Beragam Intimidasi Diterima, Warga Pancoran Buntu 2 Tetap Bertahan di Tengah Reruntuhan

CategoriesNasional

Tidak lagi dapat merasakan kehidupan yang aman sejak delapan bulan yang lalu, warga Pancoran Buntu 2 terus dihantui dengan tindakan intimidasi, padahal berada di atap rumah sendiri.

Aspirasionline.com − Dia tersenyum ketika berbicara denganku. Sorotan matanya penuh dengan beban. Namun, dia tetap tegar dan bertahan di tengah reruntuhan bangunan. Saat bercerita tentang peristiwa memilukan yang dialaminya, ia bercerita dengan berapi-api. Mengutuk keras aparat kepolisian dan ormas Pemuda Pancasila (PP) yang merubuhkan bangunan tempat berlindung dari teriknya panas, dan derasnya hujan. Sosok itu bernama Didik. Warga Pancoran Buntu 2 yang tetap bertahan di lokasi penggusuran, walau reruntuhan bangunan menghiasi sekitar.

Bangunan yang saat ini telah rata dengan tanah telah dihuni oleh Didik sejak 17 tahun silam. Ia bercerita, bagaimana dulunya ia dan warga sekitar membangun Pancoran Buntu 2, dengan mengeruk rawa-rawa. Hidupnya dulu penuh dengan keceriaan. Warga saling bahu membahu membantu dalam kegiatan kemasyarakatan. Namun, hal itu berubah sejak Kamis, (25/2) lalu. Kala itu, terjadi tindakan intimidasi terbesar yang diterima warga.

Kala itu, posko banjir di wilayah Pancoran tersebut dihancurkan oleh anggota PP, preman, dan dikawal aparat kepolisian. Tak lama berselang, PP dan preman mulai menyerbu pemukiman warga dan hendak merobohkan rumah warga. Alhasil, bentrokan antara PP dan warga pun tak dapat dihindarkan. Lemparan batu anggota PP dan preman menghujani warga Pancoran Buntu 2, warga pun spontan membalas lemparan batu tersebut. Akibat bentrokan yang terjadi, dua belas warga luka-luka karena tindak kekerasan anggota PP dan preman di wilayah tersebut. Satu orang warga juga mengalami bocor di kepala akibat timpukan batu. Selain mengalami bocor di kepala, salah satu warga juga mengalami lebam di mata.

Lemas dan patah semangat Didik rasakan. Bagaimana tidak, su­­dah kurang lebih selama 8 bulan ia dan warga mengalami tindakan intimidasi. Tak ada keceriaan yang dirasakan warga. Apalagi canda tawa yang menghiasi anak-anak di sana.

“Dulu sebelum mahasiswa bantu ke sini, anak-anak enggak pernah ketawa. Enggak pernah main bola kaya sekarang. Kalau sudah maghrib, anak-anak pasti dimasukin ke rumah. Langsung dikelonin sama ibu bapaknya. Karena takut denger suara bulldozer,” cerita Didik.

Menurunnya Uang Pemasukan 

Didik juga bercerita, bagaimana setiap malam, aparat kepolisian melakukan patroli dengan membawa senjata laras panjang. Kurang lebih terdapat tiga motor yang melakukan patroli disertai seragam lengkap, layaknya aparat yang siap bertempur di medan perang.

Tidak hanya berdampak terhadap psikis, akibat penggusuran tersebut, Didik juga mengaku berdampak kepada kehidupan ekonomi. Profesi pemulung yang dimiliki oleh mayoritas warga pancoran buntu 2. Biasanya dalam sehari, Didik menghasilkan uang 50 ribu rupiah. Namun, saat ini, ia hanya mampu mengumpulkan uang 15 ribu rupiah perhari.

“Sekarang kalau nyari uang lama-lama takut keluarga di rumah kenapa-kenapa. Enggak tenang gitu jadinya,” keluh Didik.

Setali tiga uang dengan Didik, Makhsunah mengalami hal serupa. Ia harus kehilangan mata pencaharian karena tempat jualannya menjadi korban penggusuran. Awalnya, Makhsunah berjualan soto di dekat pagar Pancoran Buntu 2. Namun, ia harus merelakan tempat jualannya karena terus-menerus diintimidasi untuk pindah dari lokasi. Akhirnya dengan terpaksa, ia pindah ke tempat kontrakan lain, dan menerima uang kerohiman yang tak seberapa.

“Kita sampai kehilangan mata pencaharian, karena warung soto saya ikut kena gusur juga. Kita jualan pas Covid-19 aja udah kerasa banget, apalagi ditambah ujian kena penggusuran gini,” keluhnya.

Tetap Bertahan

Keramahan terpancar dari laki-laki itu saat berbincang dengan kami. Namun, dibalik keramahannya, ia dan keluarga terpaksa menelan kenyataan pahit. Kala Senin, (15/3), sekitar pukul sepuluh pagi, Budi Raharjo menyaksikan sendiri, bagaimana hampir seluruh bagian rumahnya dirobohkan. Awalnya, pihak PT. Pertamina hanya merobohkan bangunan depan rumah Budi yang hari itu akan diratakan oleh bulldozer. Namun, rumah Budi juga ikut diratakan. Karena struktur tembok bangunan yang akan digusur  menyatu dengan rumahnya.

“Saya kasih tahu, struktur tembok ini satu (dengan bangunan depan rumah Budi yang dirobohkan, red), kalau kamu dorong, roboh. Berarti yang roboh kamar saya juga,” ujar Budi pada ASPIRASI, sambil terduduk manis di salah satu sudut ruangan di rumahnya.

Budi pun tak pernah mengira, bahwa rumah yang sudah ia dan keluarga tempati selama dua puluh tahun terakhir, akan berakhir rata dengan tanah. Pemberitahuan tentang penggusuran yang Budi terima pun terbilang singkat. Untuk uang kerohimannya sendiri, ia hanya ditawarkan sebesar 50 juta rupiah.

“Saya bilang, kalau 50 juta itu bukan kerohiman, tapi penggusuran,” ucap Budi, begitu ia diberikan waktu selama satu minggu untuk meninggalkan rumah, dan diimingi uang sebesar 50 juta sebagai gantinya. Kata sepakat pun tidak bisa terucap dari mulut Budi. Karena baginya, hal itu tidak sebanding dengan yang seharusnya ia peroleh.

Rasa khawatir pun tetap tidak bisa Budi sembunyikan saat proses perobohan bangunan di depan rumahnya berlangsung. Sementara sang istri, Yosita Kumaladewi saat itu tengah membersihkan sepotong ayam di dapurnya, sebagai lauk pauk untuk suami dan kedua anaknya makan siang. Perempuan itu diselimuti rasa takut, jika bulldozer juga akan mengenai atap bagian dapurnya.

“Kita lihat ke atas, supaya alat itu enggak menyenggol rumah. Enggak menyenggol dapur kita. Malah kecolongan (merobohkan kamar, red),” tutur Yosi, seraya jari tangannya menunjuk kamar tidur dua anak laki-lakinya yang ikut dirobohkan.

Kendati dinding rumahnya sudah terlanjur dihancurkan. Lalu hanya debu sisa kebengisan yang masih tertinggal, hal itu tidak membuat Budi dan keluarga sudi meninggalkan rumahnya dengan cara seperti ini.

Dengan kedua tangan yang digenggam, Budi mengatakan, kalau bagian rumahnya yang hancur hanyalah karena sebatas salah instruksi. Tentu Budi tak percaya informasi tersebut. Ia yakin betul, hal itu merupakan kesengajaan. Karena setelahnya, Budi diminta untuk meninggalkan tempat tinggal yang juga menjadi tempat untuk laki-laki itu menghidupi keluarganya.

Batas waktu yang diberikan pun, membuat Budi geleng-geleng kepala. Sebab, Budi hanya diberi waktu selama 1×24 jam untuk segera pergi meninggalkan bangunan yang sudah keluarganya tinggali sejak tahun 2000. “Kalau pindah pun, kita (seharusnya, red) ada jeda waktunya. Masa 1×24 jam diancam begitu. Itu pengancaman namanya,” sahut Yosi.

Apalagi, uang kerohiman yang dijanjikan hanya sebesar 50 juta. Sementara Yosi dan Budi pun sama-sama memiliki usaha di bawah atap rumah tersebut, seperti berjualan sembako dan membuka bengkel. “Maksudnya jangan 50 juta. Kan saya bangun usaha aja berapa?” ucap Yosi pelan. Hal itu yang membuat Budi dan keluarga memutuskan, kalau ia akan mempertahakan haknya untuk tetap tinggal di rumah tersebut.

Menurut rilis kronologis yang reporter ASPIRASI terima dari Forum Warga Pancoran Bersatu, Jalan Pancoran Buntu II, RT 06 RW 02 merupakan wilayah perumahan warga seluas kurang lebih 4,8 hektar yang dulunya bernama Wisma Intirub. Kurang lebih 2000 warga yang menjadi penduduk wilayah tersebut, rata-rata telah tinggal selama dua puluh tahun lebih. Bahkan, beberapa warga yang masih bertahan, sudah tinggal selama empat puluh tahun.

Rilis kronologi juga memuat dasar penempatan warga yang dibagi menjadi  dua bagian. Bagian pertama meliputi 24 rumah permanen, merupakan orang-orang yang ditempatkan almarhum Sanjoto Mangkusasmito sekitar tahun 1980. Hal itu berdasarkan perintah eksekusi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Barat No. 215/I.0820/81.B1 tertanggal (21/3/1981).

Bagian kedua meliputi bangunan semi permanen. Bangunan ini berdiri pada awal tahun 1990’an di lahan bekas rawa-rawa. Mereka diizinkan mendirikan lapak-lapak berbentuk bangunan semi permanen sebagai tempat usaha jual-beli barang bekas oleh orang yang dikuasakan mengelola lahan almarhum Sanjoto Manguksasmito, yaitu almarhum Mulyono Budi Santoso.

Pada tempat bagian pertama lah Budi tinggal. “Iya, saya tetap bertahan. Artinya keyakinan saya adalah, sesuai perintah ahli waris,” tegas Budi.

Masih Menyimpan Harapan

Terlihat anak-anak tertawa riang berlarian di tanah lapang. Tembok warga yang roboh akibat penggusuran, dijadikan sarana ruang anak-anak dalam memamerkan hasil mewarnai mereka. Canda tawa kembali menghiasi warga, khususnya anak-anak. “Kami seneng banget waktu mahasiswa bantu. Yang penting cuma satu yang kami minta, jangan tiba-tiba ninggalin kami tengah jalan,” lirih Didik dengan mata yang berkaca-kaca.

Budi merasa demikian. Ia masih menyimpan harapan, kalau permasalahan yang tengah ia dan warga sekitar lalui, dapat diselesaikan dengan baik. Mengingat pihak yang memberikan intimidasi pada warga, ialah Pertamina yang Budi anggap, bisa menyelesaikan permasalahan dengan cara elegan. “Masa negara sama rakyatnya begini?” heran Budi, diiringi anggukan istrinya.

Misalnya, seperti pemasangan plang ‘Tanah Ini Milik PT. PERTAMINA’ yang banyak ditemui di sekitar kawasan tanah penggusuruan. Yosi mengungkapkan, bahwa pemasangan plang tersebut pun tidak ada izin terlebih dulu dengan warga sekitar. Bahkan, masih segar diingatan Yosi, pemasangan plang tersebut dilakukan ketika waktu maghrib.

“Jadi kita ini selama 8 bulan setiap ada pergerakan apa, bunyi apa, langsung gak tenang,” ucapnya.

Foto: Ikhwan Agung.

Reporter: M. Faisal Reza, Azzahra Dhea | Editor: Suci Amalia.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *