
Hilangnya Masa Kecil Anak-Anak Timor Leste Akibat Konflik
Judul : Nina & The Stolen Children of Timor-Leste
Director : Anne-Cecile Esteve
Produser : Galuh Wandita
Genre : Dokumenter sosial & Politik
Tahun : 2016
Durasi : 25 Menit 34 detik
Konflik Indonesia dan Timor Leste menyebabkan banyak anak terlantar dan tak mendapatkan penghidupan yang layak.
Nina & The Stolen Children of Timor-Leste mengisahkan tentang Ishabelinha De Jesus Pinto atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nina, wanita kelahiran Timor Leste ini kembali menceritakan masa kecilnya yang dipisahkan dari keluarganya secara paksa oleh tentara indonesia pada masa kependudukan Indonesia di Timor Leste.
Tidak hanya Nina, diperkirakan lebih dari 4.000 anak Timor Leste telah diambil paksa yang sebagian besar dari mereka diambil tanpa persetujuan dari orang tuanya dengan dijanjikan akan disekolahkan dan mendapatkan kehidupan serta masa depan yang lebih baik.
Namun, realitasnya tidak semua mendapat kehidupan layak. Sebagian besar dari mereka diambil untuk dipekerjakan di markas tentara atau dijadikan pembantu di rumah keluarga tentara. Mereka diperlakukan secara keji, diajarkan dengan sistem pendidikan Indonesia, dan meninggalkan keyakinan yang dianut orang tuanya di Timor Leste.
Nina pun memiliki nasib yang sama, dalam film ia mengatakan waktu tinggal dengan bapak tentara, dari tahun 1979 sampai 1984 mereka memperlakukan Nina secara kasar. Terkadang untuk makan pun Ia harus bekerja keras terlebih dahulu dengan berjualan es. Sekelumit kisah di atas merupakan kisah nyata yang menimpa anak-anak Timor Leste pada masa konflik.
Merisak Kondisi Psikis
Konflik yang terjadi pada masa kependudukan Indonesia di Timor Leste tahun 1979 dan 1999 meninggalkan dampak yang mendalam bagi para korbannya. Semua keluarga di Timor Leste tidak luput dari trauma yang berkepanjangan akibat pengalaman kekerasan, khususnya anak-anak.
Perlakukan yang diterima oleh Nina dan korban lainnya pada masa kecil menimbulkan trauma tesendiri. Trauma psikologis yang di alami pada masa kanak-kanaknya cenderung akan terus dibawa hingga dewasa, terlebih dalam konflik ini trauma yang dialami korban tidak pernah disadari oleh lingkungan sosial mereka.
Saat telah dewasa, apabila anak itu mengalami kejadian yang mengingatkannya kembali pada trauma yang pernah dialaminya, maka luka lama itupun akan muncul kembali dan menimbulkan gangguan atau masalah dalam dirinya.
Nina dan korban lainnya kembali menceritakan kisah mereka ketika dibawa paksa dari keluarganya ke Indonesia dan diperlakukan secara tidak layak. Mata mereka memperlihakan kesedihan yang mendalam hingga menangis.
Eskploitasi Terhadap Anak Masih Ada
Di Indonesia hak anak di atur dalam peraturan perundang-undangan yang terpisah dari peraturan Hak Asasi Manusia, walaupun demikian kedua hal ini mempunyai kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan esensinya. Pasal 76 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, meyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi atau pun seksual terhadap anak.
Ekploitasi anak sangat tergambar dengan jelas dalam keadaan film ini. Pengambilan anak-anak dari keluarga penentang secara paksa dilakukan pemerintah indonesia sebagai cara untuk menghukum, melemahkan, dan mempermalukan musuh. Bagi mereka, anak-anak ini dibawa seperti jarahan perang.
Perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para tentara Indonesia dengan membawa anak-anak di Timor Leste dan memisahkan dengan keluarganya secara paksa serta memanfaatkan anak secara tidak etis demi keuntungan pribadi.
Di saat anak-anak lain seumur Nina merasakan senangnya bermain bersama teman-temannya. Dilain sisi, Nina justru harus menanggung beban dipundak kecilnya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dari menyapu, menyuci pakaian, hingga mencari uang dengan berjualan es lilin.
Nasib anak-anak Timor Leste yang menjadi korban kekejaman pemerintah Indonesia dimasa itu pun tak berbeda. Sebagian dari mereka ada yang dijadikan pembantu dan ada pula yang akhirnya hidup dijalanan dengan mengamen untuk dapat bertahan hidup.
Menggugat Keseriusan Pemerintah
Lepasnya Timor-Timur dari NKRI yang dibarengi dengan banyak tragedi eksploitasi anak kala itu, menjadi pelajaran penting dalam pengkajian serta tegasnya penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia.
Berkat bantuan tim AJAR yang berkoalisi dengan organisasi dari Indonesia, beberapa dari korban pengambilan paksa anak-anak Timor Leste saat ini telah kembali ke Timor Leste dan bertemu keluarganya.
Pemerintah Indonesia sendiri hanya mendukung dengan membantu para anak-anak Timor Leste mendapatkan paspor dan uang untuk tiket perjalanan pulang. Pemerintah menamakan mereka sebagai ‘anak-anak terpisah’, alih-alih direnggut paksa dari keluarga mereka.
Pemerintah menyadari bahwa hingga kini masih sangat banyak masyarakat khususnya anak-anak yang belum mendapatkan perlindungan terhadap haknya. Dengan penandatanganan PP No. 35 Tahun 2020 tentang “Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban” oleh Presiden Joko Widodo, negara akan bertanggung jawab atas kerugian nyata yang diderita setiap korban dalam bentuk kompensasi, bantuan medis, dan psikologis.
Namun, penandatanganan PP tidak mempermudah pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM di masa lalu. Syarat utama pemberian kompensasi adalah melalui putusan pengadilan yang kenyataannya sulit dilakukan hingga saat ini.
Selain mendapatkan pelayanan medis dan keadilan hukum yang adil, sebagai korban pelanggaran HAM seharusnya juga mendapatkan permintaan maaf dari pemerintah ataupun pengakuan pemerintah sebagai bentuk komitmen tidak terulangnya kasus yang sama.
Sangat disayangkan, hal tersebut tidak pernah diperlihatkan secara sungguh-sungguh. Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum pernah mengakui dan menyatakan permintaan maaf secara resmi untuk para korban pelanggaran HAM, salah satunya pada korban dalam konflik Timor Leste.
Penulis: Rahmi Mg, Nisa Mg | Editor: Suci Amalia.