
Polemik iPhone 16 Dilarang di Indonesia, Tren Konsumtif Masyarakat Meningkat di Pasar Luar Negeri
Pelarangan penjualan iPhone 16 tidak menghalangi masyarakat untuk mendapatkannya, tetapi justru meningkatkan tren konsumtif masyarakat Indonesia terhadap belanja produk luar negeri.
Aspirasionline.com – Memasuki era teknologi yang semua sudah serba canggih, ponsel telah menjadi kebutuhan utama banyak orang. Menggenggam ponsel ibarat kita sedang menggenggam dunia, karena semua informasi yang ada di seluruh dunia dapat diakses hanya dengan satu genggaman tangan.
Sejatinya, setiap ponsel yang diproduksi di setiap perusahaan memiliki fungsi utama yang serupa, yakni untuk melakukan pertukaran informasi, kemudahan akses digital, serta media untuk berkarya. Dengan ini, banyak brand yang mulai memproduksi ponsel pintar dan berlomba-lomba menciptakan fitur unik dan inovatif yang membedakan produk mereka di pasar.
Bagi sebagian besar masyarakat, ponsel menjadi bagian dari gaya hidup, sehingga banyak masyarakat menggunakan ponsel dari salah satu brand, yaitu Apple yang merupakan salah satu brand yang paling laris penjualannya.
Penjualan produk ini terus melesat karena menawarkan fitur-fitur canggih yang memanjakan penggunanya, serta citra eksklusif yang membuatnya populer di media sosial. Namun, tak jarang masyarakat membeli ponsel dari Apple hanya untuk pemenuhan gengsi semata.
Keberadaan iPhone sering kali dijadikan simbol status sosial, ketika kepemilikannya dianggap mampu meningkatkan citra diri di mata orang lain.
Keterkaitan Popularitas iPhone dan Daya Konsumsi Masyarakat yang Meningkat
Peluncuran produk terbaru Apple, iPhone 16, telah menarik minat masyarakat Indonesia. Namun, sayang seribu sayang, berdasarkan laporan resmi Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan bahwa Sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) milik Apple di Indonesia telah habis masa berlakunya.
Dengan ini, pemerintah Indonesia tidak bisa merilis International Mobile Equipment Identity (IMEI) untuk seri iPhone terbaru tersebut.
Ditambah, Apple harus melunaskan komitmen investasinya sebesar Rp1,71 triliun yang sampai saat ini baru terlunasi sebesar Rp1,48 triliun, dengan artian, Apple masih memiliki hutang investasi sebesar Rp240 miliar.
Lebih lanjut, Apple merupakan satu-satunya brand gadget yang tidak memiliki lahan produksi sendiri di Indonesia. Bahkan, Apple mengajukan perjanjian kapitalis yang meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan pembebasan pajak (tax holiday) selama 50 tahun demi dapat membangun pabriknya di sini.
Jika hal ini terjadi, dapat dianalogikan sebagai praktik penjajahan secara tidak langsung. Apple akan sangat diuntungkan, mengingat daya konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk Apple sangat tinggi, sementara pihak Apple tidak perlu membayar pajak wajib selama 50 tahun kedepan.
Mengambil langkah tegas, Pemerintah Indonesia melalui Kemenperin menahan izin penjualan Iphone 16 di Indonesia. Langkah ini menjadikan produk gadget terbaru yang dirilis Apple dilarang masuk dan beredar di Indonesia, sampai Apple memenuhi kewajibannya.
Meski begitu, pembelian produk tersebut masih diperbolehkan dengan syarat hanya untuk penggunaan pribadi. Tercatat bahwa ada 9 ribu orang yang telah membeli iPhone 16 dengan tujuan pemakaian pribadi, mayoritas masyarakat membeli produk Apple seri ini dengan membelinya di luar negeri saat berlibur.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung memiliki sifat konsumtif sebab biarpun pembelian iPhone 16 sudah diperingatkan hingga dilarang oleh pemerintah, masyarakat tetap saja ingin membelinya hingga rela untuk pergi ke luar negeri.
Merujuk pada artikel jurnal berjudul “Studi Komparasi Self-Esteem Pengguna Iphone dan Bukan Pengguna Iphone pada Remaja” oleh Azhar El Hami dan Asep Ahmad Sidik, kebanyakan pengguna iPhone merasa akan sangat terpandang bila mereka menggunakan produk tersebut.
Terlebih, pengguna ponsel di Indonesia didominasi oleh kalangan remaja. Dalam artikel berbasis data statistik, GoodStats, oleh Naomi Adisty berjudul “Mengulik Perkembangan Penggunaan Smartphone di Indonesia” tercantum bahwa penggunaan smartphone paling banyak dari kelompok usia pada rentang usia 20-29 tahun sebesar 75,95 persen.
Hal tersebut semakin mendukung bahwa kebanyakan remaja dibentuk oleh lingkungan dan cenderung mengutamakan gengsi untuk memenuhi standar sosialnya.
Sebetulnya, usaha-usaha masyarakat untuk berlomba membeli iPhone bukan hanya sebatas gengsi saja. Perilaku konsumtif yang digerakkan karena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi faktor masyarakat membeli iPhone 16.
Kemudian, alasan kualitas juga menjadi penguat dan hadir antara persimpangan untuk memenuhi gengsi dan tampil di media sosial.
Berakar dari dampak negatif terhadap ketergantungan produk impor, sikap FOMO masyarakat terhadap iPhone membuat Apple semakin mengembangkan strategi pemasarannya agar produknya semakin terjual. Kendati demikian, hal ini menyebabkan dominasi Apple yang berujung pada ketimpangan dagang.
Menurut Achmad Zulfikar Fazli dalam artikel berita berjudul “Ada Ketimpangan Pendapatan dan Investasi di Indonesia, Apple Diminta Bertanggung Jawab” di situs Metrotvnews, mengungkapkan bahwa ada ketimpangan kontribusi Apple terhadap perekonomian Indonesia. Minimnya kontribusi Apple dalam perekonomian menunjukkan rendahnya tanggung jawab sosial Apple terhadap Indonesia.
Dengan ini, terdapat pandangan bahwa menyebarnya produk Apple seperti telah menjajah ekonomi dan sosial negara. Masyarakat seharusnya menjadi lebih sadar terhadap kondisi ekonomi dan sosial negara bukan hanya sekedar konsumtif dan mengikuti gaya hidup saja.
Menjaga kestabilan ekonomi harus dimulai dari tiap-tiap warga dengan melaksanakan langkah baik yang tidak merugikan negara dengan bersikap lebih bijak dalam memilih barang impor, mengurangi pembeliannya dan stop bersikap konsumtif.
Ilustrasi: Nazriel
Penulis: Nazriel Mg.| Editor: Ihfadzillah Yahfadzka