Penghianatan Harapan
Tatkala hidup semakin mustahil untuk sekedar berangan, apalagi bercita-cita, sedang kaki masih bisa berdiri dan tak mati terkapar di kolong jembatan pun sudah jadi kesyukuran yang berlebih di masa itu. Masa itu adalah masa pendudukan Jepang di Jawa pada Maret 1942.
Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam keadaan serba mencekik. Tak hanya terasa tercekik di leher, perut, dan otot, tapi juga menjalar hingga ke harga diri dan martabat sebagai manusia. Tangan masih bisa makan, namun yang hendak dimakan susah didapat. Orang-orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan dan pasar bukanlah hal mengherankan. Apa daya, kekuatan Jepang di tanah Hindia-Belanda lebih dahsyat dari kekuatan Tuhan, apalagi jika dibanding masyarakat petani biasa. Mau tak mau cara mengakhiri cekikan yang semakin menyesakkan dada adalah mati.
Di kehidupan yang serba sulit demikian, pada 1943 kabar menyenangkan akhirnya bertiup di tengah-tengah masyarakat Jawa. Muncul kabar berdesus kalau Pemerintah Bala Tentara Pendudukan Dai Nippon mencanangkan program menjanjikan yaitu memberi kesempatan belajar pada para pemuda dan pemudi Indonesia ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Hal ini dilakukan demi mengejar kemenangan Perang Asia Timur Raya. Walaupun status kabar itu masih sekadar desas-desus, tetapi kabar yang datang dari Pemerintah Bala Tentara Jepang itu memiliki nilai kebenaran yang setara dengan berita di koran harian dan majalah yang juga milik Pemerintah Jepang.
Mulut sama bicara dan telinga sama mendengar hingga desas-desus kabar tersebut sampai pada Minah.
***
Sudah seribu pagi Minah lewati dengan bertungkus-lumus di sawah. Minah juga masuk ke dalam daftar manusia tercekik pada masa pendudukan Jepang itu; hidup begitu sempit, jangan coba-coba mengharap punya penghidupan yang layak.
‘Sampai kapan saya harus hidup begini?’ sudah seribu pagi pula umur pertanyaan itu hidup di kepalanya.
Minah menutup panci yang berisi rebusan pisang uli untuk makan malam. “Nak, besok pagi sudah masuk panen, Alhamdulillah,” ucap ibu Minah dari ruang tengah gubuk yang terdengar sampai belakang gubuk tempat Minah merebus. Maklum, gubuknya tidak begitu luas. “Iya, bu. Minah tahu. Besok kita lebih pagi yo berangkatnya,” sahutnya.
Pikirannya tiba-tiba bergulat, sibuk memikirkan cita-citanya.
‘Halah, mana mungkin aku bisa jadi guru? Apa yang mau diajari wong cuma bisa urusi kerjaan rumah. Andai saja saya anak lurah seperti Dewi, mungkin bisa lanjutkan sekolah lagi. Enak sekali tidak perlu repot-repot bertani tiap ha─‘
“Minah! Yang kamu rebus itu mau kamu buat lembek sampai jadi bubur pisang? Sudah matang itu!” tegur ibunya. Minah terlalu larut dalam imajiner yang ia bangun tiap sunyi itu sampai lupa kalau air rebusan pisangnya sudah hampir kering.
“Gusti! Iya, bu.. ini Minah matikan apinya,” buru-buru disiramnya tumpukkan kayu bakar.
Esoknya, pagi-pagi sekali, ia dengan keluarga kecilnya sudah meninggalkan gubuk menuju sawah biasa mereka bertani. Seperti yang diharap, padi-padi sudah menguning. Hasil panen tidak bisa langsung jadi hak milik, sudah pasti karena sawah itu dibawah kuasa pemerintahan Jepang.“
Bu, sudah setahun Minah lulus dari sekolah rakyat,” ucap Minah membuka percakapan disuatu siang selepas panen hari itu dengan ibunya.
“Iya, Nak. Tapi kamu kan mengerti, keadaan sedang sulit. Kamu masih bisa makan hari ini saja ibu sudah senang. Kamu tidak usah repot-repot mau bahagiakan bapak sama ibu dengan jadi guru,” ucap ibunya yang sudah hafal ke arah mana pembicaraan Minah.
“Iya, bu. Tapi Minah juga mau tinggikan keluarga,” balas Minah.
“Sudah, sudah,” ucap ibu Minah mengakhiri pembicaraan yang tak ada habis itu.
Terhitung setahun sejak percakapan itu, Minah sudah mulai berbesar hati mengubur impiannya. Ia berpikir, Tuhan sudah menakdirkan kalau pencapaian terbesar dihidupnya hanyalah sebagai seorang petani. Lagi pula juga tak ada yang salah dengan itu.
Sampai disuatu siang, terdengar suatu kabar dari mulut-mulut penguasa yang berpangkal dari Sendenbu, badan yang dibentuk oleh Kekaisaran Jepang. Kabar yang berisi janji itu diteruskan sampai ke mulut lurah, perabot desa, hingga kumichoo atau kepala Rukun Tetangga (RT). Kemudian sampai ke mulut bapak dan ibu Minah.
“Nak, ada kabar yang disampaikan dari kumichoo kalau Pemerintah Jepang ada program mau sekolahkan perawan-perawan remaja pribumi di Tokyo dan Shonanto.” ucap bapak Minah saat Minah sedang beristirahat hendak pergi tidur. Sedang ibunya sudah dikuasai alam bawah sadarnya.
“Yang betul, pak?” Minah yang sudah berbaring sontak duduk memberi perhatian penuh pada bapaknya. Ini adalah jawaban dari segala harapan untuk seorang gadis yang bercita-cita menjadi manusia berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsa seperti dirinya.
“Betul, anak gadis pak bupati juga sudah diberangkatkan,” jawab bapaknya datar. Tidak kelihatan perasaan senang haru karena mendapati kabar yang bisa menyelamati harapan gadisnya itu. Justru nada bicaranya berat.
“Apa ada kesempatan bagi Minah, pak? Walaupun Minah bukan seorang anak bupati?” tanya Minah cemas. Mendadak tubuhnya lemas. Nada bicara bapaknya ia artikan seakan program Dai Nippon tidak berlaku bagi anak petani sepertinya.
“Ada, nak. Semua perawan remaja pribumi bisa ikut. Tapi, berat rasanya bagi bapak kalau kamu juga turut pergi,” kini Minah paham arti dari nada bicara bapaknya itu. Nafas Minah memberat. Kini mimpinya sudah terjawabkan, namun bapaknya tak searah dengan jalan yang harus ia tempuh. Mulai terasa sesak di ujung tenggorokannya, ia menahan isak.
“Pak, walaupun mimpi ini sempat Minah kubur dalam-dalam, tapi Minah masih ingin sekali mewujudkannya, pak. Minah ingin sekali bisa bahagiakan bapak sama ibu,” kini Minah tengah menahan air mata di pelupuk.
“Minah tidak mau bapak sama ibu bertani terus sedang nasib keluarga tak pernah berubah,” lanjutnya. Minah tak mampu menanggung pertahanan air matanya yang kini sudah menyeruak keluar. Demikian kuatnya harapan itu hidup dalam jiwanya.
“Iya, bapak mengerti.. Tapi, bapak ini orang tua kamu, Minah. Bapak yang bertanggung jawab atas penghidupan kamu kalau terjadi segala rupa terhadap kamu di negeri seberang sana,” bapaknya menundukkan pandangannya. Ia belum rela menerbangkan kupu-kupu semata wayangnya.
“Demi bapak sama ibu, Minah teguh, pak. Minah teguh dengan tanggung jawab yang Minah bawa sampai Minah kembali lagi ke gubuk ini untuk menjadi kebanggaan bagi bapak sama ibu. Minah pasti bisa jadi guru, pak,” ujar Minah meyakinkan bapaknya yang khawatir penuh dengannya. Namun, Minah harus melawan kekhawatiran itu dengan keyakinan yang ia punya. Ia tak bisa melewatkan kesempatan yang mustahil diberikan dua kali oleh Pemerintahan Bala Tentara Dai Nippon.
“Baik, nak. Kalau begitu keinginan kamu, tak pantas bagi bapak untuk menghalangi mimpi mulia anaknya. Bapak juga sudah bicarakan dengan ibu mengenai ini.” kemudian Minah segera menjatuhkan badannya kepelukan bapaknya. Air matanya belum kunjung henti sejak tadi, bahkan kini bertambah deras.
Malam itu menjadi malam yang tak pernah Minah lupa.
***
Tak lama sejak itu, suatu sore datang membawa perpisahan. Tentara Jepang tiba di depan kediaman keluarga Minah dengan membawa montor keblak, sepeda motor dengan jok disampingnya. Para perawan yang diberangkatkan dijemput langsung di rumah, tak ada perpisahan macam di pelabuhan saat hendak naik ke kapal. Juga tak ada persiapan untuk keberangkatannya itu. Minah pun hanya membawa dua perangkat ikat pinggang yang terbuat dari kain atau setagen dan selendang pelangi milik ibu, serta harapan yang menyala-nyala di dada. Itu saja. Sedang tentara itu sudah memaksa Minah segera ikut dengan mereka.
Montor seblak mulai jalan, kepulan debu dari putaran roda itulah yang menjadi tanda perpisahan antara kedua orang tua dengan anaknya. Mereka melambaikan tangan. Air mata berlinang tak karuan di wajah ibunya. Sedangkan air mata bapaknya cukup disimpan di dalam dada dan ikut mengalir bersama darah kendati berat pula hatinya dengan kepergian Minah. Minah sendiri sudah menangis sejak tadi, tetapi harapannya sudah menguasai kendali dirinya sampai tak bisa lagi ia tolak perpisahan itu. Dalam hati ia berteguh, disuatu hari nanti saat kepulangannya, ia akan menjadi kebanggaan besar untuk keluarganya.
Montor seblak itu membawanya ke tempat yang dipagari bambu tinggi-tinggi sampai tertutup sebuah rumah besar di belakangnya. Di rumah itu ada sekitar 40 orang perawan lain yang juga sebaya. Rumah itu menjadi tempat pengumpulan sebelum diberangkatkan ke tujuan. Setiap hari ia tak mengerjakan apapun selain makan dan tidur. Tiap hari pula temannya berkurang karena ada yang sudah dibawa ke pelabuhan dan bertambah karena datang perawan remaja baru yang mengikuti program Dai Nippon.
“Ratih! Jihan! Murti! Dwika! Gendis! Rahmah! Minah!” teriak opsir Jepang memanggil rombongan yang akan berangkat hari ini. Mereka bergegas menuju mobil besar tertutup. Akhirnya tiba hari dimana Minah berangkat dengan puluhan teman sekampungnya menuju negeri seberang.
Sesampainya di pelabuhan, para perawan berjalan menuju kapal dengan penjagaan ketat dan terburu-buru. Minah berjalan mengikuti rombongan bersama perawan lain yang juga datang dari daerah luar kampungnya. Di kapal itu, ia disatukan dengan ratusan perawan lain. Baru kapal diinjak, seorang Jepang yang memandunya langsung menggerayangi tubuh Minah dengan lancang.
‘Apa-apaan ini!’ berontak Minah dalam hati. Ia berusaha menangkis tangan liar yang mengusik harga dirinya. Pria itu hanya tertawa, “Nona cantik..,” godanya. Pria itu segera membawa Minah terpisah dari rombongannya. Lagipula rombongan itu sudah bubar karena temannya juga mengalami hal yang sama oleh pria Jepang lain. Mereka dipisahkan. Masing-masing pria berjalan membawa satu perawan yang entah dibawa kemana.
“Pak, lepaskan!” Minah menghindar-hindar, namun pria itu mencekal tangan kecil Minah.
“Sstt..” desis pria itu mencoba menenangkan. Diciuminya Minah sambil dipaksa mengikuti arah jalannya. Minah menolak, ia menjauhkan wajah pria itu darinya sembari melangkah besar-besar menyamakan langkah pria Jepang itu. “Lepas! Lepas!” berontak Minah sangat mengganggu pria itu hingga dibekapnya mulut Minah dengan tangan besarnya. Minah menangis sejadi-jadinya.
‘Klek’ suara pintu dikunci. Minah kini tahu kemana dirinya dibawa – ke kamar kapal yang berukuran 3×3 meter, dengan pintu terkunci.
Tubuh kecil Minah dilempar ke ranjang putih. Dengan ganas pria Jepang yang gundul itu memaksa Minah untuk tetap dalam posisi berbaring. “Lepas!” Minah tak menyerah. Tangan Minah memukul-mukul dada pria yang kini sudah berada diatasnya. Ia berusaha untuk bangun dan membanting-bantingkan kepalanya. “Lepaskan saya..” Minah meronta tak berdaya.
Pria Jepang gundul itu begitu terburu-buru dan kasar. Segera dilepaskannya dengan paksa setagen yang Minah pakai. Baju dari batik yang Minah pakai juga tak luput dari penguasaan pria gitu. “Jangan!” teriak Minah histeris. Gelombang suara teriakkan Minah sepertinya tidak sampai di telinga pria itu. Pria itu tak peduli dan terus melancarkan aksinya sambil tertawa tak karuan. Bengis.
Kini kain penutup tubuh Minah sudah lepas dari sang empunya. “Bapak mau apa, jangan telanjangi saya!” Minah tak diberi kesempatan untuk meraih kain miliknya yang sudah dilempar jauh dari ranjang. Minah tidak mengerti apa yang sedang dan akan terjadi, yang hanya ia mengerti adalah sesuatu yang buruk sedang menimpa dirinya.
Dibukanya lebar-lebar paha Minah, kemudian tangan besar pria itu menahan kedua tangan mangsanya. “Aaah!” Minah teriak kesakitan karena ada benda asing yang terbelam ke dalam kemaluannya.
“Sakit! Lepaskan saya!” Minah meronta seadanya dengan sisa tenaga yang ada. Pelangi yang ada di pinggir ranjang diraihnya untuk menutupi wajahnya.
Kini Minah telah siuman setelah pingsan tak kuat menghadapi penganiayaan tadi. Ia tergeletak di ranjang tak berkutik. Pria Jepang itu telah pergi entah kemana. Kini harapan membawa kehormatan saat ia hendak kembali ke rumahnya nanti telah lenyap. ‘Apa dosa hamba..’ ia kembali menangis. Sudah badan semua sakit, kemaluannya bengkak, harga diri pun diinjak. Sedang ia tidak punya kekuatan untuk menolak apa yang baru saja diperlakukan kepadanya. Pria itu kemudian datang lagi, esoknya, lusanya, dan seterusnya. Perbuatan itu diulangi sampai Minah menangis dan pingsan lagi entah untuk keberapa kali. Malang nian nasibnya.
Pada suatu pagi, kapal berhenti. Ia dan remaja lainnya turun dari kapal dan digiring menuju sebuah rumah. Lega sekali Minah karena telah lepas dari cengkeraman pria gundul itu. Namun, nasib ternyata tak membaik. Di dalam rumah itu, Minah justru harus menjadi mangsa untuk empat pria Jepang disana. Tak ada malam Minah lewati tanpa harus melayani mereka. Ia sudah sadar betul program yang Pemerintah Balatentara Jepang janjikan itu tinggalah janji. Ia dan entah ratusan atau ribuan perawan remaja lainnya telah menjadi korban durjana para iblis itu.
Tak lama datang rombongan gadis Cina. Minah tidak ditiduri lagi seperti biasanya karena sering jatuh sakit. Minah gunakan kelengahan para pria itu untuk melarikan diri masuk ke hutan dan kemudian menemui orang Alfuru yang sedang mencari sagu. Minah diajaki dan dibawa kerumah mereka. Diperlakukan seperti keluarga kecil. Wanita mungil itu kini harus bertahan hidup diperasingan. Ia telah menjadi buangan di tanah yang kini diinjakinya–Pulau Buru. Tidak ke Tokyo ataupun Shonanto. Semua itu hanyalah tipu daya Jepang untuk terus memproduksi perbudakan seks perawan pribumi.
Di lubuk hati, ingin sekali Minah kembali ke gubuk kecilnya bersama bapak dan ibunya, namun tak ada jalan baginya untuk itu. Lambat laun, ia sendiri yang membangun keluarga kecil dengan orang Alfuru di Buru.
Tanpa kabulan menjadi guru.
*Cerita fiktif ini terinspirasi dari kisah nyata Kartini–satu dari ribuan korban Jugun Ianfu yang merupakan sebuah kejahatan perang oleh Jepang pada masa pendudukannya di Indonesia. Kisah ini ditorehkan dalam catatan Soeprihono Koeswadi pada Februari 1976 yang kemudian dimuat dalam buku “Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer: Catatan Pulau Buru” karya Pramoedya Ananta Toer.
Penulis: Firda Cynthia