Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Tantangan 2015
Aspirasionline.com – Aliansi Jurnalis Independen AJI Indonesia punya nahkoda baru. Dalam kongres ke-9 yang berakhir Minggu dinihari kemarin di Bukittinggi, Suwarjono terpilih sebagai ketua umum AJI yang baru. Ia didampingi Arfi Bambani sebagai Sekretaris Jenderal. Ada keberlanjutan di pengurus yang baru ini, karena Suwarjono sebelumnya menjabat Sekjen mendampingi ketua umum sebelumnya yaitu Eko Maryadi.
Ketua AJI Indonesia terpilih Suwarjono mengatakan, kepemimpinannya ke depan akan terus menegakkan tiga pilar isu utama AJI. Yakni kebebasan pers, profesionalisme dan etik, dan kesejahteraan. Namun, kata dia, ada tantangan yang berbeda tiap jaman, bergantung pada konteks situasi yang tengah berlangsung. Periode sebelumnya, kontestasi Pemilu dan Pilpres mendorong AJI untuk fokus menjaga idealisme para jurnalis agar senantiasa berjarak dan kritis terhadap semua pihak yang terjun dalam politik.
Di masa mendatang, tantangan pilkada, meski berbeda, tetap punya potensi yang sama dengan masa pemilu. Jurnalis di daerah, selain tetap harus independen, didorong untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Karena tidak tertutup kemungkinan, para pemilik media, memiliki kepentingan dalam pilkada dan memanfaatkan medianya untuk berkampanye.
“Bisa jadi ke depan lagi, modelnya sama, di pilkada sangat mungkin terjadi di daerah-daerah juga nanti, media dipakai untuk alat kampanye oleh pemiliknya yang bisa jadi juga ikut bertarung di pemilihan, gubernur, walikota, bupati dan ini bisa membuat media kita menjadi tidak lagi independen seperti yang kita harapkan,” kata Suwarjono.
AJI tegas menuntut jurnalis-jurnalis baik di daerah maupun nasional tentang isu kebebasan pers. Kata Suwarjono, jurnalis harus keluar dari profesinya, bila terlibat dalam aktivitas politik, semisal menjadi tim sukses dan terlibat dalam partai politik. Ini diperlukan agar tidak ada konflik kepentingan.
“Kami sudah memberi rambu-rambu, ini keputusan kongres, kalau teman2-teman masih ada yang mencoba-coba melakukan kerja-kerja di luar kerja jurnalistik, apalagi kerja politik, bahkan menjadi anggota saja, parpol saja, kita sudah minta keluar. Apalagi menjadi pengurus, menjadi tim sukses,” imbuh Suwarjono.
Suwarjono mengakui banyak jurnalis terutama di daerah, belum memiliki kompetensi yang baik. Bahkan dalam soal skill meliput, mereka masih di bawah standar. Ini disebabkan banyak perekrutan jurnalis yang cenderung asal-asalan.
“Ada beberapa jurnalis yang direkrut bukan karena kompetensinya, tapi kebetulan ada kekerbatan, pertemanan, hanya gara-gara melihat dulu pegang kamera, kemudian dia disuruh pegang kamera juga. Nggak ada pelajaran skill bagaimana cara meliput yang baik, asal bagus, langsung dikirim koresponden resminya, dia yang akan membuatkan beritanya,” kisah Suwarjono.
Belum lagi masalah, rayuan amplop yang sulit ditolak oleh jurnalis daerah dengan alasan minimnya kesejahteraan. Suwarjono berjanji akan tetap memperjuangkan kesejahteraan jurnalis, termasuk para kontributor daerah.
“Yang paling susah di daerah untuk dibersihkan adalah wartawan amplop. Meskipun mereka nggak meminta, tapi mau menerima pemberian dari narsum. Ketika ditanya, ya karena gaji dari tempat mereka bekerja, sangat rendah, dan tidak memenuhi standar hidup layak,” lanjut dia.
Di sisi lain, AJI ke depan akan fokus untuk mendorong munculnya media-media alternatif. Ini berguna sebagai media kontrol untuk mengimbangi media mainstream yang dikuasai setidaknya 9 pengusaha.
“Kita mendorong teman-teman jangan tergantung untuk bekerja pada perusahaan mainstream yang dimiliki oleh para konglomerasi media yang punya kepentingan. Justru saatnya kita membangun radio jaringan, online media jaringan, tv-tv lokal yang jauh lebih mandiri. Sehingga informasi tidak lagi berpusat pada media mainstream saja, tapi juga sekarang langsung dari masyarakat,” ungkap Suwarjono.
Terkait tantangan Masyarakat Ekonomi Asean 2015, Suwarjono menekankan peningkatan skill baik dalam kompetensi dan bahasa. Kata dia, secara kemampuan, jurnalis Indonesia tidak kalah dengan jurnalis asing. Namun, jurnalis asing lebih diuntungkan di sisi penguasaan bahasa internasional.
“Sebenarnya wartawan Indonesia, jauh lebih siap, baik secara kualitas liputan maupun faktor budayanya. Tapi kadang-kadang karena faktor bahasa yang kurang lancar. Daya tempurnya dengan negara lain, masih lemah. Jaringan internasionalnya juga belum seluas yang mereka berada di luar. Sehingga daya saingnya harus ditingkatkan lagi,” pungkas Suwarjono
Sumber : KBR68H