Berlangsungnya Kongres ke–5 IKA UPNVJ dihadapkan oleh banyak permasalahan. Ditetapkannya sistem kepemimpinan kolektif yang mengundang istilah “Sikok Bagi Duo” berinduk dari skema pra-kongres yang semrawut.
Aspirasionline.com – Ikatan Alumni (IKA) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) telah menggelar Kongres ke-5 pada 14–15 Desember 2024 lalu.
Digelar selama dua hari, agenda kongres disertai dengan pemilihan ketua umum IKA UPNVJ untuk periode 2024–2028 di hari kedua. Pemilihan dimeriahkan oleh dua kandidat, yaitu Bijak Fadhil Ahmad dengan nomor urut 01 dan Himawan Saputra dengan nomor urut 02.
Berbeda dengan periode sebelumnya yang menghasilkan hanya satu ketua terpilih, kongres kali ini justru menetapkan sistem kepemimpinan kolektif. Dalam periode kepemimpinan empat tahun kedepan, dua tahun pertama akan dipimpin oleh Himawan dan dua tahun berikutnya akan dipimpin oleh Bijak.
Dinilai tidak lazim, kepemimpinan kolektif ini mengundang terma “Sikok Bagi Duo” dari beberapa peserta yang mengikuti kongres, dan mengungkap ketidaksetujuannya akan keputusan tersebut.
Subagiono Aprilianto, salah satu delegasi Ikatan Alumni Teknik Perkapalan (IKAPAL) UPNVJ berpendapat bahwa keputusan sistem kepemimpinan kolektif diambil tidak melalui mekanisme yang sepatutnya.
Menurut keterangannya, sistem kepemimpinan kolektif yang seharusnya hanya menjadi usulan, mesti dilemparkan terlebih dahulu kepada forum kongres sebelum menjadi keputusan. Namun, alih-alih demikian, yang terjadi justru keputusan kepemimpinan kolektif ditetapkan bahkan sebelum diadakan pemilihan.
“Pemilihan belum terjadi. Satu, pemilihan belum terjadi. Tapi keputusan sudah dibacakan. Yang dibacakan tidak mempunyai acuan, referensi apa. Kan, itu baru forum. Belum keputusan,” ujar April kepada ASPIRASI pada Senin, (21/01).
Lebih lanjut, April menilai bahwa sistem kepemimpinan kolektif tidak berlandaskan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) IKA UPNVJ Tahun 2021 dan berpendapat seharusnya sistem ini dibentuk dan disahkan terlebih dahulu dalam AD/ART.
“Dalam AD/ART ada disebutkan nggak sikok bagi dua? Hanya itu saja. Kalau nggak begitu, ya dibuat aja aturan yang baru. Supaya itu legal,” sambung April.
Ketua IKA Fakultas Ilmu Komputer, Maulana Syahrial, sekaligus pencetus ide kepemimpinan kolektif mengungkapkan bahwa ide ini hadir sebagai wadah untuk menghimpun potensi dan kaderisasi yang dimiliki oleh Bijak dan Himawan.
“Betul, saya mengusulkan (dengan) dua alasan. Menggabungkan dua potensi dan kaderisasi,” ujar Syahrial saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Jumat, (31/01).
Syahrial menambahkan, keputusan ini juga didasari oleh kusutnya skema pra-kongres yang berdampak terhadap jalannya kongres.
“Saya melihat proses-proses yang dilalui dalam kongres kemarin itu tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang bisa disepakati kalau mengikuti mekanisme-mekanisme yang sudah dibuat dan dinamika yang terjadi pada saat itu,” ungkap Syahrial.
Karut-marut Jalannya Kongres yang Diindikasi Berawal dari Pra-Kongres
Saat dimintai keterangan oleh reporter ASPIRASI terkait ketepatan waktu pembentukan Steering Comittee (SC) empat bulan sebelum diadakan kongres sesuai ART Bab VIII Pasal 22 Huruf C. Danu Wintoro selaku ketua SC kongres ke–5 menyatakan bahwa pembentukan SC disiapkan dalam kurun waktu dua bulan sebelum kongres dilaksanakan.
Menurut Wintoro, hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman antara Majelis Alumni dengan ketua umum IKA periode keempat yang menganggap bahwa periodenya berakhir di tahun 2025, sedangkan Majelis Alumni menyatakan berakhir di tahun 2024.
“Ketua umum itu sempat menganggap bahwa periode dia berakhir di tahun 2025. Nah, Majelis Alumni itu bersikukuh periode itu berakhir di 2024. Kalau tidak salah bulan Juni atau Oktober, gitu. Jadi semua itu memang karena ada kesalahan dalam saling mengingatkan,” terang Wintoro saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Sabtu, (25/01) melalui telepon Whatsapp.
Wintoro melanjutkan, adanya kemoloran waktu dalam pembentukan SC menjadi dasar keputusannya untuk memberi kelonggaran waktu konfirmasi keikutsertaan IKA Jurusan maupun IKA Fakultas.
“Betul. Kalau menurut AD/ART itu disebutkan bahwa konfirmasi peserta itu 2 minggu (sebelum) pelaksanaan kongres. Tapi yang terlaksana di lapangan itu kita berikan kelonggaran hingga H-3,” lanjut Wintoro.
Menurut Muhammad Tohirudin, salah seorang alumni Program Studi Tekstil yang turut andil dalam penyusunan draft AD/ART, kongres pertama IKA UPNVJ mengemukakan bahwa dinamika sistem kepemimpinan kolektif ke–5 IKA UPNVJ dinilai berinduk dari kacaunya beberapa mekanisme pra-kongres.
Tohirudin berpendapat, ada sejumlah ketetapan IKA UPNVJ yang melanggar kode etik. Salah satunya terkait dengan pengangkatan mantan Ketua Umum IKA dengan inisial SA sebagai Penanggung Jawab (PJ). Penetapan SA sebagai PJ Ketua Umum IKA dinilai Tohirudin tidak sesuai dengan kode etik meskipun hal tersebut tidak diatur di dalam AD/ART.
“Kenapa bisa diangkat menjadi PJ karena pernah juga sebelumnya berlaku seperti itu. Jadi, dianggap (normal). Padahal itu secara etik sudah melanggar kode etik. Memang tidak ada aturan organisasi yang melarangi, tapi secara etika itu sama saja,” kata Tohirudin kepada ASPIRASI pada Senin, (21/01).
Lebih lanjut, Tohirudin menilai bahwa semrawut kongres diakibatkan oleh keterlibatan Majelis Alumni IKA UPNVJ dalam ranah yang bukan merupakan domainnya, yaitu terkait urusan kepesertaan kongres.
Tohirudin berpendapat, benang kusut ini berpangkal dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Majelis Alumni (TAP MA) Nomor 03 dengan nomor surat TAP-03/MA-IKAUPNVJ/2024, tentang Surat Tanggal 09 Desember 2024 Nomor A1.SPn-061/BPH/IKA-UPNVJ/XII/2024 ditandatangani oleh PJ Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Periode 2020–2024.

Dalam TAP MA No. 03 ditegaskan bahwa Majelis Alumni menolak Surat Tembusan Nomor 061 dari PJ Ketum IKA UPNVJ kepada Panitia Pengarah atau Steering Committee (SC) perihal adanya penambahan anggota IKA Jurusan UPNVJ yang semula berjumlah 19 menjadi 22 dengan penambahan IKA- KESMAS, IKA FH, dan IKALTI.

Tohirudin menimbang, TAP MA No. 03 akan menggugurkan semua peserta kongres sebab surat tersebut mempersoalkan surat 061 yang berisi daftar lampiran 22 jumlah anggota kongres yang dikeluarkan oleh PJ.
“Artinya kalau dia meminta dibatalkan atau dicabut surat 061 yang isinya adalah 22 anggota atau peserta kongres, berarti kongres dengan sendiri harusnya sudah gugur karena enggak ada pesertanya,” jelas Tohirudin.
Bernada sama dengan Tohirudin soal kekacauan kongres yang bersumber dari kepesertaan, Syahrial menambahkan bahwa masalah kepesertaan juga bersumber dari pijakan SC yang cenderung tidak jelas dalam menentukan anggota. Hal ini ditandai dengan tidak bulatnya keputusan SC dalam menetapkan anggota kongres dan malah berkoordinasi dengan Majelis Alumni.
“Harusnya (SC) nggak boleh bertanya (kepada Majelis Alumni). Tetapkan saja. Bertanya hanya sekadar meminta rekomendasi, oke. Mencari informasi, oke. Tapi problem-nya nggak begitu. Ketika Majelis menetapkan siapa peserta, itu udah salah,” ungkap Syahrial.
Syahrial melanjutkan, Majelis Alumni yang terdiri atas ketua-ketua IKA Jurusan atau IKA Fakultas hanya berstatus sebagai peserta kongres, bukan wasit. Tubrukan timbul ketika Ketua IKA yang punya kompetensi atau kewenangan dan otoritas untuk menyelenggarakan IKA akhirnya dipaksa harus mengikuti keputusan Majelis.
“Menetapkan peserta adalah kekuatan SC. Tapi ternyata majelis menetapkan siapa saja pesertanya. Dasarnya apa?” ujar Syahrial.
Sikok Bagi Duo, Buntut Pra-Kongres yang Dinilai Tak Lazim
Kekacauan dalam mekanisme pra-kongres menjalar hingga hari pelaksanaan. Sejak awal, ketidakteraturan membuat diskusi semakin pelik dan sulit mencapai titik temu.
Tohirudin mengungkapkan, ada tahapan krusial dalam kongres yang dilewati. Menurutnya, seharusnya kongres dimulai dengan pembacaan tata tertib yang di dalamnya meliputi aturan-aturan sidang.
“Padahal tata tertib sidang itu harusnya keputusan pertama yang harus dikeluarkan di dalam keputusan kongres. Kalau tata tertib sidangnya tidak ada ya begini jadinya, berkelahi mereka, saling tuduh,” ucap Tohirudin.
Membantah pernyataan tersebut, Wintoro berargumen bahwa tata tertib sidang dianggap sudah dibacakan karena diskusi telah dimulai.
“Tertib sidang itu dianggap sudah dibacakan karena memang kesepakatan itu segera dilaksanakan KLB untuk membahas AD/ART, gitu. Jadi semua tata tertib itu dianggap sudah dibacakan setau saya,” sanggah Wintoro.
Polemik hari pertama kongres, menurut Syahrial dipicu oleh masalah kepesertaan yang tak kunjung dituntaskan oleh SC.
“Itu (kepesertaan) kan nggak tuntas itu, perdebatannya panjang. Siapa yang boleh ikut. Karena ada beberapa peserta yang dianggap tidak boleh ikut padahal dia ada eksistensi di situ,” ujarnya.
Dinamika kepesertaan terus berlangsung usai Ikatan Alumni Sarjana Tekstil (IKASTEK) disetujui sebagai peserta kongres meski baru mengkonfirmasi kehadiran di H-1.
Kendati demikian, IKASTEK hanya diberikan dua suara, jauh lebih sedikit dibandingkan IKA lainnya yang memiliki tujuh suara. Hal ini tidak sesuai dengan BAB VIII ART pasal 22 huruf A yang menyatakan bahwa kongres setidaknya dihadiri masing-masing enam peserta dari alumni jurusan.
“Kalau udah boleh, ya boleh aja sekalian. Tapi ternyata enggak, ada perdebatan yang menyatakan lu (IKASTEK) kan baru daftar, dua orang aja deh,” tutur Syahrial.
Terkait IKASTEK yang hanya mendapatkan dua suara, Wintoro selaku SC mengakui bahwa keputusan tersebut ditetapkan olehnya demi netralitas sekaligus mempertimbang hak peserta. Mengingat IKASTEK baru mengkonfirmasi kehadiran di H-1 kongres.
“Kenapa dua (suara yang diberikan untuk IKASTEK), jadi beberapa rekan itu protes bahwa inikan H-1 adanya (konfirmasi kehadiran). Kita, kalau saya sebagai pimpinan sidang kan kita tetap memperhatikan nilai-nilai netralitas, terus kita juga memperhatikan hak-hak para peserta,” jelas Wintoro.
Isu kepesertaan tak berhenti di hari pertama. Ketidakjelasan aturan dan tarik menarik kepentingan terus bergulir hingga kongres hari kedua.
Di tengah kegaduhan, rapat setengah kamar digelar untuk mencapai musyawarah mufakat dengan melibatkan kedua calon ketua umum. Syahrial dan MW turut hadir mendampingi Bijak, sedangkan Himawan didampingi oleh MH dan TS.
Mengetahui Bijak dan Himawan selaku calon turut hadir dalam rapat setengah kamar tersebut, April mempertanyakan kelayakan calon ketua umum yang terlibat dalam musyawarah mufakat, mengingat pemilihan belum berlangsung.
“Ada Bijak dan Himawan di dalam (ruangan) itu. Saya jadi bertanya, apakah layak calon dilibatkan dalam musyawarah mufakat? Pemilihan belum dilakukan,” ucap April.
Di sisi lain, Bijak mengakui bahwa seharusnya ia tidak berada dalam diskusi tersebut. Namun, ketika dirinya mendapat telepon terkait kondisi yang tidak kondusif, ia memutuskan untuk datang.
“Saya seharusnya nggak ada di situ (rapat setengah kamar). Sampai saya di telepon, ‘ada situasi yang cukup tidak kondusif’, akhirnya saya datang sebagai orang yang mencalonkan diri untuk menetralisir situasi,” terang Bijak kepada ASPIRASI pada Selasa, (21/1).
Lebih lanjut, dalam rapat setengah kamar tersebut Syahrial berpandangan bahwa terlepas dari dinamika yang ada, sebuah kongres harus tetap menghasilkan kemaslahatan. Sehingga, di tengah kebuntuan tersebut, Syahrial mengusulkan kepemimpinan kolektif sebagai jalan keluar.
“Betul, terjadi dinamika yang pada akhirnya tidak bisa ketemu, enggak bisa ada kesepakatan gitu kan. Nah ketika di kebuntuan itulah maka saya mengambil inisiatif untuk mengusulkan yang saya sebut tadi dengan kepemimpinan kolektif,” terang Syahrial.
Syahrial menyatakan, dalam menyampaikan hasil rapat setengah kamar, terdapat mekanisme-mekanisme yang terlewati dengan tidak bertanya terkait persetujuan delegasi yang hadir.
“Di musyawarah mufakat (rapat setengah kamar) itu usulan saya disetujui. Tiba-tiba di dalam kongresnya, ketika masuk lagi, delegasi langsung aklamasi. Ya pasti banyak yang berteriak lah. Nah itu yang saya bilang ada mekanisme-mekanisme di hari H yang bermasalah,” ujar Syahrial.
Bersamaan dengan ini, Bijak menuturkan kepada ASPIRASI bahwa sebetulnya di dalam rapat setengah kamar tersebut, dirinya bersama MW memberikan usulan lain
Membenarkan pernyataan Bijak, Syahrial menjelaskan bahwa usulan pemilu raya tidak disetujui oleh Ketua Majelis Alumni. Ketua Majelis dalam hal ini menilai bahwa penundaan pemilihan akan mengalihkan beban tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilihan kepada majelis alumni.
“Kalau di tunda, Mba H itu posisinya sebagai ketua majelis alumni, kalau ini ditunda maka beban itu akan pindah ke majelis alumni untuk mempersiapkan lagi acara pemilihan berikutnya dan memang kita akui itu nggak mudah membuat acara alumni,” jelas Syahrial.
Kendati demikian, Wintoro menjelaskan bahwa ketika dirinya mendapatkan informasi terkait usulan sistem kepemimpinan kolektif, usulan tersebut disampaikan ke forum kongres melalui Ketua Pimpinan Sidang Tetap yakni, T dan H.
Meski melalui berbagai rangkaian pelik, nyatanya dari 23 IKA yang hadir di dalam kongres, 18 IKA telah setuju dan menandatangani hasil keputusan kepemimpinan kolektif.

Menanggapi kepemimpinan kolektif yang digadang-gadang melanggar AD/ART, Wintoro menilai bahwa hal tersebut tidaklah benar lantaran AD/ART sendiri tidak mengatur bahwa ketua umum harus satu orang.
Senada dengan hal itu, Syahrial turut berpandangan bahwa tipe kepemimpinan organisasi IKA UPNVJ sejatinya memang tidak diatur di dalam AD/ART. Menurutnya, untuk sesuatu yang sejak awal sudah dijalankan dengan tidak normal, maka tidak bisa mengharapkan hasil keputusan yang normal.
“Kalau (ingin) melihat AD/ART, dari awal itu harusnya sudah sesuai dengan AD/ART. (Ini) dari awal aja udah gak benar gitukan. Sesuatu yang sudah abnormal di awal, tidak mungkin menjadi normal di akhir. Itu susah,” jelas Syahrial.
Menurut Tohirudin, permasalahan penetapan ketua bukan berpangkal pada periode kepemimpinan yang dibagi menjadi dua. Namun, bagaimana terciptanya situasi kacau tersebut yang dipicu oleh hasil musyawarah di luar forum.
“Kan ini persoalannya sebuah keputusan di luar forum yang disebut dengan lobi-lobi, lalu tiba-tiba dibawa ke dalam forum sidang, menjadi keputusan sidang tanpa melibatkan peserta sidang. Itu sudah menjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan sidang,” ujar Tohirudin.
Pelbagai Pernyataan Sikap terhadap Hasil Akhir Kongres ke–5 Ikatan Alumni UPNVJ
Hadirnya sistem kepemimpinan kolektif pada kongres ke-5 menimbulkan berbagai cabang sikap dari berbagai peserta kongres.
Mila Tarsono, selaku Presiden IKAPAL menegaskan bahwa perlu adanya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk pemilihan ulang. Mila berujar, hal ini juga dibarengi oleh beberapa IKA lain, bahwa mereka telah mengirimkan surat untuk menyikapi pemilu hasil kongres IKA UPNVJ ke–5 dengan nomor surat B/07/IKAPAL/XII/2024.

“Kami bersuara melalui grup-grup IKA UPN dan surat kami yang sudah saya sampaikan ya tadi, sudah saya sampaikan juga ke majelis, ke SC, OC, ke ketua-ketua IKA, dan kemudian diteruskan ke rektor dan dekan fakultas kami agar tahu semuanya,” ujar Mila kepada ASPIRASI pada Senin, (21/1).
Menurut keterangannya, pernyataan sikap ini belum diindahkan oleh pihak yang dituju. Padahal, surat serupa sudah disampaikan dari tiga ketua IKA. Alih-alih direspons sebagaimana mestinya, mereka justru diminta membuat surat tanggapan terhadap tiga surat penolakan yang ada.
“Pada saat kami mengajukan, harusnya direspon tapi sampai detik ini itu boleh katakan belum direspon. Padahal, dari tiga ketua IKA itu sudah menyampaikan surat seperti yang sudah saya sampaikan itu. Jadi surat kami tidak direspon malah kami disuruh bikin surat tanggapan terhadap adanya tiga surat yang menolak itu,” ucap Mila.
Di sisi lain, bukan hanya kongres luar biasa, Tohirudin dengan tegas mendorong penyelenggaraan kongres ulang yang sesuai dengan aturan organisasi, sehingga menghasilkan ketua yang sah.
“IKA harus menyelenggarakan kongres ulang yang semua mekanismenya harus bersesuaian dengan aturan organisasi yang berlaku di dalam. Dan itu harus dijalankan, tidak boleh (ada) yang ditabrak, tidak boleh (ada) yang dilewati. Kalau memang mau organisasi ini tertib, kalau mau kepemimpinannya pun legitimasinya diakui oleh semua pihak,” kukuh Tohirudin.
Menanggapi penolakan dari berbagai pihak, Wintoro berpegang teguh bahwa tidak ada pelanggaran dalam kongres ke-5 IKA UPNVJ dan berpendapat bahwa adanya kongres ulang akan mencederai kesepakatan kongres.
“Menyangkut ketua umum dua orang itu, mereka sah karena mereka terpilih, dipilih di dalam kongres. Jadi kalau mau melaksanakan kongres ulang dan dianggap tidak sah, kita mencederai kesepakatan kita. Tapi kalau mau diadakan KLB, ya silakan,” ujar Wintoro.
Saat dimintai keterangan oleh reporter ASPIRASI terkait dengan isu ini, Himawan selaku calon nomor urut 02, Mutiara Hanum selaku Ketua Majelis Alumni, dan Anter Venus selaku rektor belum memberikan konfirmasi hingga berita ini terbit.
Gambar: Dokumentasi narasumber
Reporter: Ihfadzillah, Tia | Editor: Nabila Adelita