayasan mitra di Kalibata, Jakarta Selatan. 

Kasus ini mencuat setelah Ira Mesra, vendor dapur MBG Kalibata, melaporkan belum menerima pembayaran meskipun Badan Gizi Nasional (BGN) telah mentransfer dana ke yayasan tersebut.

Dilansir dari Kompas.com, dalam berita yang berjudul Vendor MBG Tak Dibayar, BGN Sudah Transfer ke Yayasan Mitra SPPG Kalibata, kasus ini akibat dari lemahnya sistem kontrol pemerintah terhadap mitra pelaksana. Ketika dana tidak sampai ke vendor, operasional dapur terhenti dan ribuan siswa kehilangan akses makan bergizi. 

Situasi ini memperkuat kritik bahwa MBG belum memiliki sistem pengawasan dan transparansi, sehingga mudah disalahgunakan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Yang lebih memprihatinkan, substansi program MBG kini kian menyusut. Hal ini ramai diperbincangkan di media sosial, salah satunya lewat unggahan akun X @murtadhaone1. Dalam unggahan tersebut, terlihat bahwa menjelang libur sekolah, paket MBG yang seharusnya berupa makan bergizi lengkap justru diganti menjadi beras sachet, roti, air mineral hingga snack (makanan ringan) kemasan.

Jauh dari narasi “makan bergizi gratis” yang selama ini digaungkan pemerintah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah sekadar roti dan air gelas bisa disebut sebagai pemenuhan gizi? Ketika realisasi program begitu jauh dari janji awal, wajar jika publik mulai menganggap MBG tak lebih dari proyek pencitraan politik yang minim substansi. 

Pangkas Anggaran Pendidikan Dinilai Bukan Suatu Urgensi

Masalah MBG tak hanya soal teknis di lapangan. Komisi X DPR mengungkap adanya pemangkasan anggaran di sektor pendidikan demi menambah alokasi dana MBG. Padahal, kualitas pendidikan nasional masih tertinggal dan membutuhkan perhatian serius.

Masalah kesejahteraan guru, rendahnya literasi, dan akses pendidikan yang tidak merata semestinya menjadi prioritas. Pemotongan anggaran pendidikan demi pembiayaan MBG yang tidak siap jelas mencerminkan salah urus kebijakan. 

Kualitas MBG semakin menurun, kasus tidak dibayarnya pekerja di dapur MBG membelenggu di tengah masyarakat. Dari realitas ini bisa disimpulkan apakah MBG masih menjadi urgensi sampai harus mengorbankan sektor esensial?

Menurut artikel jurnal yang ditulis oleh Dian Herdiana berjudul Implementasi Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG): Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat, anggaran MBG tahun 2025 mencapai Rp171 triliun.

Dengan jumlah sebesar itu, pemerintah seharusnya bisa memperbaiki ribuan sekolah, meningkatkan gaji guru, dan menjamin pendidikan gratis di seluruh Indonesia. Alokasikan anggaran negara ke program yang lebih berdampak luas, bukan malah memaksakan program yang belum matang.

Apabila pemerintah betul-betul serius menjalankan program ini, maka evaluasi menyeluruh harus dilakukan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan. 

Fokus kebijakan seharusnya diarahkan pada wilayah dengan prevalensi gizi buruk yang tinggi, bukan disamaratakan ke seluruh daerah. 

Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan serta memastikan transparansi dalam pengelolaan anggaran. Tanpa pembenahan yang mendasar, program MBG hanya akan menjadi proyek berskala besar dengan dampak yang tidak sepadan.

 

Reporter: Rasyid Hilmy

Editor: Ummu Hanni

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *