
Siksa di Balik Atraksi Hiburan
Menonton sirkus hewan adalah hiburan tersendiri. Namun, di balik kemeriahan yang ditampilkan, hewan mengalami pelatihan yang mengerikan tiap harinya.
Aspirasionline,com — Monyet itu tak berdaya. Tatapannya kosong, tak terlihat ada kehidupan di sana. Nampak sebuah rantai menghiasi lehernya. Di sebelah si monyet ada seorang pria yang memegang rantainya sambil merokok. Rantai kemudian diangkat tinggi-tinggi, memaksa si monyet untuk berdiri.
Monyet itu kesakitan. Kedua tangan yang terikat di belakang membuatnya tak mampu memberikan banyak perlawanan. Ia hanya bisa menendang-nendang udara dengan kedua kaki mungilnya. Tak lama, manusia itu memasangkan topeng ke mukanya.
Penderitaan monyet itu diabadikan dalam sebuah video singkat yang viral pada 2016 lalu. Semua proses kejam itu dilakukan untuk mendidik monyet agar menjadi primadona pertunjukkan topeng monyet.
Anton Lucanus, dalam jurnalnya yang berjudul “Topeng Monyet: Kesenian Tradisional atau Kekejaman Terhadap Hewan?” mengupas kisah nyata di balik atraksi akrobatik yang telah ada sejak abad 19 ini. Saat proses latihan, mereka disiksa, dicekik, dan dicambuk selama tiga bulan. Mereka juga dirantai, digantung terbalik, dan menderita kelaparan sampai mematuhi pawangnya serta dapat dilatih untuk melakukan gerakan tertentu.
Di dunia sirkus, penyiksaan yang lebih kejam lagi lumrah terjadi. Mereka memilih hewan sebagai aktor utama pertunjukan agar mendapatkan perhatian yang besar dari khalayak.
Indonesia merupakan satu dari beberapa negara di dunia yang belum masif dalam mengharamkan praktik sirkus yang dilakoni satwa liar, seperti atraksi gajah di kebun binatang, aksi topeng monyet, dan sirkus lumba-lumba keliling.
Dalam aksinya, satwa yang dinilai cukup pintar ini dilatih dan digerus sifat liarnya sehingga mampu tampil bersahabat dan menggemaskan di mata para penonton sirkus. Hewan-hewan ini seringkali dipisahkan dari induknya ketika masih bayi dan ditempatkan di sebuah kandang kecil.
“Kami melihat sirkus itu kejam dan tidak mendidik. Semisal, lumba-lumba yang perilaku aslinya memang melompat di air, namun saat di sirkus tidak boleh dijadikan sebuah aksi melompat yang melewati api. Itu bisa menyakiti,” kata aktivis Wildlife Conservation Society Irma Hermawati pada Kamis (7/6) lalu.
Irma juga menilai bahwa sirkus hewan ini berpeluang untuk menimbulkan risiko yang fatal bagi manusia karena mereka masih mempunyai sifat liar sehingga sewaktu-waktu dapat meyerang pawangnya.
Tak cukup saat latihan, hal keji lainnya juga harus lumba-lumba alami saat diangkut berkeliling sirkus antarkota. Lumba-lumba akan diletakkan dalam suatu wadah air tawar yang diasinkan, bukan air laut. Hal ini dapat merusak mata, kulit, dan bagian tubuh lainnya.
“Lalu, saat beraksi mereka ditempatkan di kolam yang tidak memenuhi kebutuhan leluasa geraknya. Tentu ini merampas haknya yang biasa berenang hingga beribu-ribu mil jauhnya,” tutur Irma.
Dalam petisi yang dibuat oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN), kondisi kolam yang tak layak ini sering mengakibatkan kematian pada lumba-lumba. Efek buruk tersebut membuat negara-negara lain telah menghentikan praktik ini. Sayangnya, menurut JAAN, Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum menghentikan praktik sirkus lumba-lumba keliling.
Irma juga berkata bahwa sirkus belum memiliki regulasi yang jelas. Padahal, banyak terjadi penganiayaan di balik praktik sirkus ini. Selain itu, pemerintah juga belum melakukan kontrol ketat terhadap hewan-hewan di sirkus. Padahal, banyak negara-negara yang telah melarang pentas sirkus dengan atraksi satwa. Hal ini tertuang dalam Universal Declaration of Animal Welfare.
“Kami melihat sirkus itu kejam, tidak mendidik. Kenapa sih tidak sirkus manusia saja? Manusia bisa bilang kalau capek atau sakit tapi kalau hewan? Mereka kalau capek diam, kalau sudah kesal baru berontak dengan mengeluarkan sifat liarnya,” kata Irma.
Di Balik Kebun Binatang
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.31/Menhut-II/2012 tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa lembaga konservasi untuk kepentingan umum terdiri dari kebun binatang, taman safari, taman satwa, taman satwa khusus, museum zoologi, kebun botani, taman tumbuhan khusus, dan herbarium.
Dari kedelapan jenis lembaga konservasi itu, yang diperuntukkan untuk menampung hewan dalam keadaan hidup adalah kebun binatang, taman safari, taman satwa, dan taman satwa khusus.
Semua aturan mengenai lembaga konservasi ini telah diatur dalam peraturan menteri tersebut, seperti luas minimal taman safari adalah 50 hektare, kebun binatang 15 hektare, dan taman satwa serta taman satwa khusus dua hektare.
Meskipun telah memiliki regulasi yang jelas, pendiri JAAN Benfica mengaku tidak menyetujui kehadiran kebun binatang. Menurutnya, ada satu hal penting yang tidak bisa dilakukan oleh binatang di tempat-tempat tersebut, yaitu berperilaku secara alami.
“Contoh, orang utan itu setiap hari menjelajahi hutan sejauh lima sampai tujuh kilometer, nah apakah Ragunan mampu membuat kandang seluas itu?” kata pria yang akrab disapa Iben ini.
Karena melihat kondisi ini, pada 2014 Iben memberikan saran kepada pengelola untuk memberikan satu hari libur kepada satwanya untuk menghilangkan stres. Ragunan pun mengadopsi saran tersebut dan memberikan hari libur kepada para hewan setiap Senin.
Selain tidak bisa berperilaku secara alami, ada juga praktik-praktik ilegal yang kerap terjadi di balik embel-embel hiburan yang ditawarkan pengelola, seperti atraksi mengendarai gajah.
Meskipun tidak dilarang, namun ternyata ada proses pelatihan berat bernama “Crush” yang harus dilalui gajah agar bisa dijadikan hewan tunggangan. Proses crush meliputi pemukulan dan penderitaan kelaparan. The Dodo, dalam video singkatnya, pernah memperlihatkan poses pelatihan kejam tersebut.
Dalam video berdurasi satu menit itu diperlihatkan seekor gajah kecil yang dikelilingi oleh beberapa pria dewasa. Gajah kecil itu berada di sebuah kandang yang sangat kecil dan lehernya diikat dengan rantai. Pria-pria itu memukulnya menggunakan sebuah senjata bernama angkusa. Angkusa sendiri berbentuk tongkat panjang dengan kait tajam di ujungnya. Kait itu sangat tajam sehingga dapat menancap di batang pohon.
Angkusa menyebabkan rasa sakit dan trauma psikologis pada gajah. Rasa sakit dan ketakutan itulah yang membuat gajah menuruti pawangnya.
Novi Hardianto pun membenarkan adanya praktik-praktik seperti ini. menurutnya, hal itu bukanlah hal yang baru. Novi menjelaskan bahwa praktik ilegal ini dapat lolos dari jeratan hukum karena mereka tidak memperlihatkan proses pelatihan kejam ini kepada publik.
Selain itu, menurut Novi, beberapa kebun binatang juga kerap dijadikan sebagai tempat perdagangan ilegal hewan liar, seperti yang terjadi di Taman Margasatwa Mangkang Semarang pada 2016 lalu.
“Sekarang yang perlu kita edukasi adalah masyarakat kita dan pengelolanya. Saya juga suka bercerita kepada teman-teman saya bahwa hal-hal seperti inilah yang dilakukan di kebun binatang,” kata Novi.
Menurut Irma, apabila suatu pengelola kebun binatang terbukti melakukan praktik-praktik ilegal maka dapat dituntut dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp200 juta[.]
Reporter: Aprilia Zul