Laut Bercerita: Kisah Kelam Politik dan Represi di Masa Orde Baru Indonesia

Resensi

Judul Buku   : Laut Berceritaa

Penulis         : Leila S. Chudori 

Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama 

Tahun Terbit  : 2017

Halaman       : 379

Novel berjudul “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori menggambarkan keadaan politik dan sosial di Indonesia pada masa Orde Baru dengan sangat mendalam. Dikisahkan melalui sudut pandang yang berbeda-beda, novel ini mengungkap kompleksitas politik serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama rezim tersebut.

Aspirasionline.com – Buku “Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori, seorang wartawan majalah Tempo yang diterbitkan tahun 2017, adalah sebuah novel yang mempersembahkan kisah yang menggugah tentang kompleksitas politik pada masa Orde Baru di Indonesia. 

Dalam latar belakang politik yang penuh tekanan, pembaca dibawa untuk menyaksikan kehidupan para karakter yang terjerat dalam pusaran tragedi dan kejahatan politik rezim otoriter.

Buku ini membeberkan betapa buruk keadaan saat itu dengan menggambarkan era Orde Baru di Indonesia, ketika kekuasaan dipegang oleh rezim yang otoriter dan brutal. 

Kisah dalam buku tersebut berfokus pada sekelompok karakter yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, mulai dari aktivis politik, jurnalis, hingga pejabat pemerintah yang terlibat dalam intrik politik rezim. 

Para penguasa pemerintahan dengan sedemikian rupa menata dan melakukan pembohongan publik untuk menguasai kekayaan demi keuntungan pribadi semata. 

Melalui narasi yang kuat dan mendalam, “Laut Bercerita” menghadirkan gambaran yang menggugah hati tentang politik yang kompleks dan penuh dengan intrik di masa Orde Baru, sambil menyelipkan pesan-pesan penting tentang keadilan, perjuangan, dan keteguhan hati dalam menghadapi tirani. 

Represi Politik, Ketidakadilan, hingga Penculikan dan Penghilangan Paksa

“Hari-hari itu, politik itu umpatan, dan berbicara tentang politik berarti meludahi makna, meludahi prinsip-prinsip. Lalu yang berbicara tentang politik adalah orang-orang yang ingin menyingkirkanmu.” (Halaman 32)

Sepotong kalimat yang ditulis dalam buku itu menggambarkan tentang betapa ketidakadilan dan represi politik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di bawah rezim Soeharto. 

Para aktivis yang berani menyuarakan pendapat atau mencoba memperjuangkan hak-hak rakyat sering kali menjadi sasaran intimidasi, penangkapan, bahkan penculikan. 

Dalam buku “Laut Bercerita”, digambarkan juga situasi sang tokoh yang berani berbicara terbuka tentang busuknya politik dihadapkan pada intimidasi dan penindasan. Misalnya, jurnalis, seperti tokoh bernama Fitri yang berusaha mengungkap kebobrokan rezim melalui tulisannya, sering kali menjadi target ancaman dan tindakan represif dari pihak berwenang. 

Melalui dialog-dialog yang tajam dan konfrontatif antara tokoh dalam buku, Chudori berhasil memberikan gambaran betapa sulitnya hak kebebasan berpendapat di masa itu. 

Penindasan layaknya hal wajar dan manusiawi menjadi makanan bagi para aktivis penentang otoriter yang berkuasa.

Korban-korban penculikan diburu dan ditangkap secara diam-diam oleh aparat keamanan, kadang-kadang di tengah malam atau bahkan di tempat umum. Suara sirine polisi, langkah-langkah berat di belakang, dan kilatan sinar lampu juga memberikan nuansa mencekam bagi para pembaca.

Seorang aktivis politik bernama Maya digambarkan sebagai tokoh yang berani dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Namun, ketika rezim mulai mengintensifkan tindakan represifnya terhadap para aktivis, Maya menjadi salah satu target operasi penculikan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Setelah diculik, Maya mengalami penyiksaan yang mengerikan di tangan aparat keamanan. Dia dianiaya secara fisik dengan pukulan, tendangan, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. 

Selain itu, Maya juga mengalami penyiksaan psikologis, seperti ancaman terhadap keselamatan dirinya dan keluarganya, serta interogasi yang kasar dan menghancurkan.

Melalui “Laut Bercerita”, Chudori menggambarkan secara detail bagaimana korban-korban penculikan menghadapi penyiksaan, baik fisik maupun psikologis di tangan aparat keamanan. 

Penggambaran ini tidak hanya menggambarkan betapa brutalnya rezim Orde Baru dalam memadamkan setiap bentuk oposisi politik, tetapi juga menggambarkan keberanian dan kegigihan para aktivis yang berani mempertahankan keyakinan mereka meskipun menghadapi ancaman yang sangat besar.

Penyelewengan Kekuasaan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Buku “Laut Bercerita” memperlihatkan penderitaan yang dialami oleh para korban kekejaman rezim Soeharto melalui penggambaran yang sangat emosional.

Menceritakan bagaimana para aktivis politik yang berani memperjuangkan keadilan sering kali menjadi target penindasan pemerintah. Ketika salah satu karakter, seorang aktivis politik berani bernama Ahmad, ditangkap secara brutal oleh aparat keamanan. 

Ahmad merasakan setiap tulang di tubuhnya terasa hancur, tetapi lebih dari itu, ia merasakan kehancuran hatinya. Ia tak pernah membayangkan bahwa perjuangannya demi mendapat keadilan akan membawanya pada penderitaan sebesar ini. 

“Orang seperti itu, tak perlu polisi atau tentara menculiknya. Cukup ceritakanlah kepadanya, bagaimana penculikan berlangsung, maka dirinya akan menyerahkan diri. Dia akan bersembunyi, menghilang, merasa aman, tetapi bukan dalam arti ketakutan akan diculik, melainkan ketakutan akan berada dalam posisi yang lemah.” (Halaman 115)

Melalui kalimat tersebut, terlihat betapa resahnya masyarakat di bawah rezim otoriter, saat ketakutan akan kehilangan kebebasan dan martabat menjadi hal yang melumpuhkan.

Situasi dalam buku “Laut Bercerita” mencerminkan realitas yang terjadi di Indonesia, ketika sejarah gelap rezim Soeharto menyisakan trauma dan ketakutan dalam masyarakat. Meskipun rezim tersebut telah berakhir, pelanggaran HAM masih menjadi tantangan serius di Indonesia. 

Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sepanjang tahun 2021 terdapat 64 kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan di Indonesia.

Tidak terkecuali di Papua, pelanggaran HAM dan kekerasan masih sering mengancam. Banyaknya laporan tentang penindasan terhadap aktivis pro-kemerdekaan, pembatasan kebebasan berpendapat, dan penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap penduduk sipil. 

Mengacu pada laporan Human Rights Watch tahun 2021, polisi dan militer Indonesia dilaporkan terlibat dalam penangkapan sewenang-wenang dan penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil di Papua.

Foto: instagram.com/leilachudori

Penulis: Amanda Mg. | Editor: Alfin Zai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *