Lelah di Balik Layar, Eksploitasi Pekerja Iklan dan Film Tanpa Perlindungan Hukum

CategoriesNasional

Pekerja industri film dan iklan di Indonesia kerap kali terjebak dalam kontrak kerja bayangan, mengakibatkan ketidakpastian hak, terutama jam kerja. Digandeng oleh SINDIKASI, pekerja industri film dan iklan perjuangkan hak-hak pekerja yang terabaikan.

Aspirasionline.com – Pekerja di industri film dan iklan Indonesia dewasa ini menghadapi tantangan serius terkait perlindungan hak-hak pekerja. Salah satunya ialah kontrak kerja resmi yang tidak memadai membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran.

Sebagai pekerja film, Gilang Ramadhan, selaku assistant casting director, mengaku bahwa sistem kontrak dalam industri film dan iklan Indonesia masih kurang profesional. Pasalnya, kerja sama kerap kali dilakukan melalui kesepakatan lisan oleh pihak casting director, tanpa terikat kontrak tertulis.

“Contoh aktor dan casting director, jadi dia (casting director) yang kayak ngajak by (melalui) omongan aja gitu,” ujar Gilang saat diwawancarai ASPIRASI melalui Google Meet pada Kamis, (19/12). 

Gilang menambahkan bahwa di Indonesia, tandatangan kontrak kerja hanya dilakukan antara atasan dengan pihak Production House (PH), sementara untuk kru, seperti asisstant crew, kontrak tertulis jarang dilakukan, khususnya dalam produksi iklan.

Menurutnya, persoalan yang menyebabkan belum tersedianya ketentuan hukum terkait kontrak dan jam kerja bagi pekerja media adalah belum adanya lembaga atau asosiasi dari pemerintah yang secara resmi mengakui mereka sebagai pekerja.

“Karena kita kru itu kan masih belum ada naungan ya, masih belum ada dari badan pemerintahan, jadi orang tahunya ya kru itu kayak freelance gitu. Belum terdaftar secara resmi (sebagai pekerja),” tambahnya. 

Eksploitasi Jam Kerja dalam Industri Film dan Iklan Abaikan Kesehatan Pekerja

Sistem kontrak kerja informal dalam industri film dan iklan di Indonesia turut merugikan pekerja, terutama terkait jam kerja yang tidak terduga. 

Meskipun beberapa proyek telah menerapkan sistem 8 jam istirahat, kata Gilang, nyatanya masih banyak proyek lain yang masih memaksa kru bekerja dalam waktu 24 hingga 32 jam tanpa henti.

“Ada yang 24 jam, bahkan ada 32 jam shooting dan itu ya banyak keluhan-keluhan. Sampai kru ada yang tipes, segala macamnya,” ungkapnya. 

Menurut Gilang, sejumlah kru telah berupaya menyampaikan protes melalui petisi dan berbagai cara lainnya. Namun, tanggapan dari pihak produksi, khususnya yang dikelola oleh PH asing, masih minim. 

“Udah mencoba protes, soalnya ini kan bukan pertama kalinya ya. Kita protes itu dari awal yang pandemi juga. Kita udah banyak bikin petisi segala macam tapi belum dilihat,” terang Gilang. 

Pekerja di departemen casting industri iklan, Mahmal Hidayat, turut mengatakan bahwa jam kerja yang berlebihan kini semakin sering dikeluhkan oleh berbagai divisi, terutama para kru. 

“Beberapa divisi juga udah ada yang mulai teriak soal jam kerja. Jam kerja itu memang jadi masalah banget buat kru-kru,” ungkap Mahmal kepada ASPIRASI melalui Google Meet pada Jumat, (20/12).

Terlebih lagi, Mahmal menyebut bahwa sampai saat ini, waktu kerja yang diberlakukan bagi pekerja media masih tidak menerapkan minimal dan maksimal jam kerja. Ia bahkan mengungkapkan pembagian tersebut didasarkan atas pergantian non-formal.

“Lebih gantian aja kerjanya gitu paling. Kalau sekarang karena nggak ada yang ngaturin buat jam kerja, minimal maksimal sekian jam,” tukas Mahmal. 

Kendati demikian, upah gaji yang diberikan kepada para pekerja media rupanya kerap kali tidak menentu bilamana terdapat penambahan jam kerja. Berdasarkan pengalamannya, Mahmal menyebut jadwal pemberian upah yang diterima dapat berbeda di setiap PH. 

“Di PH ini kita dibayar seminggu setelah syuting, di PH ini mungkin 2 minggu sampai 1 bulan setelah syuting,” tambahnya.

Menanggapi hal tersebut, tak sedikit pekerja media melayangkan petisi pelanggaran hak pekerja dan  menyampaikan keluhan terkait hal ini kepada Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). 

SINDIKASI Perjuangkan Pembatasan Jam Kerja dan Perlindungan Pekerja Kreatif

Mendengar keluhan pelanggaran hak-hak pekerja media industri film dan iklan, Divisi Advokasi SINDIKASI, Ambrosius Emilio Sutikno, mengungkapkan bahwa SINDIKASI tengah membentuk komite pekerja film untuk memperjuangkan pembatasan jam kerja hingga 14 jam per hari.

“Kami sedang membentuk komite pekerja film. Dari situ, kita sebagai serikat ingin menawarkan solusi pembatasan jam kerja sebanyak 14 jam agar tercantum di dalam hukum yang berlaku,” ujar Ambrosius saat diwawancarai ASPIRASI pada Selasa, (7/1).

Nantinya, Komite Pekerja Film dibentuk tidak hanya melibatkan pekerja, tetapi juga pemberi kerja yang peduli terhadap krisis ketenagakerjaan di industri film. Komite ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan, terutama dalam pembatasan jam kerja yang terlalu panjang.

Meski sampai saat ini belum diakui dalam Undang-Undang Perfilman maupun Undang-Undang Ekonomi Kreatif. Peraturan yang ada juga lebih berpihak pada sektor formal seperti manufaktur, sementara pekerja kreatif masih minim perlindungan hukum.

“Peran pekerja dan hak-hak yang seharusnya melekat pada pekerja itu belum tercantum. Nah, Undang-Undang Ketenagakerjaan kita masih bias terhadap manufaktur atau pekerja-pekerja formal,” terang Ambrosius.

Ambrosius mengatakan pihaknya, SINDIKASI berupaya memberikan perspektif bahwa pekerja kreatif juga merupakan pekerja yang berhak atas perlindungan hak ketenagakerjaan.

“Kami dari SINDIKASI, mau mencoba memberikan perspektif pekerja, bahwa pekerja kreatif, tuh, juga merupakan pekerja karena mereka mendapatkan upah dan perintah,” pungkas Ambrosius.

 

Ilustrasi:Rienita Widya

Reporter : Siti Mg, Rienita Mg | Editor: Safira

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *