Fenomena Golput Belum Padam

Forum Akademika

Meski pemahaman ihwal golput masih rancu, tindakan ini masih banyak menuai kritik

Aspirasionline.com — Pesta demokrasi tinggal menghitung hari, masyarakat akan memilih siapa yang dikiranya tepat dalam memimpin Indonesia selama lima tahun kedepan. Namun, ada saja masyarakat yang sejatinya memiliki hak pilih, kemudian memilih untuk tak menggunakannya atau biasa disebut dengan golongan putih alias golput.

Istilah golput pertama kali muncul pada masa orde baru sebagai bentuk protes pada pemerintahan Soeharto karena partainya –Golongan Karya/Golkar– selalu memenangkan pemilihan umum (pemilu). Sehingga, anggapan bahwa pemilu pada masa itu hanyalah semu.

Meski sudah puluhan tahun berlalu, fenomena golput ini seolah tak pernah padam disetiap datangnya pemilu. Pada pemilihan legislatif (pileg) 2014 misalnya, 24,89 persen orang masuk kategori golput. Tidak hanya pileg, bahkan pada pemilihan presiden (pilpres) juga mencatat bahwa jumlah orang yang masuk kategori golput bahkan menyentuh angka 30 persen.

Masyarakat dewasa ini cenderung mengalami kerancuan dalam mengartikan golput. Efriza, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menjelaskan bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan apolitis disebut non-voter. Tindakan golput yang sebenarnya adalah bentuk protes kepada pemerintah atau tak ingin untuk memberikan legitimasi kepada pemerintah. “Kalau golput dia tau akan tujuannya, karena untuk protes,” jelasnya ketika ditemui oleh ASPIRASI (8/3).

Dia menambahkan, semua yang tidak memilih tidak semata-mata bisa dicap golput. Masyarakat harus memahami adanya gelombang tidak memilih dengan alasan apolitis atau non-voter. Mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan apolitis seperti berlibur, kemudian dianggap sebagai tindakan golput. Padahal, secara harafiah, golongan ini masuk golongan non-voter.

Tindakan golput juga dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat jika memengaruhi dan mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Mengenai ini Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UPNVJ Bambang Waluyo angkat bicara. Menurutnya, tindakan golput sah-sah saja selama dia tidak memengaruhi orang lain. Namun, menurut Bambang, dengan sikap seseorang memilih golput telah membuat pemilu menjadi kurang baik dan telah menyia-nyiakan hak pilihnya.

Tak jauh beda dengan Bambang, Efriza pun menganggap golput sebagai sesuatu yang berbahaya. Hal itu dikarenakan pemilu di Indonesia akan memberikan legitimasi kepada pemerintah sesuai dengan jumlah suara terbanyak.

Tidak sedikit pula mereka yang memilih golput mengampanyekan pilihannya kepada publik. Hal ini lagi-lagi memicu perdebatan di masyarakat bahwa tindakan tersebut dapat menghilangkan hak pilih seseorang sehingga dapat dipidanakan. Menurut Efriza, mengampanyekan golput dapat mempertanyakan legitimasi pemerintah sehingga hal tersebut yang membuatnya dapat dianggap sebagai pelanggaran pidana pemilu.

Bambang mengatakan bahwa dengan mengampanyekan golput, mereka telah mengingkari haknya sendiri serta telah membuat gaduh negara. ”Dengan mengajak, berarti dia sudah mengingkari haknya sendiri. Yang kedua, dia sudah bikin gaduh, sudah bikin hukum gak bener,” ungkap Bambang. Ia bahkan mengimbuhkan bahwa pelarangan mengampanyekan golput sudah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 148-153.

Kendati demikian, Bambang menyebut bahwa munculnya gelombang golput juga merupakan bentuk dari ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. “Jangan kita salahkan pemilih, namun salahkan para pemangku kekuasaan, dia yang seharusnya memberi pemahaman,” jelas Bambang.

Gelombang golput dikhawatirkan akan meningkat dibandingkan dengan pemilu 2014. Namun, Efriza menampik akan semakin besarnya gelombang golput pada pemilu sebentar lagi ini. “Kalau kemungkinanya, gelombang golput tidak akan besar, karena KPU (komisi pemilihan umum, red.) sudah sosialisasi, begitu pun di media sosial,” tandas Efriza.

Reporter: Raffi Mg. |Editor: Fakhri Taka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *