Jurnalisme Alternatif sebagai Wadah Anti-Diskriminasi

Berita UPN

Jurnalisme arustama nyatanya belum mampu untuk mengakomodir pemberitaan isu masyarakat adat secara inklusif. Oleh karena itu, hadirnya jurnalisme alternatif dapat memberikan kesempatan bagi suara masyarakat adat lebih terdengar. 

Aspirasionline.com – Seiring berjalannya waktu, kemunculan berbagai bentuk media massa semakin beragam. Penyajian informasi yang ditawarkan masing-masing media pun bervariatif, mulai dari dunia kriminal sampai dunia hiburan.

Meski demikian, tidak banyak media arustama yang memberikan cukup ruang bagi masyarakat adat untuk bersuara. Karenanya, perlu opsi lain dalam memberitakan perihal isu di lingkungan masyarakat adat. 

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ASPIRASI mengadakan kegiatan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) ke-39 yang bertajuk “Membingkai Keberagaman Membangun Jurnalisme yang Inklusif,” demi membahas persoalan masyarakat adat lebih jauh pada Sabtu, 8 Juni 2024.

Perlu diketahui, PJM adalah kegiatan tahunan berbentuk seminar terbuka yang diadakan secara tatap muka oleh LPM ASPIRASI yang membawa isu-isu  jurnalistik kepada khalayak umum.

Acara yang bertempat di Auditorium Fakultas Kedokteran, Gedung Wahidin Sudirohusodo, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) tersebut menghadirkan dua pembicara, yaitu Nani Afrida selaku Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Nurdiyansah Dalidjo, seorang manajer tim di Project Multatuli.

Pembahasan mengenai corak jurnalisme alternatif ini disampaikan oleh Nurdiyansah Dalidjo pada sesi kedua yang membahas mengenai “Membangun Kesadaran Publik tentang Isu-Isu yang Dihadapi Masyarakat Adat Melalui Media.”

Diyan, panggilan akrabnya, di awal sesi menyampaikan alasan betapa sulitnya pemberian ruang kepada masyarakat adat di media arus utama saat ini.

“Karena kita tahu kalau jurnalisme arus utama punya ketersinggungan dengan bisnis, punya ketersinggungan dengan pemerintah, punya keterikatan-keterikatan yang membuat independensi, kepercayaan, atau keterwujudan terhadap kebenaran terganggu,” tutur Diyan di depan para audiens yang hadir pada Sabtu, (8/6).

Dirinya mengaku tidak sepakat dengan hal tersebut, karena Diyan memandang bahwa jurnalisme merupakan suatu gerakan sosial dengan cita-cita akhir terciptanya keadilan sosial di kemudian hari.

Oleh karenanya, menurut Diyan, jurnalisme inklusif yang juga termasuk ke dalam jurnalisme alternatif adalah salah satu cara demi mewujudkan hal tersebut.

Dalam konteks masyarakat adat, dirinya mengakui akan masih adanya tantangan bahkan bagi media bukan arustama sekalipun, khususnya terkait penyediaan partisipasi aktif masyarakat adat dalam proses pembuatan berita dalam dapur redaksi mereka, seperti menulis dan mengambil gambar.

Berangkat dari situ, dirinya kemudian menerangkan akan fungsi sebetulnya jurnalisme alternatif dalam konteks Indonesia, yaitu sebagai upaya mendekolonisasi masyarakat.

“Bahwa kita punya kesadaran, bahwa kita menerima dan masih merawat mungkin warisan kolonialisme, penjajahan yang bentuknya bukan lagi oleh orang-orang kulit putih tapi bisa jadi orang Jawa terhadap orang Papua, negara terhadap rakyatnya, kelompok mayoritas terhadap minoritas,” kata Diyan. 

Pembahasan berlanjut sampai pada mendefinisikan masyarakat adat. Akan tetapi, Diyan menggarisbawahi bahwa definisi masyarakat adat bukan selalu masyarakat adat yang ada di suatu wilayah tertentu.

Hal itu menjelaskan kaitannya mengenai masyarakat adat Indonesia yang memiliki pengalaman terhadap forced relocation, penggusuran, perpindahan secara paksa oleh pemerintah dengan memiskinkan daerah adat tertentu untuk membangun wilayah perkotaan lain, yakni Pulau Jawa.

“Potret masyarakat adat di media lekat dengan stigma dan diskriminasi,” lanjut Diyan menambahkan.

Maka, fungsi jurnalisme alternatif justru untuk memberikan ruang bagi masyarakat adat dalam menyuarakan isu mereka sendiri.

“Bagaimana kemudian jurnalisme atau jurnalistik itu bisa menjadi ruang untuk teman-teman minoritas termasuk juga masyarakat adat, dan juga membawa suara-suara mereka yang memang tidak terdengar,” tutup Diyan.

 

Foto: ASPIRASI

Reporter: Abdul Hamid | Editor: Nayla Shabrina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *