KBGO sebagai Bentuk Baru Kekerasan Berbasis Gender di Dunia Maya
Pentingnya pemberdayaan bagi korban KBGO menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan
Aspirasionline.com – Dalam rangka Hari Perempuan Internasional, Komunitas KBGO menyelenggarakan Webinar bertajuk “Memberdayakan Korban KBGO di Indonesia” pada Senin, (8/3). Pentingnya pemberdayaan penyintas kekerasan berbasis gender online di Indonesia, menjadi pokok bahasan yang diangkat dalam Webinar kali ini.
Divisi Keamanan Digital SAFEnet, Nabillah Saputri Djaelani menjelaskan, bahwa SAFEnet dan Komnas Perempuan telah menerima laporan dalam jumlah yang tidak sedikit, terkait Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) . Hingga saat ini, tercatat 16 kasus KBGO yang sudah SAFEnet tangani. Pun 44 kasus lainnya yang sudah dilaporkan oleh Komnas perempuan.
Kasus kekerasan berbasis gender online, pada dasarnya terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari populernya penggunaan internet. SAFENet sendiri mengutip, di tengah luasnya jangkauan internet dan perkembangan teknologi, justru mendatangkan kekerasan berbentuk baru.
Nabillah mengungkapkan, bahwa KBGO ini berbeda dengan kekerasan berbasis gender pada umumnya. Peretasan tanpa izin melalui sebaran-sebaran di media sosial, ialah salah satu perbuatan yang termasuk ke dalam bentuk KBGO ini.
“Kekerasan berbasis gender online tidak selamanya berbau dengan konten pornografi atau hal-hal intim. Namun, peretasan data pribadi juga termasuk KBGO,” jelas Nabillah.
Perempuan itu juga menyayangkan, bahwa sampai saat ini belum ada regulasi yang menjamin korban KGBO. Proses hukum pun menjadi sulit. Padahal hak untuk mendapatkan kemerdekaan, privasi, dan kebebasan berpendapat, telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD).
“KBGO melanggar hak kemerdekaan, hak aman dari rasa takut,” tutur Nabillah.
Pentingnya Memperbaiki Pola Pikir Masyarakat terhadap KBGO
Anindya Nastiti Restuviani selaku Co-director Hollaback! Jakarta, yakni sebuah komunitas kesetaraan gender di Jakarta kemudian menjelaskan, bahwa ruang siber merupakan ruang publik terbesar. Dikarenakan melalui internet, masyarakat dari berbagi lini dapat bertemu dalam ruang itu.
“Maka ruang online atau ruang siber adalah ruang publik terbesar yang ada di dunia,” terang perempuan penggiat feminisme tersebut.
Anindya pun melanjutkan, bahwa kultur victim blaming atau penyalahan korban tidak hanya ada di Indonesia. Namun, berasal dari pola pikir atau mindset ini, juga terjadi di belahan dunia lainnya.
Menurutnya, seperti dalam piramida budaya kekerasan, urutan yang paling bawah adalah pola pikir atau ekspektasi masyarakat terhadap suatu gender. Sehingga, dari ekspektasi masyarakat inilah, kultur victim blaming terjadi.
Sebab itu, memperbaiki pola pikir masyarakat terhadap kekerasan berbasis gender adalah hal krusial yang perlu diperbaiki. “Menyelesaikan mindset adalah hal yang paling utama dan paling sulit yang harus kita kerjakan bersama-sama,” ungkap Anindya.
Pemberdayaan Penyintas Kekerasan Berbasis Gender Online
Komunitas-komunitas yang ada sebagai ruang aman bagi KBGO, juga seringkali memberikan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud berbentuk pendampingan psikologis dan pendampingan hukum.
Lebih lanjut Anindya menambahkan, diantara bentuk pendampingan yang telah disebutkan, pendampingan psikologis dilakukan sebelum melakukan pendampingan hukum. Karena hal itu merupakan tahap pendampingan yang terpenting.
“Trauma yang timbul akibat kekerasan berbasis gender memiliki dampak jangka panjang,” ungkap Anindya.
Ditambah, dalam menjalani proses hukum, penyintas kerap kali dilayangkan pertanyaan terkait kejadian yang ia lalui. Lantas hal itu, tentunya bisa men-trigger kembali trauma yang dimiliki.
“Yang harus diutamakan adalah pendampingan secara psikologis sehingga mereka siap dalam menempuh jalur hukum,” ucap Anindya.
Sebelum mengakhiri diskusi, perempuan itu pun memberikan penjelasan terkait bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk memberdayakan penyintas KBGO. Salah satunya dengan mencoba merefleksikan diri terhadap isu-isu dan terus belajar mengenai KBGO.
“Kita nggak boleh berhenti untuk belajar tentang kekerasan berbasis gender online. Kompromi terhadap kenyamanan di dunia digital adalah hal yang sulit. Memberi edukasi diri adalah hal yang bisa dilakukan,” tutup Anindya.
Reporter: Dilla Andieni. | Editor: Azzahra Dhea.