Menimbang KUHP Baru atas Vonis Hukuman Mati Ferdy Sambo
KUHP yang baru disahkan pada tahun 2022 bisa memberikan kelonggaran hukuman mati seorang narapidana dengan mengubahnya menjadi penjara seumur hidup. Namun, apakah aturan ini benar-benar bisa dimanfaatkan Ferdy Sambo.
Aspirasionline.com – Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Ia secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
Ferdy Sambo terbukti bersalah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ferdy Sambo juga dinilai terbukti melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 KUHP.
Vonis mati Ferdy Sambo oleh beberapa pihak dikatakan bisa saja berubah menjadi hukuman seumur hidup. Hal itu terjadi bila upaya hukum Sambo sampai pada tahun 2025 belum juga inkrah (berkekuatan hukum tetap).
Hal ini kemudian memicu publik berdebat perihal vonis mati Sambo. Sementara itu, pemidanaan didasarkan pada hukum yang berlaku pada masa tindak pidana dilakukan. Dimana saat tindak pidana terjadi pada 8 Juli 2022, KUHP yang berlaku adalah KUHP lama. Sedangkan KUHP yang baru disahkan di 6 Desember 2022 dan baru berlaku 2026.
Namun, putusan Pengadilan Negeri masih bisa diubah apabila hakim punya pertimbangan lain. Belum lagi jika vonisnya sudah inkrah, masih ada kemungkinan mendapat grasi. Karena sifatnya sebagai punishment of highest degree (hukuman tertinggi), pidana mati umumnya baru dilaksanakan lama biasanya bertahun-tahun, setelah vonis berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi vonis hukuman mati tidak bisa langsung diterapkan. Hal ini lantaran ada upaya hukum antara lain kasasi, banding, peninjauan kembali (PK) dan grasi. Sambo bisa dieksekusi setelah diberikan waktu siap dengan pertimbangan Mahkamah Agung, jadi Sambo tidak bisa langsung eksekusi.
Walaupun Sambo bisa lepas dari hukuman mati dengan jalan ajukan banding, misal ditolak lalu ke kasasi sampai ke tingkat MA, prosesnya tetap berdasarkan KUHP lama. Sambo tetap dihukum berdasarkan KUHP yang berlaku sekarang, tidak bisa tiba-tiba dijalani dengan KUHP baru.
Berbeda halnya dengan ketentuan dalam KUHP lama, pada KUHP yang baru, pidana mati diancam sebagai pidana alternatif dalam langkah akhir penjatuhan sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum pidana yaitu asas ultimum remedium. Yang mana artinya jika terjadi suatu perkara bisa diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur lain selain jalur pidana.
Hal tersebut juga tertulis dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Di mana dalam ketentuan undang-undang tersebut dikatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa terdapat masa percobaan selama 10 tahun.
Pada masa percobaan, jika terdakwa berkeinginan kuat untuk memperbaiki diri dan memperlihatkan sikap yang baik. Maka pidana mati yang telah dijatuhkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Akan tetapi, proses ini melalui Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dengan Mahkamah Agung.
Namun, jika dilihat kembali ketentuan tersebut terasa tidak adil di masyarakat karena apabila seseorang yang telah dijatuhkan vonis mati oleh majelis hakim masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperlihatkan sikap yang baik, maka pidana mati yang telah dijatuhkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
Tentunya hal ini menciptakan ketidakpastian hukum di masyarakat karena ada pengecualian pada hal-hal tertentu dan lagipula sikap baik seorang terdakwa itu sangatlah subjektif sehingga dapat menjadi celah “jual-beli” bagi aparat penegak hukum.
Melihat adanya perbedaan ketentuan hukum yang lama dengan ketentuan hukum yang baru tentang KUHP, lantas yang menjadi pertanyaannya adalah aturan mana yang akan digunakan jika dihubungkan dengan vonis pidana mati Sambo.
Dalam hukum pidana sendiri diketahui adanya suatu asas non-retroaktif, yakni asas yang melarang berlakunya surut dari suatu undang-undang. Intinya, apabila terjadi suatu perkara pidana yang berlangsung pada suatu waktu, lalu ada sebuah aturan baru yang mengatur terkait perkara pidana tersebut. Maka aturan yang bersangkutan tidak dapat diberlakukan pada perkara pidana yang berlangsung lebih dahulu sebelum aturan tersebut ditetapkan.
Pada kasus Sambo, apabila dihubungkan dengan asas non-retroaktif maka mekanisme pelaksanaannya sanksi tersebut tetap memakai ketentuan yang lama. Apabila aturan yang dipakai dalam pelaksanaan vonis mati dalam kasus Sambo adalah KUHP yang baru, maka pemerintah telah melanggar dan menggugurkan asas non-retroaktif dalam hukum pidana
Sebab, ketentuan dalam KUHP baru bisa digunakan di tahun 2026 nanti, sehingga apabila melihat kembali dari ketentuan sebelumnya untuk tahun ini hingga sebelum 2026 KUHP baru tidak dapat digunakan.
Oleh karena itu, agar terwujudnya hukum yang berkeadilan dan dicita-citakan oleh masyarakat maka semua masyarakat Indonesia wajib untuk tetap mengawal jalannya kasus ini karena jangan sampai aparat penegak hukum kita berani “bermain” dengan hukum apalagi kasus besar yang dilakukan oleh seorang jenderal bintang dua.
Kita hanya bisa berharap jangan sampai hukum di Indonesia hanya tumpul ke atas dan tajam ke bawah yang mana hanya berani mengadili masyarakat kecil sedangkan kepada mereka yang punya jabatan dan uang menjadi aparat hukum di negeri kita menjadi ciut nyalinya. Kita berharap bahwa di Indonesia masih ada keadilan bagi masyarakat tanpa pandang bulu dan pandang jabatan. Tulisan ini saya akhiri dengan adagium “Fiat justitia ruat caelum” yang artinya keadilan harus ditegakkan, meskipun langit akan runtuh.
Ilustrasi: Tiara Ramadanti.
Penulis: Tiara Ramadanti, mahasiswi Fakultas Hukum semester 4, UPNVJ.