Meninjau Arti Grasi Dari Segi Hukum

Forum Akademika

Permohonan grasi yang telah didapatkan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, dari Presiden Jokowi Dodo mendapati polemik tersendiri apa makna sebenarnya dari grasi tersebut.

Tuduhan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang diterima Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar menyebabkan Ketua KPK tersebut divonis hukuman 18 tahun penjara. Setelah tujuh tahun menunggu, akhirnya Presiden Jokowi Dodo mengabulkan permohonan grasi tersebut yaitu memberikan pengurangan masa tahanan menjadi 12 tahun penjara. Didalam surat permohonan tersebut Antasari Azhar menyatakan diri tidak bersalah, pihak Antasari pun menganggap jika grasinya disetujui menandakan Antasari tidak bersalah di mata presiden. Berbeda dengan pendapat yang dituturkan perwakilan Polri, dimana jika seseorang mengajukan grasi berarti terpidana tersebut mengakui tindakan tuduhan tersebut lalu meminta permohonan maaf. Hal tersebut menjadi polemik tersendiri bagi masyarakat awan, mengenai arti sebenarnya dari kata grasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, grasi berarti ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman. “Grasi itu adalah pengampunan atau pengurangan masa tahanan yang dimohon oleh terpidana kepada presiden setelah upaya hukuman selesai dilaksanakan, dan memang itu diatur dalam undang-undang,” jelas Heru Suyanto, dosen Hukum Acara Pidana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) pada Kamis (23/2).

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang grasi menyatakan bahwa pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. “Dalam keputusan pemberian grasi itu tidak dilakukan oleh presiden seorang diri, biasanya presiden membentuk sebuah tim, paling tidak presiden meminta pendapat dari Mahkamah Agung (MA) yang selanjutnya pendapat itu dinamakan pendapat hukum,” ujar Heru. Lebih lanjut, pria kelahiran 20 Oktober 1962 ini mengatakan bahwa pendapatnya itu berupa apakah sang terpidana ini layak diberikan grasi atau tidak.

Menurut Heru grasi bisa diajukan oleh hampir semua terpidana didalam undang-undang diperbolehkan mengajukan grasi, pidana matipun diperbolehkan mengajukan grasi. “Pihak yang mengajukan grasi itu adalah pihak terpidananya langsung dengan memberikan kelengkapan-kelengkapan seperti sidang awal Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, kelakuan sang pidana selama masa tahanan,” jelas pria yang gemar berolahraga badminton tersebut.

Selain itu, Heru melanjutkan penjelasannya mengenai tata cara pemberian grasi tersebut, ketika terpidana memohon kepada presiden dengan memberikan kelengkapan, lalu presiden akan mengkaji apakah orang ini layak untuk diberikan grasi atau tidak. “Setelah grasi dikabulkan, terpidana diberikan waktu untuk beradaptasi dengan masyarakat,” lanjut pria berkacamata ini.

Dalam wawancara dengan Aspirasi, pria yang gemar bermain musik ini memberikan contoh, ketika terpidana pada masa adaptasinya ditempatkan pada suatu perusahaannya selama satu tahun, lalu berkelakuan baik dan memenuhi syarat pemberian grasi, maka grasi tersebut bisa diberikan oleh presiden. “Grasi tidak bisa dicabut, kecuai sang terpidana kembali melakukan kesalahannya, ya masuk lagi,” katanya.

Terakhir, ketika Heru ditanya apakah dengan mengajukan grasi sang terpidana mengakui kesalahannya, dengan tegas ia menjawab, “Iya itu namanya meminta maaf, jadi dengan memohon grasi mengakui perbuatan terpidananya, secata pribadi meminta maaf telah melakukan hal tersebut,” tutupnya sore itu.

Reporter : Nadia Mg. |Editor : Tri Ditrarini S

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *