Maraknya Konten Singkat, Fenomena Short Attention Span Gerogoti Fokus Pengguna Media Sosial

Forum Akademika

Konten video pendek pada platform TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts kian berkembang. Namun, pada sisi lain, hal ini dapat memicu penurunan kemampuan fokus pada peminatnya yang dikenal sebagai short attention span.

Aspirasionlie.com – Di tengah gempuran arus informasi, konten singkat yang dikemas dalam bentuk video berdurasi sepersekian detik kian digemari khalayak ramai. Penyebabnya adalah platform yang menyediakan informasi video yang mudah diakses dan terkesan lebih praktis.

Tentunya hal ini menimbulkan masalah lain, terutama terkait penurunan konsentrasi penontonnya. Kondisi ini dikenal sebagai short attention span, ketika seseorang kesulitan mempertahankan fokus dalam waktu lama akibat sering terpapar  konten yang cepat dan singkat.

Psikologi Klinis, Tri Iswardani menyebutkan bahwa orang yang memiliki short attention span cenderung tidak bisa memfokuskan perhatian dalam jangka waktu yang lama.

“Tetapi ada yang gak bisa lama-lama kalau perhatiin. Perhatiannya itu pendek-pendek. Gak bisa dia gak kuat untuk bertahan di suatu subjek untuk dia belajar,” ungkapnya kepada ASPIRASI dalam Zoom Meeting di Kamis, (12/9).

Tri juga menjelaskan bahwa menonton konten pendek dan cepat dapat merusak rentang perhatian seseorang, sehingga jika dilakukan berulang kali, dapat mengurangi kemampuan untuk berkonsentrasi pada pembahasan yang mendalam.

“Yang pada gilirannya, dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi dalam waktu lama pada tugas-tugas yang lebih mendalam,” jelasnya lebih lanjut.

Ketergantungan Sosial Media bagi Attention Span Manusia

Konten digital yang tersedia di berbagai platform media sosial dirancang sedemikian rupa untuk tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga mempertahankan fokus target audiensnya.

Sejalan dengan hal itu, Ismail Fahmi selaku Dosen Informatika Universitas Islam Indonesia (UII) sekaligus pengamat media sosial, menjelaskan bahwa algoritma di berbagai platform media sosial dirancang untuk membuat pengguna terus tertarik dengan konten yang disajikan.

“Karena algoritma di program seperti di Tiktok, Facebook, dan YouTube mereka ingin penggunanya berminat ya, dan untuk membuat tertarik terus itu dikasih video pendek,” jelasnya kepada ASPIRASI dalam Zoom Meeting di Sabtu, (7/9).

Menurut Ismail, akibat dari algoritma yang terus diberikan konten video pendek oleh penyedia platform, hal ini berdampak terhadap dopamin dalam otak seseorang setiap kali selesai menonton video pendek.

“Kecanduan itu ada dopamin, setiap kali melihat video sampai selesai, senang dia. Tapi, kalau tidak selesai, enggak senang,” ucap Ismail.

Senada dengan Ismail, Tri juga menyampaikan bahwa ketertarikan jenis konten pendek yang sering dilihat seseorang itu sudah terekam dalam big data, sehingga kebiasaan menonton video pendek itu bisa menyebabkan mudah berpindah fokus.

“Kamu berpindah-pindah dari satu video ke video yang lain. Sehingga, fokus kamu juga cepat berpindahnya. Dapat menurunkan toleransi terhadap aktivitas yang membutuhkan perhatian berkelanjutan,” ungkap Tri.

Penurunan Daya Berpikir Kritis Timbul Sebagai Sebuah Reaksi

Di sisi lain, Tri menjelaskan defisini attention span sendiri merupakan rentang perhatian sebagai kemampuan yang dimiliki manusia. Akan tetapi, terdapat juga orang yang memiliki rentang perhatian yang pendek sehingga seringkali sukar fokus. Tentunya, hal ini dapat menjadi alasan seseorang lebih suka untuk menonton video atau konten singkat.

“Bisa jadi orangnya dari dulu udah kemampuan attention span-nya udah rendah dan dia jadi nyari yang Tiktok, karena dia ga tahan nonton video yang panjang-panjang,” ujarnya.

Ismail juga berpendapat, akibat kebiasaan menonton video pendek berpengaruh terhadap daya pikir kritis.  Meskipun beberapa video pendek dapat memberikan penjelasan runut, kebanyakan video singkat hanya menawarkan informasi yang dangkal dan terbatas.

“Ya memang ada beberapa video edukasi yang cukup bisa dikatakan cukup panjanglah mungkin 3 menit, tetapi  dalamnya video yang segitu itu masih cukup dangkal ya kalau dibandingkan dengan kita membaca paper, baca-baca artikel yang lebih dalam lagi membaca analisis,” ucapnya.

Meski begitu, Tri mengungkapkan bahwa efek dari video pendek bisa beragam tergantung pada individu dan frekuensi penggunaan platform tersebut. Seseorang mungkin cenderung pelupa karena banyak informasi yang ingin disimpan.

“Lupa tersebut bisa terjadi karena dalam satu saat banyak informasi yang ingin disimpan, sehingga dia tidak bisa berkonsentrasi. Akibatnya, ingatan tersebut tidak dapat diproses dengan baik,” pungkasnya.

Untuk meminimalisir short attention span, Ismail menyarankan istirahat sejenak dari sosial media lalu menyibukkan diri dengan aktivitas lain seperti jalan-jalan melihat alam, membaca komik atau berdiskusi dengan teman.

“Kalau seandainya kita hanya di HP (Handphone) terus, gak akan bisa kalau kita memecahkan short attention menggunakan media sosial itu gak akan bisa, karena si algoritma yang menampilkan video-video kita itu cenderung malah membangun short attention span,” tutupnya.

 

Ilustrasi: ASPIRASI/Azzahwa Zulfa

Reporter: Azzahwa Zulfa | Editor: Anggita Dwi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *