Momok Pendidikan yang Meraksasa

Opini

Hari ini, setahun yang lalu, saya teringat dengan perjuangan kumpulan pemuda yang melayangkan tuntutan soal isu-isu pendidikan kepada pihak Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Setelah mereka melakukan aksi dalam momentum Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2019, mereka kemudian mendirikan tenda tepat di depan gedung Kemenristekdikti, menunggu respons dari si menteri.

Kumpulan pemuda itu menamai diri mereka dengan nama Komite Aksi Nasional Pemuda dan Mahasiswa Indonesia (KANPMI). Massa aksi KANPMI bertahan selama seminggu lebih di tenda juang, enggan menyerah dengan dalih pihak kementerian yang mengumbar janji bahwa tuntutan akan segera diproses. Tidak, mereka tak akan pulang dengan tangan hampa. Mereka ingin beraudiensi dengan pihak kementerian untuk realisasi yang lebih konkret.

Saya akui aksi yang dilakukan KANPMI ini termasuk langkah yang berani dan totalitas. Jika biasanya aksi digelar hanya dalam satu hari yang bertepatan dengan momentum, mereka justru melampaui momen itu sendiri. Meski perjuangan mereka harus dihadang tindakan represif dari gabungan pihak keamanan dan kepolisian. Jelas ini terjadi, penguasa pasti akan tertanggu dengan aksi sipil yang terkoordinir dan konsisten.

Baca juga: Sepuluh Tuntutan KANPMI Terhadap Kemenristekdikti

Sayangnya, kala itu saya tak berkesempatan datang langsung dan berkumpul bersama mereka di tenda juang – hanya mendapat kabarnya dari WhatsApp Group. Saya hanya dapat melihat sisa-sisa perjuangan mereka dengan tenda juang yang sudah dirobohkan dan poster-poster tuntutan yang berserakan saat saya sedang melewati gedung Kemenristekdikti, sehari pasca aksi mereka dibubarkan.

Namun, tahun ini sama sekali berbeda. Tak ada kumpulan pemuda, poster tuntutan, ataupun tenda juang di depan gedung Kemenristek dan Kemendikbud. Bukan karena tuntutan tahun lalu sudah terealisasi. Bukan juga karena KANPMI kuatir dengan represifitas aparat pada tahun lalu. Sudah pasti karena situasi pandemi COVID-19 saat ini yang menjadi sebabnya.

Jangan ditanya betapa sekaratnya sistem pendidikan saat ini. Terlebih, ketika krisis global akibat pandemi semakin mendera. Dalam tulisan ini, permasalahan-permasalahan sistem pendidikan tersebut akan saya coba jlentreh-kan.

Pada pertengahan Maret 2020, beberapa perguruan tinggi di Jakarta mulai menerapkan model pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam merespons pademik yang mengklimaks. Proses pembelajaran tak lagi berjalan intens dan intim di dalam ruang kelas, melainkan berpindah ke ruang virtual. Kampus-kampus mulai kosong. Dosen dan mahasiswa dipaksa beradaptasi dengan berbagai aplikasi video meeting untuk pertemuan kuliah. Study from home, katanya. Kini, study from home itu sudah diterapkan di banyak daerah di Indonesia

Namun, penerapan kuliah online tersebut bukan tanpa konsekuensi, apalagi jika penerapannya dilakukan dalam rentang yang cenderung lama–hingga berminggu-minggu. Permasalahan yang begitu terasa adalah ketika saya harus menggelontorkan biaya kuota internet agar tetap bisa hadir dalam kelas virtual. Selain itu, akses ke perpustakaan di kampus terputus sehingga bahan-bahan pembelajaran sepenuhnya diakses dan diunduh dari internet. Tak jarang saya mengumpat, “Buset, ini paket biasanya buat sebulan, sekarang cuman awet seminggu!”

Kini, kuota internet menjadi kebutuhan utama agar mahasiswa tetap terakses dalam perkuliahan. Anggaplah jika mahasiswa terputus dari koneksi internet, lantas bagaimana nasib akademiknya? Saya rasa dosen pun tak akan hirau dengan alasan, “Pak, Bu, maaf saya tak hadir karena kuota saya habis.”

Kampus sebagai penyelenggara pendidikan seharusnya bertanggungjawab atas biaya kuota internet. Sebab, keberlangsungan kuliah online mewajibkan mahasiswa tetap hadir di kelas virtual yang secara mekanis membutuhkan jaringan internet. Meskipun belum lama ini akhirnya kampus saya sendiri, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, akhirnya menjamin kuota bagi para mahasiswanya. Namun hal ini tetap masih menjadi permasalahan bersama karena masih banyak permasalahan struktural lainnya yang mengekor saat pandemi ini.

Permasalahan lainnya yaitu Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau SPP yang membebani mahasiswa di tengah pandemi. Secara menyeluruh, UKT membiayai penerimaan mahasiswa baru, KKN, bahan habis pakai kuliah, sarana, operasional, depresiasi aset, dan lain-lain. Namun, saat ini kita semua tahu bahwa mahasiswa tak menggunakan fasilitas kampus sehingga ada beberapa biaya yang ditanggung UKT, tidak digunakan mahasiswa. Lantas, UKT seharusnya diturunkan ataupun digratiskan.

Bahkan jika tak ada pandemi saja, kewajiban kuliah berbayar sudah menjadi masalah karena tak sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Belum lagi momok neoliberalisme yang mengalami institusionalisasi dalam bentuk perguruan tinggi. Pendidikan dikomersialkan laiknya komoditas dalam pasar bebas, dengan iming-iming kesuksesan karir dan masa depan menjanjikan.

Tak hanya itu, tuntutan penggratisan UKT/SPP ini menjadi semakin relevan ketika jutaan orang tua yang bekerja sebagai buruh, di-PHK atau dirumahkan. Pekerja informal pendapatannya menurun. Para petani merugi karena komoditas pertanian anjlok. Krisis ekonomi yang mendera di segala sektor ini seharusnya menjadi perhatian besar bagi para perguruan tinggi dan pemerintah. Jangan sampai, “Sekarang orang tua kita di-PHK, besok kita yang di-drop out kampus”.

Beralih dari permasalahan uang kuliah yang mencekik semasa pandemi, masih ada permasalahan lainnya: kesenjangan (gap) digital di Indonesia yang masih tinggi. Tak semua orang dapat mengakses kualitas pembelajaran yang memadai lewat kuliah online. Hal ini tak lepas dari masih kuatnya kesenjangan sosial dan ketimpangan sosial-ekonomi antarkelompok yang memungkinkan kelompok marjinal semakin terpinggirkan.

Kesenjangan digital ini juga menimbulkan permasalahan keterampilan digital. Kesenjangan keterampilan dalam menggunakan teknologi digital menjadi masalah yang tak dapat dihindari, semisal pendidik atau dosen yang tak adaptif terhadap teknologi. Bisa jadi karena generasi para pendidik baru menikmati teknologi digital dalam satu dekade terakhir. Berbeda dengan kalangan mahasiswa, si generasi yang disebut-sebut ‘milenial’ yang sudah diekspos teknologi sejak anak-anak. Tak heran jika mahasiswa menjadi lebih adaptif dan aktif dalam menggunakan teknologi.

Namun, ini bukan hanya perihal perbedaan generasi. Kesenjangan digital juga bisa terjadi karena status sosio-ekonomi pengguna, misalnya mahasiswa kaya yang mempunyai barang-barang dengan teknologi mutakhir akan lebih memiliki keterampilan digital dibanding mahasiswa yang tak memiliki akses terhadap barang teknologi tersebut. Hal-hal tersebut menjadikan permasalahan PJJ adalah masalah serius yang multidimensi.

Sistem Pendidikan Formal yang Sentralistis dan Seragam

Kebijakan study from home ini sangat bias kota nan elit karena dalam penerapannya tak begitu relevan bagi orang-orang di daerah lain. Penyelenggaraan pendidikan formal lahir dari kurikulum dan sistem yang sentralistis, kemudian tumbuh menjadi sistem yang destruktif bagi daerah-daerah yang tak relevan untuk menerapkannya. Biarlah setiap daerah memiliki otonomi atas penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan konteks sosio-ekonominya. Siswa dan mahasiswa yang ada di pedesaan tak harus menggunakan metode pembelajaran perkotaan. Mereka bisa menerapkan pembelajaran lewat lingkungannya sendiri.

Salah satu contoh menarik ihwal penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum yang mandiri dan relevan dengan konteks lingkungannya yaitu Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), sebuah sekolah non-formal di Yogyakarta. Di sana, tak ada kewajiban mengikuti 8-10 mata pelajaran setiap semesternya dan ujian kelas per minggu seperti yang dilakukan sekolah formal. SALAM menggunakan kurikulum yang berbeda, yaitu berbasis riset.

Setiap siswa di SALAM bisa melakukan riset dengan topik yang mereka mau–selama masih dalam cakupan pilar keilmuan yang ditentukan SALAM. Misalnya salah satu siswa ingin meriset obat herbal, maka ia akan mengembangkan risetnya ke pengetahuan lain seperti jenis tanaman herbal, cara bertanam, penyakit, metode pengobatan, hingga industri obat-obatan. Dengan begitu, mereka tak akan dihadapkan dengan kebingungan menghafal rumus ‘Aljabar’ atau ‘Persamaan Linear Dua Variabel’ tanpa tahu manfaatnya dalam kehidupan. Siswa-siwa SALAM akan dilatih untuk mengetahui dengan jelas kebutuhan pengetahuan yang berguna bagi mereka dan lingkungannya. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang sudah berpenghasilan dari penjualan produk risetnya sendiri. Bagi SALAM, mata pelajaran di sekolah formal justru membatasi eksplorasi siswa dan menjauhkan anak-anak dari lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.

Baca juga: Sekolah Tanpa Seragam, Tanpa Guru, dan Tanpa Mata Pelajaran di Yogya

SALAM menggunakan metode riset ini agar siswa mampu berpikir kritis dan terbiasa mencari solusi secara mandiri. Mereka belajar apa yang mereka sukai dan menemukan pengetahuannya sendiri. Dengan begini, mereka dilatih untuk memerdekakan diri mereka sejak dini. SALAM meyakini bahwa penyeragaman pendidikan justru akan mematikan potensi diri siswa, yang kemungkinan hanya dicetak menjadi produk-produk industri tanpa keahlian spesifik.

Munculnya sekolah-sekolah alternatif seperti SALAM menjadi kritik keras terhadap kurikulum dan metode pembelajaran sekolah formal yang sentralistis dan seragam. Kurikulum dan sistem pembelajaran seharusnya tak perlu diseragamkan dengan perspektif tunggal dari sentral yang sarat bias perkotaan. Pemerintah cukup menentukan capaian-capaian atau kompetensi dasar dalam pendidikan. Tataran prakteknya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing, bahkan oleh institusi pendidikan itu sendiri.

Kita bisa lihat bahwa permasalahan pendidikan saat ini begitu njelimet: kesenjangan, privilese, neoliberalisme, dan sentralisasi. Momok penyelenggaraan pendidikan semakin besar namun tak ada aksi massa di depan Kemenristek ataupun Kemendikbud pada Hari Pendidikan Nasional tahun ini. Tak apa, ini hanya soal momentum. Perjuangan atas penyelenggaraan pendidikan yang adil dan efektif tetap terus menjadi tugas kita semua.

Ya, walaupun jujur saja, saya sudah berharap bahwa tahun ini saya dapat berjuang dengan pemuda lainnya untuk menjual argumentasi dan tuntutan di meja audiensi dengan pemerintah. Berjuang dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Ah, pasti nanti akan ada kesempatan selanjutnya. Semoga.[]

Penulis: Firda Chyntia, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) semester 6, UPNVJ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *