Kasus pelecehan seksual oleh seorang guru SMPN 3 Depok menjadi sorotan publik setelah viral di sosial media. Respons pihak sekolah yang dinilai lambat dan cenderung memojokkan korban memicu kekecewaan banyak siswa hingga menyulut aksi protes di sekitar kawasan sekolah.
Aspirasionline.com – Ratusan massa aksi padati kawasan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Depok di ruas Jalan Barito Raya pada Jumat, (23/5) siang lalu. Massa aksi terdiri dari barisan siswa, alumni, wali murid hingga warga sekitar. Hal ini merupakan buntut panjang dari kasus pelecehan seksual oleh salah seorang guru di sekolah tersebut.
Berdasarkan pantauan reporter ASPIRASI, massa mulai berdatangan dan berkumpul di dalam gang yang berseberangan dengan SMPN 3 Depok pada pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat (WIB).
Belum sempat aksi dimulai, seorang aparat kepolisian membubarkan massa aksi pada pukul 13.57 WIB dengan dalih aksi tersebut belum memiliki perizinan yang jelas.
“Kalau demo menyampaikan pendapat tidak ada surat pemberitahuan, itu dilarang oleh pemerintah bukan polisi. Jelas?” teriak aparat kepolisian itu di depan massa aksi pada Jumat, (23/5).
Sementara itu Keliyun (nama samaran), selaku salah satu penggagas aksi sekaligus orang tua alumni SMPN 3 Depok menyampaikan bahwa surat perizinan aksi sudah diberikan tiga hari sebelumnya.
“Sebenarnya kita sudah majuin izin. Nah, izin kan tiga hari sebelumnya,” ujar Keliyun kepada ASPIRASI pada Jumat, (23/5).
Keliyun mengatakan bahwa pihak Kelurahan dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) menyarankan untuk tidak melaksanakan aksi karena aksi tersebut melibatkan anak-anak di bawah umur sebagai peserta aksi.
Kronologi Kasus Pelecehan Seksual yang Memicu Aksi
Kasus pelecehan seksual tersebut mulai terungkap setelah Sarah Prasiska Putri, seorang pelatih ekstrakurikuler Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) SMPN 3 Depok, mengunggah postingan bukti pelecehan seksual seorang guru SMPN 3 Depok di akun Instagram pribadinya, @sarahprasiskaa pada Kamis, (22/5).
Dalam unggahannya, Sarah mempublikasikan sebuah rekaman suara berisi pelecehan verbal seorang guru senior bernama Irawadi kepada salah seorang korban. Irawadi merupakan guru Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Musik di SMPN 3 Depok.
Sedangkan korban dalam video tersebut merupakan seorang siswi kelas tujuh di sekolah yang sama. Dalam postingan tersebut, korban sengaja merekam percakapan tersebut untuk dijadikan sebagai barang bukti.
“Korban memberanikan diri merekam pembicaraan selanjutnya sebagai bentuk bukti,” tulis Sarah di postingan akun pribadinya pada Kamis, (22/5) lalu.
Tak berselang lama, unggahan Sarah memancing banyak pengakuan korban lain untuk berani ikut mengangkat suara. Bahkan, beberapa alumni dari angkatan sebelumnya turut menyampaikan pengakuan mereka.
Selaras dengan keterangan tersebut, Kamelia (nama samaran) selaku koordinator perlengkapan aksi solidaritas yang juga alumni Benteng Barito (Bento), julukan SMPN 3 Depok, angkatan 41 membenarkan hal tersebut.
“Korbannya itu ada yang dari (tahun) 2014, 2019, 2020, lebih dari 10 korbannya. Itu terhitung sekarang ada lebih dari 13 korban,’’ ujar Kamelia kepada ASPIRASI pada Jumat, (23/5).
Ia menuturkan bahwa aksi pelaku sebenarnya sudah lama terjadi jauh sebelum viralnya rekaman bukti korban di akun Sarah. Namun, pihak Kepala Sekolah (Kepsek) membungkam setiap upaya angkat suara para korban.
Sikap pembungkaman oleh kepala sekolah yang terlihat secara jelas di salah satu postingan di akun media sosial Instagram @depok24jam pada Kamis, (22/5). Postingan tersebut menunjukkan bahwa Kepsek menyebut kasus tersebut hanya berupa pelecehan verbal saja.
“Tidak melakukan tindakan itu (pelecehan fisik). Itu hanya tindakan verbal. Kata-kata yang itupun dipancing oleh anak,” ujar Kepsek dalam video klarifikasi tersebut.
Pernyataan tersebut sontak menyulut kekecewaan di kalangan siswa, alumni, hingga orang tua murid. Pasalnya, selain pernyataan yang menyalahkan korban, pelaku juga turut melakukan pelecehan secara fisik. Hal ini turut diakui oleh Anin, seorang alumni Bento angkatan 41 menyatakan adanya pelecehan fisik yang Irawadi lakukan.
“Selain dari pelecehan verbal itu ternyata ada juga yang pelecehan secara langsung yang dipegang-pegang juga, dan itu korban lain,” ujar Anin di lokasi aksi pada Kamis, (22/5).
Gerak-gerik mencurigakan Irawadi sebetulnya sudah sering ia lakukan. Kamelia mengakui bahwa semasa ia bersekolah di Bento, Irawadi kerap menahan tangannya ketika salim tangan saat Irawadi sedang piket jaga menerima siswa masuk sekolah di pagi hari.
Pelecehan seksual yang Irawadi lakukan di SMPN 3 Depok tanpa tindak lanjut yang tegas dari pihak sekolah memicu kegeraman para siswa. Kegeraman itulah yang menyulut para siswa kelas tujuh dan delapan untuk melaksanakan aksi spontan di kawasan sekolah.
“Anak-anak kelas tujuh dan delapan sekarang, mungkin mereka merasa solidaritas dan kecewa terhadap pernyataan kepala sekolah itu, akhirnya tersulut lah (aksi protes ini),’’ pungkas Keliyun.
Reporter ASPIRASI telah menghubungi nomor pribadi Sarah untuk kami mintai keterangan. Pihak Sarah belum memberikan respons sampai dengan berita ini terbit.
Gambar: ASPIRASI
Reporter: Sammanda, Mg. & Laila, Mg. | Editor: Abdul Hamid