Sologami: Fenomena Menikahi Diri Sendiri yang Menyita Perhatian
Fenomena sologami, atau pernikahan dengan diri sendiri, tengah mencuri perhatian di Korea Selatan dan dunia. Tren ini dipengaruhi berbagai motivasi dari sudut pandang psikologis.
Aspirasionline.com — Belakangan ini, fenomena perkawinan diri sendiri ramai menjadi perbincangan di berbagai belahan dunia, terutama Korea Selatan. Berawal dari seorang wanita asal Korea Selatan, Kim Seulki, yang memutuskan untuk menikahi dirinya sendiri. Hal ini lantas menjadi fenomena baru yang disebut sebagai sologami.
Menurut Psikolog Klinis Tri Isdarwani sologami merupakan pernikahan dengan diri sendiri. Istilah perkawinan ini digunakan supaya dapat diterima di masyarakat meskipun yang dinikahi ialah dirinya sendiri.
“Sologami merupakan bentuk penolakan untuk melakukan pernikahan, namun mereka menggunakan istilah pernikahan, yang dilakukan dengan diri sendiri,” ujar Tri kepada ASPIRASI pada Sabtu, (25/11) melalui Zoom Meeting.
Pernikahan adalah suatu pilihan bagi setiap orang, orang yang memutuskan untuk tidak menikah sebenarnya sudah ada dari dulu, tetapi dewasa ini munculah istilah baru tersebut.
Lebih lanjut, ramainya sologami di Korea Selatan dikarenakan banyaknya yang merayakan sologami. Bahkan, jika melaporkan perkawinannya, mereka tetap mendapatkan tunjangan, uang cuti, dan uang perkawinan.
“Tetap mendapatkan kalau ia melaporkan perkawinan (sologami) karena dianggap tidak adil kalau orang yang menikah (pada umumnya) dapat tunjangan, tapi yang sologami tidak dapat tunjangan,” ujar Tri.
Menggali Motivasi Sologami dari Sudut Pandang Psikologis
Dari sisi psikologis sendiri, terdapat beberapa teori terkait motivasi seseorang memilih melakukan sologami daripada melakukan pernikahan pada umumnya.
Teori pertama yaitu teori self-determination, dari teori tersebut sologami merupakan suatu upaya untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang ingin menjadi otonom dan kompeten tanpa mengandalkan orang lain.
“Dia (pemilih sologami) hanya mengandalkan diri sendiri, di mana ia merasa bisa menghasilkan keputusan sendiri dan merasa kompeten dalam membangun kebahagiaan pribadi,” jelas Tri.
Selanjutnya, teori attachment (kelekatan) membahas perubahan seseorang dalam menghadapi kesulitan hubungan interpersonal (trauma), sehingga dengan sologami seseorang akan mendapatkan koneksi emosional bahkan dapat bersifat simbolis.
Teori ini berkaitan dengan kelekatan dengan Ibunya, misalnya sedari kecil, seseorang tidak mendapatkan kelekatan dengan orang tuanya, tetapi karena manusia adalah makhluk sosial.
Ia pun mencari dan menemukan seseorang guna mendapatkan attachment berupa kasih sayang. tapi ia justru mengalami interpersonal buruk juga, akhirnya membuatnya tidak membutuhkan siapapun.
“Jadi, attachment theory itu membahas bahwa setiap orang yang lahir di dunia ini memiliki kelekatan dengan Ibunya, Ibu pengganti, gitu ya untuk menjadi modal dia dalam membangun koneksi untuk orang lain,” pungkas Psikolog Klinis tersebut.
Teori berikutnya, teori self esteem, melihat sologami sebagai upaya meningkatkan harga diri dan menciptakan seseorang menjadi berharga secara positif, terlepas dari keberadaan hubungan romantik dengan orang lain.
Individu dalam teori ini merasa ia adalah seseorang yang independen dan mandiri sehingga bisa melakukan semuanya sendiri, merasa bahwa ia berharga, sehingga tidaklah begitu penting untuk menikah maupun memiliki pasangan.
“Misalnya, ia mendapat pasangan yang kurang bekerja keras, maka ia akan merasa tidak membutuhkan laki-laki tersebut karena tidak sebanding dengan dirinya,” tutur Tri.
Semenetara itu, teori social identity menjelaskan bahwa sologami merupakan cara individu untuk mengkonstruksi dan mempertahankan identitas sosial mereka terlepas dari norma-norma sosial yang mengatur hubungan romantis, sehingga ia tidak ingin merusak identitasnya.
Contohnya, ada seorang wanita yang merupakan direktur suatu perusahaan namun karena dia memiliki suami, akhirnya dia hanya menjadi embel-embel suaminya, dan dia pun tidak mau seperti itu.
“Dia berpikir dengan menikah, maka sosial identitasnya akan merosot,” jelas Tri.
Bukan Narsisme, Sologami adalah Pilihan
Sologami adalah fenomena pernikahan yang unik. Beberapa orang merasa dirinya tidak membutuhkan siapapun sebab kondisi tertentu di kehidupan sebelumnya ataupun memiliki kepribadian tertentu, sehingga memutuskan untuk melakukan sologami.
Bila ditelusuri lebih lanjut, seringkali sologami dikatakan sebagai manifestasi narsisme padahal kedua hal tersebut berbeda. Narsistik merupakan suatu pembawaan, bentuk penyakit yang diagnostik, membuat individu menunjukkan kehebatannya dengan penyimpangan, sedangkan sologami tidak begitu.
“Narsistik mencintai dirinya sendiri melebihi cintanya dengan apapun, kalau sologami menikah dengan dirinya sendiri,” tegas Tri.
Penting untuk tidak langsung menilai seseorang memilih sologami sebagai suatu bentuk narsisme. Setiap keputusan hidup memiliki konteksnya sendiri, dan penting untuk memahami latar belakang serta motivasi individu.
Tri sebagai psikolog klinis memberikan saran untuk mendekati teman yang memilih melakukan sologami dengan penuh empati. Ia menekankan pentingnya menjadi pendengar yang aktif, sehingga dapat memahami latar belakang dan alasan di balik keputusan teman tersebut.
Dengan berempati, Tri percaya bahwa kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan mendukung teman dalam pilihan hidupnya.
“Entah dia merasa senang dengan pilihannya, atau dia lari dari penderitaannya, atau itu suatu tujuan untuk merasa bahagia,” tutur Tri.
Barangkali, katanya, dari attachment, identitas sosial, harga dirinya, ataupun status sosial yang terjamin, setiap orang yang memilih sologami pasti memiliki alasannya. Oleh karena itu, dengarkan ceritanya dan gali alasannya. Apapun pilihan seseorang, ia berhak bebas dari rasa sakit.
“Pengobatan trauma itu enggak bisa dipaksakan, kalau memang dia merasa sologami bukan masalah, ya, sudah itu pilihan dia,” tutup Tri.
Ilustrasi: ASPIRASI/Alifah Mg.
Reporter: Alifah Mg. | Editor: Nabila Adelita.