Buramnya Sistem Permasyarakatan Masa Kini
Terjadinya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Lapas Sukamiskin oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) membuktikan bahwa parahnya sistem permasyarakatan di Indonesia.
Aspirasionline.com – Pada Rabu, 1 Agustus 2018 lalu Fakultas Hukum (FH) UPN ”Veteran” Jakarta (UPNVJ) mengadakan diskusi antar dosen. Diskusi ini pun dihadiri oleh beberapa dosen FH yang dilaksanakan di Ruang Dosen Lt.1 Gedung FH UPNVJ. Bambang Waluyo yang merupakan dosen Hukum Pidana di UPNVJ menjadi narasumber utama dalam diskusi ini. Adapun tema yang diangkat dalam diskusi adalah “Pasca OTT KPK di Lapas Sukamiskin ”.
Adanya kasus ini merupakan tanggapan dari tertangkapnya Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein pada Jumat, 20 Juli lalu. Sebelum diskusi dimulai, moderator diskusi yakni Beniharmoni Harefa memberi pengantar bahwa indikasi dagang fasilitas dan dan suap menyuap di Lapas Sukamiskin, bukan menjadi hal baru dan sesungguhnya telah lama terjadi.
“Petugas lapas adalah aparat penegak hukum dan termasuk bagian dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sehingga sudah tepat apabila KPK melakukan OTT,” ujarnya.
Diskusi yang dimulai pada pukul 10.00 dibuka dengan sambutan dari Dekan FH UPNVJ, Dwi Desi Yayi Tarina. Dalam sambutannya, Dwi berharap kegiatan diskusi ini dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Disamping itu sebelum acara dimulai, pengelola kegiatan diskusi Khoirur Rizal selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum UPNVJ menjelaskan bahwa kegiatan diskusi FH akan dilaksanakan secara rutin setiap hari Rabu pada awal bulan. “Digunakan sebagai forum untuk menjalin silaturahmi antara dosen FH serta untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam mencari solusi konkret dari sisi keilmuan atas isu-isu hukum nasional yang terjadi,” ungkap pria berjas hitam tersebut.
Bambang Waluyo menjelaskan dengan terbuktinya OTT KPK di Lapas Sukamiskin memiliki dampak yang merugikan baik bagi masyarakat dan negara. Hal ini terjadi karena adanya perbuatan tercela, suap menyuap, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN), maupun penyimpanagan lainnya. Disamping itu, ia menjelaskan bahwa dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 memiliki asas-asas yang harus diimplementasikan dalam pembinaan napi.
Asas tersebut meliputi pengayoman, persamaan perlakuan dan layanan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, serta terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Namun sistem kepenjaraan pada masa dulu dan sekarang berbeda. Hal ini mengakibatkan adanya blank spot yang diisi oleh suap, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya.
“Jangan-jangan pegawai lapas untuk menghormati harkat martabat si koruptor tadi maka diberi fasilitas. Itu kemungkinan, berarti sudah tidak benar. Artinya penghormatan harkat martabat itu ya dia di sepelekan, berbeda dengan sistem kepenjaraan dulu,” ujarnya.
Pria kelahiran Magetan, Jawa Timur ini juga menjelaskan bahwa dalam proses pembinaan narapidana memiliki beberapa tahapan yang didalamnya memungkinkan narapidana untuk mendapatkan remisi. Tahapan tersebut meliputi tahap orientasi yang berisi pengenalan seperti nama narapidana, keahlian, darimana dan sebagainya.
Tahap kedua adalah tahap pembinaan, yakni jika narapidana berkelakuan baik maka narapidana bisa melakukan asimilasi. Terakhir narapidana akan mendapatkan pembebasan bersyarat. Untuk mendapatkan remisi narapida harus memiliki kelakuan baik, karena remisi merupakan hak narapidana yang sudah tercantum dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 12 tahun 1995.
“Narapidana punya hak untuk dihormati, hak remisi, hak ke gereja dan sebagainya, namun narapidana juga bisa dicabut hak politiknya sesuai dengan pasal 35 KUHP,” terang Bambang.
Terkait dengan masalah OTT KPK, Bambang Waluyo menjelaskan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk melakukan OTT dengan syarat menangani kasus yang merugikan negara dengan nominal lebih dari Rp 1.000.000.000,00 untuk penegakan hukum, dan penyelenggaraan negara.
“Hal ini berkaitan dengan Ketentuan Pasal 24 ayat (3) yang menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang, sehingga KPK boleh diranah tersebut,” jelas pria yang memiliki tiga anak tersebut.
Pria kelahiran Juli ini menegaskan bahwa perlu pengkajian dan analisis mendalam dalam menyelidiki mengapa rantai suap menyuap dan perdagangan fasilitas di lapas tidak kunjung selesai. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa fakta. Faktor pertama adalah faktor budaya lapas yang cenderung tertutup, karena lebih mementingkan sistem kepenjaraan daripada sistem pemasyarakatan. Kedua, faktor petugas yang terkait dengan kualitas, kuantitas, integritas, kesejahteraan, dan status kepegawaian. Ketiga, faktor sarana dan prasarana. Keempat, faktor kelebihan kapasitas penghuni lapas. Kelima, organisasi manajemen lapas.
“Saya pernah bertugas di Gorontalo, orang lapas senang jika dia mendapatkan narapidana koruptor karena dapat memperbaiki kehidupannya, hal-hal tersebut dapat menjadi awal mula tumbuh suburnya praktik korupsi terutama suap menyuap di lapas,” tukasnya.
Ada penyebab lain yang mengakibatkan narapidana khususnya napi koruptor masih memiliki banyak uang sehingga bisa membeli berbagai fasilitas di lapas. Hal tersebut dikarenakan belum adanya upaya hukum maksimal untuk memiskinkan napi koruptor. “Padahal di asas Undang-Undang Permasyarakatan tidak ada kualifikasi khusus lapas bagi koruptor, yang ada adalah kualifikasi bagi anak, dewasa, maksimum, minimum, dan sebagainya,” ujar pria yang bertempat tinggal di Lebak Bulus tersebut.
Di akhir diskusi, Bambang menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Namun Lapas Sukamiskin ditempatkan di tengah kota. “Saya tersinggung itu dulu tempatnya Bung Karno pembela negara indonesia sekarang dipakai oleh oknum-oknum itu”, lanjutnya.
Menanggapi diskusi yang berlangsung para dosen mulai menyampaikan berbagai masukan dan argumentasi. Salah satunya Wicipto Setiadi, ia menjelaskan meskipun terdapat larangan membawa barang tertentu seperti handphone ke lapas tetapi pada kenyataanya berbeda. Ia mennceritakan pengalamannya saat mengunjungi Lembaga Permasyarakatan (LP). Ketika melewati alat sensor metal detector merek handphone tertentu yang bisa lolos sensor.
“Handphone merek tertentu tidak bunyi tetapi handphone saya bunyi, semua lapas perlu dilakukan perbaikan bukan hanya Lapas Sukamiskin saja, seperti mengenai kelembagaannya, pola kerja, penganggaran dan kesejahteraan,” tukasnya.
Pria yang memakai baju biru tersebut mengusulkan bahwa negara harus ikut membenahi dalam kerusakan sistem permasyarakatan. Hal yersebut dapat dilakukan dengan cara membentuk suatu badan khusus di bawah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
”Untuk menghindari konflik kepentingan dan konflik kewenangan, sebaiknya dibentuk satu Badan khusus untuk mengurus perihal lembaga pemasyarakatan,”demikian disampaikan Wicipto yang pernah menjabat sebagai Dirjen Kemenkumham.
Menutup diskusi yang berlangsung, Bambang menyampaikan beberapa hal yang menjadi urgensi perihal suap menyuap dan dagang fasilitas yang terjadi di Lapas ini. Pertama, ia menggungkapkan perlu adanya reformasi birokrasi dalam pengelolaan lapas. Perbaikan konsep dan implementasi atas faktor-faktor seperti penegakan hukum, perundang-undangan, sarana prasarana, kesadaran hukum masyarakat, dan budaya.
Selanjutnya, para koruptor menurutnya harus dimiskinkankan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) secara paralel dengan UU Tipikor dan Undang-undang (UU) Perampasan Aset. Kehadiran UU Perampasan Aset dapat lebih efektif memiskinkan koruptor karena aset koruptor dapat dirampas tanpa melalui jalur pidana.
Yang terakhir, yaitu pemidanaan terhadap napi koruptor harus tegas dan berat termasuk menerapkan sanksi sosial kepada koruptor sebagai upaya menimbulkan efek jera. “Intinya kita sepakat baik sistemnya, yang mengelola, dan anggrannya perlu dibenahi,”tutupnya siang itu.
Reporter : Nabila Tiara |Editor : Hasna Dyas