Lembaga Pers Mahasiswa Rentan Dikriminalisasi, Bagaimana Perlindungannya?
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tak mengatur secara khusus mengenai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Lantas, bagaimana dan dimana LPM mesti berlindung?
Aspirasionline.com – Insiden pemanggilan Citra Maudy, reporter BPPM Balairung oleh Polisi Daerah DI Yogyakarta pada Senin, (7/1) lalu dinilai janggal dari segi prosedur hukum. Hal ini sudah kami tulis dalam laporan Kejanggalan Terhadap Pemanggilan Reporter Balairung sebagai Saksi Kasus Pemerkosaan. Selain ketidaksinambungan kualifikasi “saksi” yang ada dalam KUHP, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para penyidik juga dinilai melenceng dari konteks pemeriksaan.
Alih-alih mengejar substantif kasus, penyidik justru mempersoalkan kredibilitas dan validitas isi pemberitaan yang digarap Citra. Jika demikian, pendekatan yang dilakukan seharusnya melalui mekanisme jurnalistik yang merupakan ranah Dewan Pers, bukan melalui pendekatan pidana seperti yang dilakukan Polda D.I.Y tersebut.
“Pemanggilan ini aneh, karena dalam suatu peristiwa tindak pidana yang seharusnya dipanggil adalah saksi yang melihat, mendengar, dan merasakan,” tutur Kepala Divisi Advokasi LBH Pers, Gading Yonggar Ditya kepada ASPIRASI pada Kamis, (7/2). Menurutnya, hal tersebut ganjil karena peran Citra hanya meliput dan menulis pemberitaan kasus pemerkosaan Agni. “Dia bukan saksi,” tegasnya.
Kejadian tersebut mengindikasikan bahwa Pers Mahasiswa (Persma) masih rentan dan lemah perlindungan hukum. Pemanggilan Citra dikhawatirkan akan menimbulkan efek berupa rasa takut bagi para persma karena merasa ruang geraknya dibatasi. Namun, yang menjadi persoalan adalah sampai saat ini persma tak masuk dalam jangkauan perlindungan hukum Undang-Undang (UU) Pers.
Gading mengatakan bahwa UU Pers hanya mengakui pers berbadan hukum. Dalam hal ini menunjuk pada perusahaan yang diakui sebagai pers dan melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sedangkan, persma dan pers-pers non-badan hukum tak diakui dan tak termasuk dalam objek perlindungan UU tersebut. Akibatnya, saat persma atau pers non-badan hukum mengahadapi permasalahan tentang pokok berita, tak bisa diselesaikan dengan mekanisme UU Pers.
“Dapat dikatakan, (persma dan pers non-badan hukum, red.) rentan dikriminalisasi dan rentan dikenai pasal-pasal karet yang membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, dan akses informasi,” terang Gading. Kendati demikian, Gading menegaskan bahwa siapapun memiliki hak untuk berekspresi dan berpendapat. Itu dijamin oleh konstitusi.
Selain itu, dalam KUHP Pasal 310 ayat3, terdapat ketentuan bahwa kepentingan umum dapat menjadi alasan penghapusan pidana akibat dari kegiatan publikasi. Dan salah satu kegiatan publikasi ialah kerja-kerja jurnalistik atau kegiatan pers.
“Tidak dikatakan pencemaran nama baik apabila yang bersangkutan melakukan tindakan tersebut atas nama kepentingan publik dan pembelaan diri. Selama kerja persma itu representatif atas kepentingan publik, maka persma tidak usah khawatir,” jelas pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.
Senada dengan Gading, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan bahwa persma memang kurang terlindungi. Ia menuturkan, ini menjadi salah satu pekerjaan rumah untuk para jurnalis di persma mengenai cara memberikan perlindungan kepada persma yang tidak diatur dalam UU Pers.
“Jadi ini salah satu PR bagaimana kasus ini (kasus pemberitaan kasus perkosaan Agni, red.) bisa dijadikan pijakan awal, misalnya untuk membangun strategi advokasi terhadap persma yang mengalami tekanan. Kalau misalkan tidak ada perlindungan, apa upaya lain yang bisa dilakukan. Kalau teman-teman persma menghadapi situasi semacam itu, perlindungan apa yang harus dipakai,” jelas Abdul saat diwawancara ASPIRASI via telepon, (7/2).
Contoh lainnya, Abdul mengatakan bahwa persma juga dapat melakukan solidaritas atau tindakan lainnya yang tidak melemahkan semangat persma, terutama ketika menulis berita yang kontroversial. Meskipun selama ini belum ada yang mengatur secara khusus soal persma, setidaknya mekanisme perlindungan perlu disiapkan untuk mengantisipasi kasus yang dapat mengancam persma dan para pegiatnya.
Ditengah perlindungan hukum yang nihil bagi persma itu, Gading berpesan agar persma jangan pernah takut untuk terus menyuarakan kebenaran. “Jangan pernah takut untuk terus melakukan kerja-kerja jurnalistik, membongkar seluruh kejahatan-kejahatan internal kampus dan seluruh peristiwa penyalahgunaan kewenangan kampus,” tutupnya.
Reporter: Sarito Mg. dan Raffi Mg. |Editor: Firda Cynthia