
Membuka Pikiran Lewat Foto Jurnalistik
Aspirasionline.com- Foto jurnalistik bukanlah sebuah foto biasa. Ada pesan dan berita yang terkandung di dalamnya
Foto jurnalistik merupakan bagian dari dunia jurnalisme yang menggunakan visual untuk menyampaikan berita. Hal tersebut juga merupakan elemen penting yang memiliki peran untuk menarik pembaca. Tak ayal, peran pentingnya ini menjadikan foto jurnalistik selalu mendapatkan tempat khusus dalam sebuah berita.
Selain menjadi elemen untuk menarik minat pembaca, foto jurnalistik juga memiliki peran lainnya. “Salah satunya adalah sebagai alat propaganda,” ujar fotografer majalah Gatra Dharma Wijayanto, saat ditemui di kantornya oleh ASPIRASI, Jumat (20/5) lalu.
Pria yang akrab disapa Dharma ini menjelaskan mengapa foto jurnalistik dapat berperan menjadi sebuah alat propaganda. “Jadi seperti cerita soal polisi memukul orang. Ketika kita mendapat gambar kekerasan itu dan ditanyangkan, para pembaca akan berpikir ‘sekejam itukah polisi?’, terus bisa jadi kalau si pembacanya minim pengetahuan soal polisi atau kerusuhan dan lain–lainnya, ia pasti akan membenci polisi,” tuturnya.
Efek dari foto jurnalistik yang satu ini juga pernah dirasakan sendiri oleh pria lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) tersebut. Dulu, dirinya pernah mengambil gambar dari seorang penderita gizi buruk bernama Sifa yang tinggal bersama kakeknya, Totong Juhana, di sebuah dusun di Pangandaran, Jawa Barat. Kondisi Sifa yang sangat mengenaskan ini berhasil diselamatkan Dharma dengan sebuah foto.
Selang foto tersebut tersebar dan menjadi viral di internet, sontak membuat Menteri Sosial terkejut. Tak menunggu waktu lama pun Staf Kepresidenan menerima respon dan memberi info ke Joko Widodo. Akhirnya Presiden langsung mengutus stafnya untuk menuju lokasi Sifa berada. Hal tersebut membuat Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan ‘kebakaran jenggot’. “Selama tiga setengah tahun saya di Gatra, saya baru merasakan kalau foto itu punya kekuatan, meski foto saya belum sempurna,” terangnya dengan bangga.
Selain berperan sebagai alat propaganda, foto jurnalistik juga memiliki peran–peran penting lainnya. Foto jurnalistik dapat berperan menjadi alat dokumentasi, awal dari sebuah reportase yang menggambarkan keseluruhan peristiwa, serta sebagai bukti dari sebuah peristiwa. “Walaupun fotonya biasa–biasa aja, tapi kalau hanya dia yang punya, itu bisa jadi bukti,” ujar pria kelahiran 1985 ini.
Tak dapat dipungkiri, foto jurnalistik selalu mendapatkan posisi istimewa dalam sebuah berita. Hal itu dikarenakan foto jurnalistik dapat membuka pikiran masyarakat mengenai suatu hal atau suatu peristiwa. Saat ditanya mengenai hal ini, Dharma menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan ‘theater of mind’ dari manusia.
Ia mencontohkan foto kebakaran di sebuah perkampungan padat yang diambil secara wide angle dari gedung tertinggi dengan api yang terbawa angin. Si pembaca pasti akan tergambar dalam pikirannya jika api tersebut akan merambat ke rumah–rumah yang ada di sekitarnya.
“Contoh paling gambang, jika bertanya ke seorang lelaki jika melihat foto wanita telanjang di majalah Playboy. Apa gambaran mereka? Apa yang kalian rasakan itulah contoh sederhananya. Itu ‘theater of mind’, karena setiap pembaca itu punya ‘theater of mind’,” jelasnya member contoh.
Untuk membuka pikiran pembaca melalui sebuah foto jelas bukanlah merupakan hal yang mudah. Pertama yang dibutuhkan adalah kerjasama yang baik antara fotografer dengan editor untuk menghasilkan sebuah foto yang dapat membuka pikiran para pembaca. Sang fotografer sendiri harus paham dengan ilmu visual literasi. Visual literasi sendiri merupakan kemampuan untuk membaca, mengerti dan memahami karya visual. “Terus yang kedua adalah dari editornya. Editornya sudah berlaku adil atau netral apa belum. Misalnya, dari pemilihan visualnya tersebut, ada elemennya apa aja, dia mesti tau.”
Hal selanjutnya yang dibutuhkan adalah kesamaan dengan peristiwa sebelumnya. Pria lajang ini mengambil contoh dari foto pemenang Worldpress Photo 2013 yang menggambarkan seorang wanita Yaman bercadar sedang menatap dan memeluk suaminya yang lemas akibat tertembak. Pose dari pasangan di foto itu memiliki kesamaan dengan pose Bunda Maria yang sedang memeluk anaknya, Yesus. “Itu posenya ada kesamaan, itulah kenapa foto tersebut jadi pemenang. Maksud saya, latar belakang yang seperti itu yang dibutuhkan buat seorang editor dan fotografer untuk menyusun agar foto itu bisa bertutur dengan baik. Jadi, di naskahnya sendiri pun nanti akan diceritakan untuk menambah drama dari fotonya,” tutupnya.
Reporter : Aprilia Zul Mg. |Editor : Haris Prabowo