Barisan Aksi Kamisan mengirimkan surat terakhir kepada Presiden Joko Widodo menjelang pelantikan presiden serta wakil presiden terpilih selanjutnya. Isi surat merefleksikan satu dekade Jokowi menjabat sebagai bentuk kemunduran demokrasi.
Aspirasionline.com – Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat yang jatuh pada tanggal 17 Oktober 2024 lalu menandakan akhir dari pagelaran Aksi Kamisan selama masa rezim presiden Joko Widodo.
Aksi Kamisan ke-836 menjadi momen terakhir ketika Aksi Kamisan ke depannya tidak lagi akan mengirimkan surat di kepemimpinan presiden selanjutnya.
Salah seorang Pelopor Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, menjelaskan mengenai keterlibatan Prabowo Subianto dalam aksi penculikan pada tahun 1998 mendorong keputusan untuk tidak lagi mengirimkan surat kepada presiden di masa mendatang.
“Kami, mulai Kamis yang akan datang tidak lagi akan mengirim surat kepada presiden,” tegas Sumarsih di hadapan audiens Aksi Kamisan pada Kamis, (17/10).
Tanggapan serupa juga disampaikan oleh Asfinawati, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia memberikan pandangan terkait pertimbangan mengapa keputusan untuk menghentikan pengiriman surat kepada presiden diambil.
“Tidak masuk akal memberikan surat kepada presiden untuk menuntaskan pelanggaran HAM, jika pelaku pelanggaran HAM adalah presiden itu sendiri,” pungkas Asfinawati pada Aksi Kamisan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, (17/10).
Kemunduran Penegakkan HAM dan Reformasi Era Jokowi
Dalam aksi ini, surat terakhir yang disampaikan pada Kamisan kali ini ditulis oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Secara gamblang, surat terakhir tersebut menyoroti kegagalan Jokowi dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Dalam surat bernomor 476/Surat Terbuka_JSKK/X/2024 berisi kebohongan Jokowi dalam pemenuhan janji-janji terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Janji penuntasan tersebut seolah hanya digunakan sebagai alat kampanye untuk mengejar kekuasaan dan jabatan.
Alih-alih menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran yang ada, rezim Jokowi justru memperpanjang daftar pelanggaran HAM. Ketua Forum Masyarakat Adat Malind Anim, Simon Balagese, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Presiden Jokowi yang dinilai tertutup terhadap kerusakan lingkungan yang menghancurkan tempat tinggal masyarakat adat.
“Beberapa hari lagi beliau akan turun, namun dia titipkan kerusakan hutan yang luar biasa. Kami adalah korban, tanpa disetujui lahan-lahan kami (masyarakat adat) digusur,” kata Simon di hadapan audiens pada Kamis, (17/10).
Selain dianggap pembohongan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pemerintahan Jokowi juga dinilai mencederai era reformasi Indonesia melalui terjadinya pembajakan demokrasi dan negara hukum.
Seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia menyatakan bahwa iklim politik yang dibangun oleh Jokowi selama satu dekade terakhir tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan Soeharto pada masa Orde Baru.
Menurut Yassar, tiga pembajakan yang pada masa pemerintahan Jokowi, seperti upaya membunuh independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adanya manuver secara politik untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dan perubahan aturan pemilu melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas melanggar etik.
“Ini hal yang tidak pernah dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya, hanya Jokowi yang berhasil untuk mencoba melakukan hal ini,” cetus Yassar pada saat refleksi aksi pada Kamis, (17/10).
Menjelang akhir Aksi Kamisan ke-836, Sumarsih sebagai pelopor menyatakan bahwa meskipun tidak ada lagi pengiriman surat kepada presiden, Aksi Kamisan akan terus berlanjut. Aksi tetap konsisten berdiri dan berjuang melawan impunitas, menjaga ingatan, serta menuntut akuntabilitas atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM.
Foto: Abdul Hamid
Reporter: Abdul Hamid | Editor: Rara Siti