Kebebasan Pendidikan dalam “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”
Judul: Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2018
Halaman: 272
Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela merupakan karya sastra dari Tetsuko Kuroyanagi, penulis asal Jepang, yang menceritakan tentang masa kecil sang penulis sendiri. Buku ini mengisahkan bagaimana seorang anak kecil melihat dunia secara luas dan pengalamannya dalam dunia pendidikan.
Aspirasionline.com — Totto-Chan adalah seorang anak kecil yang dianggap nakal oleh gurunya karena seringkali ia melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh teman seusianya.
Misalnya saja seperti merusak meja belajarnya dengan membanting pintu laci, memanggil penyanyi jalanan yang kemudian mengundang keributan di kelas, dan mencoret-coret meja belajar dengan alat-alat tulisnya.
Totto-Chan pernah sewaktu-waktu berdiri di jendela kelas selama pelajaran berlangsung hanya untuk bertanya ke seekor burung, “kau sedang apa?”.
Ia terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena para guru tidak bisa mengatasi perilaku Totto-Chan. Sampai pada suatu ketika Ibu Totto-Chan memasukkannya ke sekolah yang berbeda dari sekolah lainnya.
Sekolah baru Totto-Chan ini menggunakan gerbong kereta sebagai ruang kelasnya. Di sekolah ini para murid juga dibebaskan untuk memilih pelajaran yang mereka ingin pelajari.
Kebebasan Dalam Mengembangkan Bakat
Tomoe Gakuen, sekolah baru Totto-Chan memiliki peraturan yang berbeda dari sekolah lainnya. Di sini, siswa diberikan kebebasan untuk menggali dan mengembangkan bakat individu mereka tanpa adanya pembatasan dalam pemilihan mata pelajaran.
“Yang paling aneh dari sekolah ini adalah pelajarannya.” (Halaman 37).
Mereka tidak harus mengikuti kurikulum yang sudah ditentukan, melainkan diberi kebebasan penuh untuk memilih mata pelajaran yang menarik minat dan bakat mereka. Para guru hanya menemani dan mengawasi para murid dalam kegiatan belajar. Para guru hanya akan mulai menjelaskan ketika ada murid yang bertanya.
Dengan memberikan kebebasan seperti ini, siswa akan lebih mampu mengeksplorasi dan mengasah bakat serta minatnya pada bidang tertentu tanpa perasaan dibatasi.
Ketika para murid berjalan-jalan di sekitar sekolah, guru membimbing siswa dengan mengilustrasikan konsep-konsep yang sering terjadi secara alami, memberikan contoh yang sederhana untuk dipahami. Siswa-siswa dengan tanpa sadar bisa mendapatkan pengetahuan tentang pendidikan biologi.
Hal ini menunjukan bahwa belajar tidak harus terbatas pada ruang kelas. Pembelajaran dapat dilakukan di berbagai tempat dan kapan pun, tanpa terikat oleh lokasi atau waktu tertentu. Siswa akan memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap materi pelajaran jika mereka dapat mengalami pembelajaran langsung dalam praktiknya.
Sistem pembelajaran ini sangat bertolak belakang dengan yang diterapkan di Indonesia. Kurikulum di Indonesia cenderung ‘memaksa’ anak didik untuk bisa memahami semua mata pelajaran yang sudah ditentukan.
Namun, ketika memasuki jenjang Sekolah Menengah ke Atas (SMA) justru anak didik diberikan pilihan antara jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Pendidikan di Indonesia perlu melakukan perubahan ke arah pendidikan demokrasi dalam konteks pendidikan formal.
Gandal dan Finn berpendapat bahwa model pendidikan demokrasi bisa dikenalkan ke siswa
Sikap Bijaksana Kepala Sekolah
Dalam buku ini kisah-kisah unik dari pengalaman Totto-Chan tidak terlepas dari tokoh Kepala Sekolah, Mr. Sosaku Kobayashi. Tokoh kepala sekolah di sini berperan sangat penting karena dia lah yang membuat peraturan dalam kebebasan memilih pelajaran.
Dalam suatu kisah ketika Totto-Chan mengaduk-aduk bak penampung kotoran untuk mencari dompetnya, sang kepala sekolah yang melihat hanya bertanya apa yang sedang dilakukan Totto-Chan.
Ia tidak marah sama sekali, bahkan menegurnya pun tidak.
Sang kepala sekolah hanya memastikan Totto-Chan akan mengembalikannya ketika sudah selesai dan menemukan dompetnya.
“Kau akan mengembalikan semuanya kalau sudah selesai kan?” ujar kepala sekolah itu. Respon yang tanpa menghakimi dan terkesan ‘santai’ ini justru kemudian menumbuhkan rasa percaya diri pada Totto-Chan.
Dalam situasi ini, kepala sekolah berupaya untuk merawat bibit-bibit keberanian yang mulai muncul dalam hati siswa, sehingga mereka dapat terus berkembang dan tidak padam.
Tujuannya adalah agar ketika mereka semakin dewasa, mereka akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka sendiri dalam mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.
Ini adalah tindakan yang didasarkan pada tingkat empati yang sangat tinggi terhadap perkembangan kepribadian anak.
Kebanyakan orang tua dan guru seringkali membatasi apa yang anak lakukan. Hal ini bisa menghambat perkembangan anak di kemudian hari karena rasa ingin tahu sang anak tidak terjawab dengan baik.
Foto: senjabahasa.wordpress.com.
Penulis: Sofwa Najla. | Editor: Alfianti Putri.