Menyibak Aspek Hukum Penangkapan Mahasiswa ITB dalam Kritiknya melalui Meme AI

CategoriesNasionalTagged , ,

Peristiwa penangkapan mahasiswi ITB menunjukkan indikasi potensi penyalahgunaan  kewenangan. Reaksi aparat hukum terhadap kritik dapat berdampak jangka panjang pada keberanian publik untuk mengemukakan kritik politik.

Aspirasionline.com Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan dengan kabar penangkapan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berinisial SSS (nama samaran) oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polisi Republik Indonesia (Polri) di indekosnya di Jatinangor, Jawa Barat pada Selasa, (6/5). 

Dibekuknya SSS merupakan buntut dari postingan meme yang dibuat dengan Artificial Intelligence (AI) dan memuat gambar adegan romantis antara mantan presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo dengan presiden kedelapan Indonesia, Prabowo Subianto.

Dikutip dari Kompas.id SSS terjerat Pasal 45 Ayat (1) juncto (dihubungkan dengan) Pasal 27 Ayat (1)  Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang kesusilaan serta Pasal 51 Ayat (1) juncto Pasal 35 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE tentang manipulasi konten yang mengancamnya. 

Insiden penangkapan tersebut menuai banyak respon dari kalangan masyarakat. Banyak pihak, termasuk pegiat kebebasan berekspresi dan akademisi hukum yang menyayangkan langkah aparat. 

Menurut Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), penahanan SSS merupakan bentuk pembungkaman ekspresi dan kriminalisasi. 

Nenden juga menambahkan, satir masyarakat yang ditujukan kepada pemerintah dalam bentuk meme atau bentuk lainnya merupakan bagian dari ekspresi yang harus bisa dilindungi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Nah, sebetulnya satir dalam bentuk meme atau dalam bentuk lainnya harusnya itu merupakan bagian dari ekspresi yang harus bisa dilindungi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia,” terang Nenden kepada ASPIRASI saat diwawancarai daring melalui Google Meet pada Jumat, (13/6). 

Menilai Kecukupan Unsur Pidana dalam Tindak Kritik Digital

Satir yang dibawa oleh SSS dengan gambar dua laki-laki berciuman sebenarnya merupakan salah satu bentuk kritik yang sudah beredar lama soal fraternal kiss (ciuman persaudaraan).  Hal ini dijelaskan oleh Nenden sebagai kritik atas “kemesraan kekuasaan”.

Nah, dalam konteks kasus ini, ini kan satirnya juga bukan sesuatu yang baru, ya. Jadi, kayak gambar orang dua laki-laki berciuman itu kan sebenarnya salah satu dari bentuk kritik yang sudah beredar lama soal fraternal kiss yang menunjukkan bagaimana kemesraan kekuasaan,”  terang Nenden kepada ASPIRASI saat diwawancarai daring melalui Google Meet pada Jumat, (13/6).

Nenden juga menegaskan, jika dilihat dari pengenaan pasal terhadap SSS terkesan dipaksakan mendatangkan adanya indikasi bahwa terjadi pola relasi kekuasaan dalam penangkapan SSS yang terlihat jelas adanya pola relasi kekuasaan dikarenakan objek yang dikritik adalah pemimpin negara.

“Presiden dan mantan presiden yang memang punya kuasa yang sangat besar gitu untuk menggunakan alat-alat negara misalnya, atau mereka punya resource (sumber daya) yang sangat besar juga gitu, bisa dengan mudah mengerahkan aparat penegak hukum misalnya, atau misalnya lebih jauh juga karena ada uang gitu dan ada resource lainnya,” ucapnya.

Rizki Yudha Prawira, Dosen Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), berpendapat bahwa meskipun Pasal 27 Ayat (1) UU ITE jadi batasan mengenai pelanggaran kesusilaan, akan tetapi perlu diingat juga bahwa masyarakat tetap memiliki hak untuk berekspresi. 

Nah, maksud saya, bahwa itu (Pasal 27 Ayat (1) UU ITE) jadi batasannya. Tetapi kita tidak bisa melihat itu secara tunggal, jangan lupa ada yang namanya unsur ya, ada yang namanya unsur atau hak kita berpendapat atau hak kita menyampaikan ekspresi politik,”  ucapnya saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Rabu, (4/6).

Rizki menambahkan, dalam hukum pidana terdapat dua aspek penting, yakni mens rea (niat jahat) sebagai niat jahat serta actus reus (tindakan fisik) sebagai bentuk perlakuannya.

Berangkat dari dua aspek tersebut, maka suatu perbuatan baru bisa dipidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus yang dalam kasus meme ini nilainya tidak terpenuhi.

“Kalau kita lihat mens rea, kita bisa lihat niat ketika dia ada kontekstualisasi di sana, ketika ada yang coba disampaikan, dan hal tersebut juga jadi hal yang dinamika di negara ini, kenapa harus dilakukan pendekatan pidana,” jelas Rizki.

Dampak Jangka Panjang terhadap Kebebasan Berekspresi dan Demokrasi 

Implikasi dari relasi kuasa ini tak berhenti pada kasus SSS semata. Lebih jauh, terdapat pula kekhawatiran akan dampaknya terhadap kebebasan berekspresi dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Damar Juniarto, direktur eksekutif SAFEnet mengungkapkan, bahwa konsekuensi dari penangkapan SSS ini sangat besar, karena apapun yang masyarakat lakukan akan mendapat penilaian penuh dari orang sekitar yang jika tidak sesuai menurut aparat, akhirnya akan berujung dengan penangkapan.

“Apapun yang kita lakukan itu sangat penuh dengan penilaian dari orang-orang, yang kalau tidak sesuai dengan aparat penegak hukum akhirnya akan berujung dengan penangkapan,” tutur Damar diwawancara ASPIRASI melalui Google Meet pada Kamis, (22/5).

Rizki pun turut menyampaikan kekhawatirannya akibat dari peristiwa penangkapan mahasiswa ITB ini yang akan menimbulkan chilling effect (efek kejut) di masa mendatang bagi siapapun yang ingin menyampaikan kritik politik di berbagai platform.

“Ada potensi kritik-kritik atau bentuk kritik lainnya, yang dimana zaman saat ini medianya itu udah banyak banget untuk platform menyampaikan kritik, itu akan menimbulkan sebuah efek kejut atau efek takut pada orang-orang untuk memberikan kritik,” ungkapnya.

Tak hanya berdampak buruk di masa depan, menurut Nenden, kasus ini juga memungkinkan banyak masyarakat akan melakukan self-censorship (sensor diri), maka kontrol terhadap negara atau kontrol terhadap pemerintah bisa berkurang yang mengakibatkan turunnya kualitas demokrasi di Indonesia. 

“Dan ketika kontrol negara semakin melemah ya, lebih jauhnya, jangka jauhnya itu akan berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi Indonesia,” ungkap Nenden penuh cemas.

 

Reporter : Ghasya, Mg.

Editor : Khaila

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *