Menyoroti Stereotip Gender di Bidang Profesi dalam Lagu “The Man”
Judul : The Man
Penyanyi : Taylor Swift
Produser : Taylor Swift / Joel Little
Penulis : Taylor Swift / Joel Little
Genre: Electro Pop
Tahun : 2019
Durasi : 3 menit 10 detik
Lagu “The Man” dari Taylor Swift mengeksplorasi stereotip gender dan ketidakadilan dalam bidang profesi, khususnya industri musik dan hiburan. Taylor Swift menunjukkan bahwa jika dia adalah seorang pria, dia akan dianggap sukses dan dihormati, bukan menjadi korban stereotip negatif.
Aspirasionline.com – Lagu “The Man” merupakan bagian dari album “Lover” yang dipopulerkan oleh penyanyi dan penulis lagu asal Amerika Serikat, Taylor Swift. Lagu ini mengusung genre electro pop yang dirilis pada tahun 2019, dan kemudian disusul oleh musik videonya pada tanggal 27 Februari 2020.
Dalam lagu ini, Taylor Swift menyoroti adanya stereotip gender yang masih melekat, dan menyuarakan frustrasinya tentang perlakuan berbeda antara perempuan dan laki-laki yang sering diterima, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga pada industri musik.
“Ini adalah lagu yang saya tulis dari pengalaman pribadi, dan juga pengalaman umum yang saya dengar dari seluruh perempuan di berbagai industri. Dan menurut saya, semakin sering kita membicarakannya di dalam lagu seperti itu, semakin baik kita dapat menyerukan isu tersebut saat hal itu terjadi,” ungkap Taylor dalam wawancara Billboard pada 12 Desember 2019 lalu.
Lagu ini mengambil sudut pandang seorang perempuan yang membayangkan bagaimana hidupnya akan berbeda jika ia adalah seorang laki-laki. Dalam lagu ini, Taylor menunjukkan bagaimana perempuan seringkali dihakimi dan dianggap kurang kompeten daripada laki-laki, serta menggambarkan betapa sulitnya bagi perempuan untuk mendapatkan kesuksesan dan penghormatan yang sama.
Ketimpangan Gender Dalam Industri Musik
Taylor merupakan salah satu korban dari standar ganda seksis, khususnya dalam industri musik. Ia seringkali mendapat kritik karena lagu-lagunya yang sering menceritakan tentang laki-laki dan asmara. Hal tersebut menjadikan publik menyebut Taylor sebagai “boy crazy”.
Menanggapi hal tersebut, Taylor menyatakan bahwa ujaran kritik mengenai lagu-lagu yang ditulisnya merupakan ujaran penuh seksis. Ia membandingkan dirinya dengan musisi pria terkenal seperti Ed Sheeran dan Bruno Mars yang juga menulis lagu tentang asmara, tetapi tidak pernah mendapat kritik yang sama seperti dirinya.
“Mereka menulis lagu tentang mantan mereka, kekasih mereka saat ini, kehidupan cinta mereka, dan tidak ada yang mengangkat bendera merah di sana,” ucap Taylor dalam sebuah wawancara bersama salah satu stasiun radio di Australia Jules, Merrick & Sophie yang disiarkan pada 20 Oktober 2014 lalu.
Taylor lebih lanjut menjelaskan standar yang berbeda yang diterapkan pada pria dan wanita, terutama di industri musik, dalam sebuah wawancara dengan CBS Sunday Morning setelah perilisan album “Lover” pada 25 Agustus 2019:
“Ada kosakata yang berbeda untuk pria dan wanita di industri musik. Ketika seorang pria melakukan sesuatu, itu dianggap strategis. Tetapi ketika seorang wanita melakukan hal yang sama, itu dianggap dihitung-hitung. Seorang pria diizinkan bereaksi, tetapi seorang wanita hanya dianggap berlebihan jika bereaksi,” tuturnya.
Berkaca Pada Realita, Lirik “The Man” Ditulis dengan Penuh Sindiran
Taylor dikenal melalui lagu-lagunya yang penuh makna. Lirik dalam lagunya berhasil menyampaikan sebuah pesan kepada pendengarnya. Seperti yang menjadi sorotan dalam lagu “The Man”, bait demi bait lagu memiliki lirik yang begitu dalam mengenai rasa resahnya terhadap ketimpangan gender.
I’m so sick of running as fast as I can. Wondering if I’d get there quickly if I was a man.
Dalam lirik tersebut, ia menyatakan rasa jengkelnya sebagai perempuan, dimana ia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara itu, seorang laki-laki dengan mudahnya mendapat apa yang ia inginkan tanpa harus berusaha keras sepertinya.
Lirik di atas menjadi bagian chorus yang terus ia nyanyikan berulang-ulang, seakan ingin menekankan pesan yang ingin ia sampaikan kepada pendengar, yaitu dalam dunia pekerjaan, perempuan selalu mendapat kesempatan lebih rendah untuk kenaikan jabatan dibandingkan dengan laki-laki.
They wouldn’t shake their heads and question how much of this I deserve.
Tidak hanya sulitnya peningkatan kedudukan posisi jabatan, bahkan ketika perempuan berhasil sukses, tak jarang orang yang masih mempertanyakan kapabilitas dan kompetensi yang dimiliki oleh perempuan tersebut.
Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan orang-orang terhadap laki-laki yang berhasil mencapai kesuksesan, ia akan dipuja dan dijunjung, jarang ada orang yang memandangnya rendah dan tidak kompeten.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, pendapat perempuan dianggap tidak penting dan cenderung dikesampingkan dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam dunia pekerjaan. Hal itu juga disampaikan oleh Taylor dalam liriknya:
What I was wearing or if I was rude, could all be separated from my good ideas and power moves?
Dalam lirik tersebut, Taylor lagi-lagi berkaca pada realita yang ada saat ini. Ketika perempuan mengungkapkan pendapatnya di publik, hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana sikap dan apa pakaian yang perempuan tersebut pakai. Karena lagi-lagi, jika perempuan tidak bersikap dan tidak berpakaian sesuai yang publik harapkan, apapun kalimat yang keluar dari mulutnya akan dihiraukan.
Selain itu, melalui “The Man”, Taylor juga memberi sindiran keras terhadap perbedaan perspektif publik ketika menanggapi laki-laki dan perempuan. Hal itu disampaikan melalui lirik:
What’s it like to brag about raking in dollars and getting b****** and models? And it’s all good if you’re bad, and it’s okay if you’re mad. If I was out flashing my dollars, I’d be a b**** not a baller. They paint me out to be bad, so it’s okay that I’m mad.
Sesuai realita pada saat ini, ketika laki-laki memamerkan kekayaan dan memiliki wanita yang diinginkannya, publik tidak akan peduli, atau justru cenderung menjunjung dan memuji. Tetapi ketika perempuan melakukan hal yang sama, ia justru akan dianggap buruk.
Hal tersebut menjadi salah satu contoh keadaan dimana publik menerapkan standar ganda di antara laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki sukses dan mendapatkan apa yang ia inginkan, ia akan mendapat respon positif dari publik. Tetapi jika perempuan berada pada posisi yang sama, ia justru mendapat respon yang negatif.
Pentingnya Kesadaran dan Peran Aktif Dalam Menyikapi Ketimpangan Gender di Indonesia
Ketimpangan gender masih menjadi masalah serius di Indonesia. Meskipun perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama berdasarkan undang-undang, namun dalam kenyataannya, masih banyak diskriminasi dan ketidakadilan yang terjadi terutama terhadap perempuan.
Salah satu bentuk ketimpangan gender di Indonesia adalah kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan. Masih banyak perempuan di daerah pedesaan yang tidak memiliki kesempatan untuk mengakses pendidikan yang layak. Selain itu, perempuan juga sering menjadi korban dari praktek pernikahan dini yang mengakibatkan mereka tidak dapat menyelesaikan pendidikan mereka.
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, pada tahun 2019, hanya sekitar 60% anak perempuan di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan dasar (SD). Selain itu, keterbatasan fasilitas pendidikan seperti sekolah yang jauh dan kurangnya transportasi umum sering menjadi faktor yang menghalangi anak perempuan di daerah pedesaan untuk mengakses pendidikan yang layak.
Ketimpangan gender juga terlihat dalam lapangan kerja. Terdapat perbedaan gaji yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama. Perempuan juga cenderung mengalami diskriminasi dalam kesempatan promosi dan pelatihan.
Di banyak negara, perempuan seringkali dibayar lebih rendah dari laki-laki, meskipun mereka melakukan pekerjaan yang sama atau setara. Menurut data dari International Labour Organization (ILO), pada tahun 2020, rata-rata upah perempuan di seluruh dunia sekitar 16% lebih rendah dari upah laki-laki.
Pekerjaan yang dipandang sebagai “kerja perempuan” seringkali dibayar lebih rendah. Pekerjaan seperti pekerjaan rumah tangga, perawatan kesehatan dan pendidikan seringkali dipandang sebagai “kerja perempuan” dan dibayar lebih rendah daripada pekerjaan yang dipandang sebagai “kerja laki-laki”. Contohnya, di Indonesia, pekerjaan guru wanita dibayar lebih rendah daripada guru pria.
Selain itu, perempuan juga masih menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Pada tahun 2020 saja, laporan dari Komnas Perempuan mencatat bahwa terdapat 5.796 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di Indonesia. Namun, angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Untuk mengatasi ketimpangan gender di Indonesia, dibutuhkan upaya dari semua pihak. Pemerintah perlu memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia tanpa memandang jenis kelamin. Dan yang terpenting, perempuan harus didukung untuk mengambil peran aktif dalam membangun bangsa dan masyarakat yang lebih adil dan merata.
Foto: www.youtube.com (Taylor Swift – The Man)
Penulis: Adelia Mg. | Editor: M. Fadli.