Terjebak di Antara Kerakusan Manusia

Nasional

Indonesia belum menjadi tempat yang ramah bagi hewan.

Aspirasionline.com — Indonesia merupakan negara yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Ia merupakan tempat dari 17% spesies tumbuhan dan hewan di dunia. International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi endemik Indonesia.

Sayang, keberadaan hewan liar ini semakin terancam karena ulah manusia.

Menurut Law Enforcement and Wildlife Crime Specialist World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Novi Hardianto, saat ini terdapat tiga ancaman terbesar bagi hewan liar di Indonesia, yaitu kerusakan habitat, perburuan, dan perdagangan ilegal satwa liar (PISL).

Dari ketiga ancaman itu, PISL digolongkan oleh United Nation on Drugs and Crime (UNODC) sebagai kejahatan serius yang bersifat transnasional.

Di Indonesia sendiri, PISL menempati urutan ketiga kejahatan transnasional terbesar setelah narkoba dan perdagangan manusia. Sedangkan di dunia, PISL menempati urutan kelima kejahatan transnasional terbesar setelah narkoba, pemalsuan, perdagangan manusia, dan minyak.

Havocscop memperkirakan transaksi PISL di dunia mencapai US$19 miliar setiap tahunnya. Sedangkan untuk di Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan perkiraan nilai kejahatan PISL mencapai Rp500 juta hingga Rp9 triliun pada 2015.

Selain kerugian ekonomi, ancaman yang lebih serius adalah kerugian ekologi berupa kepunahan jenis hewan tertentu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan secara umum ada 100 juta hewan terbunuh tiap tahunnya di dunia untuk perdagangan ilegal. Sedangkan menurut Novi, di Indonesia ada 900 spesies hewan yang keberadaannya terancam.

PPATK menuliskan Pulau Sumatera adalah wilayah yang paling rentan kejahatan PISL dan hewan yang menjadi sasaran utama adalah harimau untuk pasar dalam negeri serta trenggiling untuk pasar luar negeri.

Dalam Buku Potret Pedagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia, disebutkan bahwa Medan, Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Jakarta, Bali, dan Lampung adalah kota-kota besar yang menjadi tampungan sementara maupun lokasi perdagangan strategis PISL di Indonesia.

Novi berkata, negara yang menjadi sasaran utama PISL adalah Tiongkok, Vietnam, Timur Tengah, Amerika, Australia, dan Rusia.

“Setiap negara punya kesukaan tersendiri terhadap jenis hewan tertentu. Misalkan, Tiongkok dan Vietnam untuk konsumsi, Timur Tengah suka jenis-jenis burung, Amerika suka jenis kadal dan reptil, Australia suka jenis reptil, dan Rusia suka jenis amang,” ujar Novi kepada ASPIRASI pada Jumat (3/8) lalu.

Data dari Profauna menyebutkan bahwa 95% hewan-hewan yang diperdagangkan ini berasal dari hasil tangkapan alam atau perburuan ilegal. Dalam perburuan itu, 40% hewan yang ditangkap mati sedangkan hewan yang hidup akan kembali berkurang sebanyak 20% saat proses pengangkutan.

PISL adalah kejahatan yang sulit untuk diberantas karena terorganisir dan memiliki jaringan luas.

Modus operandinya pun bermacam-macam, yaitu dapat melalui pasar satwa, komunitas pecinta hewan, penyelundupan melalui jalur darat, laut, dan udara, serta perdagangan online.

Dilansir dari Mongabay, jaringan kejahatan ini mentransfer hasil kejahatannya melalui jalur darat dan pelabuhan tikus ke Riau. Dari Riau, mereka akan menyelundupkannya ke Pulau Jawa atau luar negeri melalui jalur laut Singapura yang tidak terawasi.

Faktor utama dari kejahatan PISL menurut aktivis Wildlife Conservation Society Irma Hermawati adalah faktor ekonomi. Ia percaya bahwa permintaan dari konsumen yang terus meningkat menjadi salah satu penyebab tingginya angka PISL.

“Kebanyakan konsumen membeli mereka untuk menampilkan kegengsian atau prestise dari kalangan ekonomi atas. Permintaan ini semakin banyak dan menyebabkan hewan semakin langka,” ujar Irma pada Senin (4/6) lalu.

Faktor ekonomi juga menjadi pemicu yang sering dimanfaatkan oleh para sindikat untuk membujuk masyarakat sekitar hutan agar menjadi bagian dari kelompok.

Selain itu, menurut Novi, faktor lain dari PISL adalah untuk alasan pengobatan, makanan, keperluan perdukunan, suvenir, dan kebanggan memiliki hewan liar langka. “Padahal hewan liar dapat menularkan penyakit zoonosis dan menyebabkan kolestrol,” katanya.

Novi berkata bahwa PISL dapat terus terjadi akibat penegakan hukum yang belum optimal, hukuman yang diberikan masih rendah, persepsi yang salah dalam menyayangi hewan, dan modus yang selalu berubah.

Selain itu, PISL juga dianggap sebagai bisnis ilegal yang memiliki risiko kecil namun memberikan keuntungan yang besar.

Sebagai gambaran, harga gading gajah perkilogramnya mencapai Rp30 juta. Padahal, sebuah gading gajah dapat mencapai berat 30-60 kg sehingga keuntungan yang dapat dicapai dari sebuah gading gajah mencapai Rp900 juta-Rp1,8 miliar. Sedangkan, ancaman hukuman yang diatur oleh Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hanyalah pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta.

“Hukuman belum maksimal. Selama sepuluh tahun kita cek ternyata denda di bawah rata-rata. Walaupun hukuman mati, orang tidak kapok,” kata Novi.

Perdagangan Online

Perdagangan online saat ini menjadi sarana favorit para sindikat untuk melakukan transaksi jual-beli hewan liar. WWF –dalam infografiknya– melaporkan bahwa 40% PISL dilakukan melalui media sosial.

Facebook menjadi portal dengan jumlah perdagangan hewan tertinggi, yaitu mencapai 3.235 pada November 2015-April 2016. Kemudian, Blackberry Massanger menyusul dengan jumlah perdagangan hewan mencapai 576 pada Januari-April 2016.

Instagram juga menjadi media sosial favorit para sindikat dengan jumlah perdagangan mencapai 149 hewan dan 418 bagian tubuh hewan pada Maret-April 2016. Sedangkan pada Januari-Juni 2017 terdapat 359 hewan yang diperdagangkan.

Profauna melaporkan jumlah kasus PISL berbasis perdagangan online mengalami peningkatan tajam. Pada 2014, tercatat ada 3.640 iklan media sosial terkait PISL di Indonesia dan meningkat hingga mencapai angka lima ribuan iklan pada 2015.

Berdasarkan data WWF Indonesia, jenis satwa yang paling banyak diperjualbelikan secara online adalah burung, mamalia, dan reptil.

Menurut Irma, dalam Buku Potret Perdagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia, perdagangan online PISL semakin marak di Indonesia karena para pedagang menganggap bahwa situs online lebih aman.

“Berbeda dengan mereka yang buka toko. Tidak perlu sewa tempat. Jadi mudah, murah, cakupan luas hingga internasional, dan dianggap relatif aman atau risiko lebih kecil dibandingkan offline,” kata Irma.

Mengatasi PISL

Untuk mengatasi perdagangan online  dan bentuk kejahatan PISL lainnya, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) telah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lainnya dengan membentuk Wildlife Crime Team (WCT) guna memonitor kejahatan.

“Kami mengumpulkan data perdagangan, baik di pasar tradisional maupun pasar online, penanganan hukum yang efektif, mitigasi konflik, pelatihan dengan masyarat, dan kampanye,” kata Novi.

WWF bersama Bareskrim Polri pun telah membuat sebuah aplikasi bernama e-Pelaporan satwa Dilindungi agar masyarakat dapat melaporkan praktik perdagangan dan perburuan satwa liar lebih mudah.

Menurut Novi, pandangan masyarakat terkait memelihara hewan liar juga harus diubah. Dengan mencintai hewan liar, bukan berarti hewan tersebut harus dipelihara. Selain itu, mengoleksi bagian-bagian hewan liar bukanlah perbuatan yang meningkatkan gengsi melainkan tindak kriminal.

“Dengan membawa satwa liar ke rumah berarti anda membawa penyakit ke rumah anda,” kata Novi[.]

Reporter: Hasna Dyas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *