Judul: Parasite
Sutradara: Bong Joon Ho
Genre: Comedy, Drama, Thriller, Horror
Tahun rilis: 2019
Durasi: 131 Menit
Enam tahun sejak perilisannya, Film Parasite masih relevan sebagai cerminan tajam kesenjangan kelas sosial. Film ini menyentil realitas yang juga terjadi di Indonesia, di mana jurang antara si kaya dan si miskin terasa tak kasat mata namun nyata.
Aspirasionline.com – Film Parasite merupakan karya sutradara Bong Joon-ho yang dirilis pada tahun 2019 dan menjadi sorotan karena keberhasilannya menyajikan potret tajam mengenai ketimpangan kelas sosial.
Film asal Korea Selatan ini menceritakan tentang dua keluarga yang memiliki perbedaan kelas sosial yang sangat kontras. Keluarga Kim, yang hidup dalam kemiskinan dan tinggal di rumah semi bawah tanah yang sempit, kotor, dan keluarga Park, yang hidup mewah di rumah modern yang luas dan bersih.
Cerita dimulai saat Kim Ki-woo, anak laki-laki dari keluarga Kim, mendapatkan tawaran menjadi guru les pribadi bagi anak perempuan keluarga Park. Kesempatan ini membuka jalan bagi keluarganya untuk ikut masuk ke dalam rumah tersebut.
Satu per satu, mereka menyusup dengan menyamar sebagai tenaga profesional melalui berbagai kebohongan dan manipulasi. Mereka memalsukan identitas serta latar belakang pendidikan demi mendapatkan pekerjaan sebagai sopir, pembantu rumah tangga, dan terapis seni.
Film ini mengungkap bagaimana kemiskinan dapat mendorong manusia pada tindakan manipulatif demi bertahan hidup. Film ini dengan tajam menyuguhkan kenyataan bahwa jurang kelas bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal akses, kesempatan, dan ruang hidup.
Menggambarkan Bukti Kesenjangan Kelas Sosial dalam film Parasite
Salah satu kekuatan terbesar film Parasite terletak pada kemampuan Bong Joon-ho menyampaikan kritik sosial lewat sinematografinya. Bong Joon-ho menggunakan sinematografi dalam filmnya untuk mempresentasikan perbedaan kelas sosial secara implisit tetapi tajam.
Secara visual, perbedaan kelas digambarkan melalui tata letak ruang dan sudut pengambilan gambar. Keluarga Kim tinggal di rumah semi-bawah tanah yang gelap, sempit, dan lembap, menggambarkan keterpurukan mereka secara sosial maupun ekonomis.
Sementara itu, keluarga Park tinggal di rumah mewah di dataran tinggi yang terang, bersih, dan luas. Elevasi tempat tinggal ini bukan hanya soal lokasi, tetapi metafora visual atas hierarki sosial.
Teknik sinematografi yang disajikan dalam film Parasite menampilkan sebuah perbandingan tingkat sosial antara keluarga Kim dan keluarga Park yang berbanding terbalik. Isolasi visual antara kelas bawah dan atas ditunjukkan melalui komposisi gambar seperti Center Line (garis tengah) dan Rule of Thirds (aturan sepertiga), yang berfungsi sebagai batas simbolis antara dua dunia yang berbeda.
Angle kamera juga digunakan untuk menunjukkan seberapa besar kekuatan seorang karakter dalam film. Misalnya, dalam adegan ketika keluarga Kim yang tinggal di rumah keluarga Park didatangi oleh mantan pembantu, digunakan teknik low angle (sudut rendah) untuk menampilkan kekuasaan, dan high angle (sudut tinggi) untuk menggambarkan kerendahan atau kelemahan karakter tertentu.
Namun, film Parasite tidak hanya berbicara melalui gambar. Salah satu simbol sensorik yang kuat dalam film ini adalah bau. Keluarga Park beberapa kali menyebut bahwa pekerja mereka, terutama Kim, memiliki bau yang “aneh”, seperti bau “orang yang naik kereta bawah tanah.”
Aroma ini bukan sekadar soal kebersihan, melainkan simbol ketidakmampuan kelas bawah menyembunyikan identitas mereka, meski telah berpura-pura sebagai profesional. Dalam konteks ini, aroma menjadi batas tak kasat mata yang lebih kejam dari sekat fisik tak bisa dihilangkan meski seseorang berganti pakaian atau berbicara sopan.
Dengan memadukan elemen visual dan sensorik seperti ini, film Parasite berhasil menunjukkan bahwa ketimpangan kelas tidak hanya hadir dalam bentuk materi, tetapi juga dalam cara pandang, jarak psikologis, dan bahkan persepsi penciuman.
Sementara itu, di salah satu pembahasan lainnya muncul dari pengguna X, @BanyuSadewa, pada Mei lalu. Ia meluapkan kekesalannya terhadap hujan, sekaligus mengkritik narasi umum yang menyebut hujan sebagai rezeki atau momen syahdu. Ia kemudian menganalogikan sikap tersebut dengan karakter ibu-ibu dalam film Parasite yang duduk santai di kursi belakang mobil (Ibu Park).

Unggahan tersebut menyandingkan orang-orang yang meromantisasi hujan dengan sosok Ibu Park yang tenang duduk di kursi belakang mobil, tanpa memperdulikan kesulitan yang dialami pekerjanya yang baru saja melewati banjir besar di rumahnya.
Perbandingan ini secara tajam mencerminkan bagaimana privilege (keistimewaan) bisa membentuk kesenjangan empati antara mereka yang berada di kelas atas dan mereka yang bergulat dengan realitas keras di kelas bawah.
Fenomena serupa juga tampak di Indonesia, di mana mereka yang memiliki penghasilan stabil dan akses terhadap kendaraan pribadi kerap memandang hujan sebagai momen yang menenangkan, sementara bagi sebagian lainnya, hujan justru menjadi tantangan yang menghambat aktivitas dan menambah beban ekonomi.
Sumber Gambar: Pinterest
Reporter: Agung Mg. | Editor : Safira