Kultur Kriminalisasi dan Pelanggaran Hak Sipil sebagai Ilusi Reformasi Polri

Nasional

Sudah 26 tahun celah besar penegakan hukum bagi pelanggaran HAM oleh anggota masih belum ditangani. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti urgensi reformasi di tubuh Polri dalam laporan terbarunya. 

Aspirasionline.com – Pada peringatan Hari Bhayangkara tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KontraS kembali menyoroti bobroknya institusi kepolisian yang diadakan di kantor KontraS, Jakarta Pusat pada Senin, (1/7).

Laporan Hari Bhayangkara secara konsisten diluncurkan dengan tujuan untuk memberikan saran, kritik, serta rekomendasi kepada Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia yang masih sering terjadi.

Dalam laporan kali ini, KontraS memulai dengan menyoroti bagaimana praktik militerisasi dan kriminalisasi oleh Polri yang kerap kali menjadikan masyarakat sipil sebagai korban. 

Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Agus Arya menjelaskan bahwa ada tiga hal dalam mengkaji performa kepolisian. Salah satunya jejak militerisasi era orde baru yang tampaknya masih melekat dalam institusi kepolisian, meskipun Polri sudah tidak lagi menjadi bagian dari angkatan bersenjata.

Perlakuan sewenang-wenang dan kekerasan yang sering dilakukan oleh institusi kepolisian digadang-gadang sebab masih ada celah dalam ketiadaan hukuman yang setimpal bagi anggota kepolisian yang terbukti melakukan kesalahan.

“Pelanggaran etik, prosedur, maupun pidana itu diproses hanya sebatas pelanggaran etis saja tanpa kemudian melakukan dorongan untuk proses dalam tindakan atau melalui mekanisme hukum pidana,” ungkap Dimas kepada audiens dalam acara peluncuran Laporan Bhayangkara 2024 pada Senin, (1/7).

Polri sebagai Aktor Utama Pelanggaran Hukum dan Pembatasan Kebebasan Hak-Hak Sipil Politik

KontraS mencatat bahwa dalam periode satu tahun ini (Juli 2023 hingga Juni 2024), terdapat 641 insiden kekerasan dengan jumlah korban luka sebanyak 754 orang dan 38 orang tewas di tangan kepolisian. Dari total kejadian tersebut, 460 di antaranya disebabkan oleh insiden penembakan.

Penangkapan sewenang-wenang tanpa mengikuti prosedur yang ada, yang seringkali berujung pada kasus salah tangkap, tampaknya terus berulang. Menurut catatan KontraS, terdapat 49 insiden penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan 15 kasus salah tangkap, dengan total 23 korban.

Jadi, yang kami temukan kepolisian masih belum bisa mengontrol upaya-upaya dalam mendorong mekanisme swadaya dalam mengoreksi tindakan-tindakan dan mencegah tindakan kekerasan,” tutur Dimas dalam laporannya.

KontraS juga mencatat adanya peningkatan kekerasan dalam sektor agraria dan Sumber Daya Alam (SDA), yang mencatat sebanyak 52 kasus, dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya mencatat 28 kasus. KontraS menyayangkan bahwa kekerasan ini seringkali dipicu oleh gerakan perlawanan masyarakat sipil yang berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka.

Vebrina Monicha sebagai perwakilan Divisi Hukum KontraS turut membeberkan data bahwa terjadi 75 peristiwa represi terhadap kebebasan sipil, di antaranya 36 kasus pembubaran paksa, 24 kasus penangkapan semena-mena, dan 20 tindakan intimidasi terhadap masyarakat sipil.

“Bagaimana kemudian polisi yang seharusnya memberikan keamanan, memberikan kenyamanan terhadap kita warga sipil yang hendak memperjuangkan hak-haknya justru malah berbalik polisi memposisikan dirinya sebagai lawan,” tutur Vebrina pada kesempatan yang sama.

Peluncuran laporan ini menghadirkan pula Rusin, orang tua dari Fikri, yang menjadi salah satu korban salah tangkap pada tahun 2021. Fikri ditangkap, ditahan, dan mengalami penyiksaan verbal karena diduga sebagai pelaku tindak pembegalan yang terjadi di Tangerang. Namun, akhirnya Fikri dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

“Sampai disundut, ditendang oleh pihak kepolisian yang nggak punya rasa perikemanusiaan. Sampai-sampai di dalam tahanan pun masih dipukuli,” ujar Rusin memberikan kesaksiannya dalam acara peluncuran laporan tersebut.

Tidak hanya kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Tangerang saja, Kepolisian Resor (Polres) Metro Bekasi turut melakukan pencurian 3 unit handphone yang sebelumnya merupakan barang bukti pada saat penangkapan, namun tidak dikembalikan. 

Atas rekomendasi dari Komnas HAM, Rusin melaporkan balik atas tindak pencurian dan kekerasan yang dilakukan oleh penyidik. Namun, alih-alih mendapatkan tanggapan terhadap laporannya, Rusin justru diberitahu bahwa penyidik yang melakukan kekerasan tersebut dipindah tugaskan.

“Saya dengar-dengar itu dipindahkan ke polres, ditempatkan di PPA, PPA kan berkaitan dengan anak-anak, nanti kalau dia menangani kasus anak-anak lalu dipukuli lagi tuh anak-anak bagaimana ‘kan lucu,” ungkap Rusin.

Problematika RUU POLRI di Tengah Kondisi Internal Institusi yang Bobrok

Rancangan Undang-Undang (RUU) Polisi Republik Indonesia (Polri) memiliki substansi yang dapat memperburuk munculnya berbagai masalah. Beberapa pasal dalam RUU tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga.

Pasal lain dalam RUU Polri masih mencakup tentang pembinaan Pengamanan Swakarsa (Pam Swakarsa) dan keberadaan penyidik di luar kepolisian, yang dapat menimbulkan potensi pelanggaran HAM.

Hans Giovanny Yosua selaku Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS menjelaskan salah satu pasal yang bermasalah berupa aturan terkait penambahan wewenang dari kepolisian untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang cyber, dan pasal mengenai penyadapan.

Penyadapan seharusnya dilakukan berdasarkan standar-standar internasional, dan menurut teori hukum pidana, penyadapan dilakukan dalam konteks penyelidikan atau investigasi terhadap tindak pidana ketika dilakukan oleh kepolisian. Namun, dalam RUU ini tidak dijelaskan lebih lanjut terkait aturannya.

“Dalam RUU polri penyadapan ini tidak jelas ditunjukkan untuk apa dan dalam konteks apa,” kata Hans kepada audiens dalam acara peluncuran Laporan Bhayangkara 2024 pada Senin, (1/7).

Dosen Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian juga menuturkan bahwa kontrol atau pengawasan harus dilakukan sesuai dengan hukum, dan hanya dapat dilakukan ketika ada dugaan kuat terhadap tindak pidana yang serius. 

Dalam hal perluasan kewenangan polisi untuk melakukan perlambatan akses, pemutusan akses, dan pemblokiran ruang cyber, jika diimplementasikan maka akan ada potensi bahwa pasal tersebut dapat mengurangi atau bahkan menghambat kebebasan berekspresi.

“Aktivitas kriminal yang diawasi, bukan mengawasi aktivitas masyarakat sipil yang tidak melakukan perbuatan atau belum ada dugaan melakukan perbuatan pidana,” ungkap Sofian.

Sofian menambahkan bahwa meskipun keselamatan dan keamanan online memang penting, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan privasi pribadi turut diperhatikan dengan serius.

“Seharusnya penyadapan itu tidak diperkenankan jika tidak dalam konteks justicia atau tidak dalam konteks penyidikan, Jadi kalau undang-undang polisi itu dianggap sebagai lex specialis, ini berbahaya,” lanjut Sofian.

Alih-alih mendorong adanya revisi Undang-Undang Kepolisian yang tidak terlalu mendesak, KontraS dan pihak-pihak yang terlibat dalam Laporan Bhayangkara 2024 menyarankan seharusnya terlebih dahulu memperhatikan adanya evaluasi yang menyeluruh terhadap institusi tersebut.

“Revisi undang-undang ini sudah dulu pembahasannya, sampai nanti rezim yang baru akan dilantik dan keterlibatan masyarakat diperluas untuk memberikan masukan, RUU itu harus dibuka ke publik,” tutup Sofian.

 

Foto: Safira

Reporter: Khaila Adinda | Editor: Rara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *