Berbagai lapisan masyarakat tolak intervensi militer di ranah sipil dan menuntut akuntabilitas militer dalam pelanggaran-pelanggaran HAM militer melalui aksi Tolak RUU TNI.
Aspirasionline.com – Seluruh lapisan masyarakat gelar aksi sebagai bentuk menentang pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta Pusat pada Kamis, (20/3).
Aksi dilakukan dalam rangka menuntut penolakan pasal-pasal RUU TNI bermasalah yang diduga akan mengembalikan militer atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terhadap jabatan-jabatan aktif di ranah sipil pada 1998 lalu.
Berdasarkan pantauan reporter ASPIRASI, aksi diawali dengan kedatangan rombongan yang membawa narasi bantahan pada pukul 10.25 Waktu Indonesia Barat (WIB) diiringi dengan lagu Buruh Tani dan lagu perjuangan lainnya.
Sekelompok masyarakat yang diduga sebagai ‘buzzer’ pemerintahan turut melakukan aksi damai di tengah mulainya aksi penolakan RUU TNI pada Kamis lalu.
Dengan dipimpin oleh mobil komando, rombongan ini membawa spanduk bertuliskan “Aksi damai. Dalam rangka mendukung RUU TNI mendesak DPR RI dan pemerintah segera mengesahkan RUU TNI demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kendati kemudian, masyarakat sipil bergaung mengiringi aksi menolak RUU TNI meneriakkan “Tolak RUU TNI! Tolak Dwifungsi ABRI! Kembalikan Militer ke Barak!” dengan lantang di hadapan para ‘buzzer’ pemerintahan orasi damai.
Di kesempatan yang sama, salah satu anggota Amnesty International, Satya Azyumar, menyatakan bahwa aksi dilakukan sebagai bentuk protes masyarakat terhadap pasal-pasal yang bermasalah.
“Masih banyak pasal yang bermasalah, di mana diduga akan mengembalikan militer atau ABRI terhadap jabatan-jabatan aktif di sipil yang diduga akan mengancam supremasi sipil dan kami juga menyayangkan prosesnya yang tidak transparan, tidak akuntabel,” ujar Satya saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Kamis, (20/3).
Jejak Kelam Pelanggaran HAM Membayangi Kekhawatiran atas Pengesahan RUU TNI
Di tengah pembahasan RUU TNI ini, memunculkan berbagai kekhawatiran terulangnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu yang diduga melibatkan elemen militer yang hingga saat ini belum menemui titik terang.
Desakan penuntasan yang disuarakan seakan menjadi omong kosong belaka. Hadirnya RUU TNI tanpa ada diskusi dengan masyarakat justru menjadi bukti nyata pengkhianatan pemerintahan terhadap demokrasi dan hak masyarakat sipil.
Terlebih lagi, dalam RUU TNI mengandung beberapa pasal kontroversial yang mengancam supremasi sipil, seperti Pasal 7 serta Pasal 47.
“Pasal 47 tentang penambahan jabatan militer aktif di jabatan sipil, lalu juga pasal 7 tentang pelaksanaan operasi militer selain perang, di mana di situ kata kepentingan politik dihapus sehingga kontrol sipil menjadi berkurang,” ungkap Satya.
Kekhawatiran atas pengesahan RUU TNI turut dirasakan oleh masyarakat Papua, mengingat sejarah panjang pelanggaran HAM di wilayah tersebut yang masih membekas.
Alfaro, seorang aktivis dari Aliansi Mahasiswa Papua yang berasal dari Nduga, Papua Pegunungan, menilai bahwa pengesahan RUU TNI justru semakin memperparah kondisi yang ada di Papua.
“Arsipan masa lalu Papua itu telah kelam sekali dengan TNI. Apalagi dengan disahkannya ini (RUU TNI), tambah gila lagi. Maka dari itu, urgensi saya hari ini adalah berusaha untuk menyuarakan penolakan terhadap hal ini, karena ke depan akan semakin biadab,” tegas Alfaro kepada ASPIRASI pada Kamis, (20/3).
Satya juga menyoroti bagaimana pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diduga melibatkan militer hingga kini belum mendapat penyelesaian yang jelas. Alih-alih memperkuat akuntabilitas, pengesahan RUU TNI justru dinilai berpotensi melemahkan tanggung jawab TNI.
“Jika RUU TNI ini disahkan, justru akan menambah kewenangan TNI dan malah bukan pertanggung jawabannya,” ungkap Satya.
Sah di Tengah Aksi Berlangsung, RUU TNI Nihil Partisipasi Masyarakat Sipil
Ketok palu pengesahan RUU TNI pada Kamis, (20/3) sekitar pukul 11.00 WIB yang dilakukan oleh DPR menjadi bukti nyata dari tidak transparan dan tidak akuntabel RUU TNI.
Satya mengungkapkan, Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dari Amnesty International Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, dan lain sebagainya telah melakukan advokasi sejak lama.
Tak hanya advokasi, Koalisi Masyarakat Sipil juga menggelar petisi tolak RUU TNI yang ditandatangani lebih dari 15 ribu orang serta menjalankan audiensi dengan anggota DPR tapi masih nihil.
“Petisi kita sudah ditandatangani lebih dari 15 ribu orang. Kita sudah mengadakan audiensi juga dengan anggota DPR hari Senin kemarin dengan Komisi satu, tapi nyatanya hasilnya sampai sekarang bisa dikatakan nihil,” sesal Satya saat diwawancarai.
Samuel Joseph Jeremia, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjajaran (UNPAD) menyayangkan langkah pemerintah yang dinilai melangkahi supremasi sipil dalam amanat konstitusi.
Samuel berpendapat, aksi penolakan RUU TNI sangat penting dilaksanakan untuk menjamin bahwasannya orde baru tidak kembali lagi.
“Karena nantinya jika RUU TNI ini sudah disahkan, dan yang hari ini sudah disahkan, ini menjadi masalah karena akan ada relasi kuasa berlebih dari militer untuk adanya potensi pembukaman masyarakat terkhususnya di bagian suara dan ekspresinya,” pungkas Samuel.
Gambar: Calvin/ASPIRASI
Reporter: Ihfadzillah, Safira | Editor: Syifa Aulia