Mengingat Kembali Urgensi Pengesahan RUU P-KS
Dalam banyak kasus, Indonesia masih mengalami kekosongan hukum pada tatanan hukum yang diberlakukannya. Bukan tanpa sebab, sekiranya ada beberapa hal yang menjadi alasan terjadinya kekosongan hukum. Misalnya, sebagai bekas negara jajahan, Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang merupakan warisan dari negara penjajah. Istilah itu dikenal dengan nama asas konkordansi. Maka, kitab-kitab hukum yang dibuat pada masa lampau belum mampu mengakomodir aturan-aturan yang menjadi kebutuhan saat ini.
Nihilnya payung hukum terhadap beberapa kasus menjadi persoalan besar dalam menentukan sikap yang jelas bagi proses penyelesaian kasus. Salah satu masalah paling akut, yang belum tersedia dasar hukumnya di Indonesia adalah kasus kekerasan seksual. Permasalahan kekerasan seksual masih menjadi satu dari sekian banyak permasalahan hukum yang perlu menjadi perhatian penting.
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan seksual menjadi kasus dengan angka yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia bergerak secara fluktuatif setiap tahunnya, tetapi angkanya lebih dominan meningkat. Pada tahun 2019, angka kekerasan seksual tercatat sebanyak 431.471 kasus. Angka ini meningkat cukup drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kondisi kehidupan perempuan di Indonesia berada dalam ruang yang tak aman. Jauh dari perhatian dan perlindungan. Lantas, penting bagi pemerintah untuk menciptakan payung hukum yang berorientasi kepada perlindungan hak-hak perempuan.
Namun, alih-alih bersifat kooperatif untuk menciptakan payung hukum bagi perlindungan hak perempuan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru memperparah keadaan dengan mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dalam rapat kerja yang diselenggarakan pada Juli lalu.
Di tengah eskalasi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, lagi-lagi kita melihat betapa pemerintah tak berpihak kepada perempuan. Padahal, data-data yang menujukkan banyaknya kasus kekerasan seksual cukup menjadi penanda bahwa Indonesia berada dalam situasi yang darurat. Sayangnya, desakkan dari banyak gerakan masyarakat untuk segera mengesahkan RUU P-KS tidak diindahkan oleh DPR selaku pembuat undang-undang.
Perjalanan RUU P-KS dapat dikatakan berada di jalur yang berkelok-kelok disertai banyak kerikil tajam. Singkatnya: terjal. Sejak pertama kali digagas pada tahun 2012, RUU P-KS telah melewati pembahasan yang beragam. Draf RUU P-KS mulai disusun pada tahun 2014 oleh Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, dan Forum Pengada Layanan (FPL). Draf itu pula yang menjadi awalan RUU P-KS masuk ke DPR.
Pada tahun 2016, RUU P-KS mulai menjadi daftar RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Hingga kemudian pada 2019, RUU P-KS masih belum menemui titik terang untuk segera disahkan. Sekaligus menjadi tanda bahwa DPR periode 2014-2019 tak mampu menyelesaikan pembahasan RUU P-KS.
Merasa masih menjadi hal penting, akhirnya pembahasan RUU P-KS digulirkan kembali oleh DPR periode 2019-2024. Sayangnya, pada pertengahan 2020, dengan alasan yang sama sekali tidak mencerminkan adanya political will, DPR mengeluarkan RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas DPR 2020. Kejadian itu seakan menjadi titik puncak bagi perjalanan RUU P-KS. Namun, selayaknya jalan panjang yang terjal, itu hanya sekadar satu puncak dari puncak-puncak lain yang masih ada harapan untuk digapai.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang mengatakan bahwa pembahasan RUU P-KS dinilai sulit sehingga tidak memungkinkan untuk segera disahkan saat ini. Padahal, di saat yang bersamaan, mereka justru getol mengesahkan beberapa RUU yang dinilai kontroversial: UU Minerba, UU KPK, revisi UU MK, dan UU Cipta Kerja.
Selain itu, alasan lainnya adalah karena adanya keterkaitan antara RUU P-KS dengan RKUHP, sehingga untuk bisa mengesahkan RUU P-KS harus terlebih dahulu mengesahkan RKUHP. Alasan semacam ini seakan memanfaatkan kesempatan untuk mengesahkan RKUHP yang sejak tahun lalu dihujani banyak kritikan. Padahal, RUU P-KS bersifat lex specialis derogat lex generalis yang berarti hukum yang bersifat khusus diutamakan keberlakuannya dibanding hukum yang bersifat umum. Terlebih, ada beberapa ketentuan yang tak diatur dalam KUHP, tetapi secara lengkap diatur di dalam RUU P-KS. Hal ini semakin menguatkan bahwa RUU P-KS urgensi untuk disahkan.
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya meliputi kejelasan tujuan. Jika dilihat dari konteks RUU P-KS, tujuannya sudah jelas dan mutlak sebagai jawaban dari kekosongan hukum bagi kasus kekerasan seksual.
Hal itu semakin diperkuat dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf A yang menjelaskan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman. Dalam hal ini, RUU P-KS dibuat sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya perempuan, meliputi pencegahan kasus, proses hukum yang menjadi keadilan bagi korban maupun pelaku, hingga rehabilitasi dan pemulihan bagi korban dan pelaku.
Atas ragam dasar itu, ketika mendengar berbagai alasan yang dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tidak mengesahkan RUU P-KS tak ubahnya seperti mendengar celotehan burung kakak tua: kosong dan tak bersubstansi. Kasus kekerasan seksual hadir dengan kompleksitas di belakangnya, yakni relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, rasa traumatik para korban, budaya patriarkis, dan aparat penegak hukum yang kerap bias gender. Beragam hal itu akan terus timbul dan menjadi hegemoni dalam masyarakat apabila pengesahan RUU P-KS terus ditunda.
Artinya, apabila pemerintah terus abai terhadap pembahasan RUU P-KS, maka kekosongan hukum pada masalah kekerasan seksual juga bertahan. Pada saat yang bersamaan, angka kasus kekerasan seksual semakin meningkat tajam dan banyak korban yang berjuang mencari keadilan sekaligus melawan berbagai dampak yang timbul, baik fisik maupun psikis.
Bersamaan dengan diperingatinya 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang jatuh pada tanggal 25 November hingga 10 Desember seakan menjadi momentum penting bagi kita untuk terus mendesak agar RUU P-KS segera disahkan, atau paling tidak kembali menjadi hal penting yang perlu dibahas dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Sekaligus memantik kembali semangat bagi para siapa saja yang selama ini terus berjuang untuk disahkannya RUU P-KS. Sebab, kemungkinan terbesar saat ini adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan, sehingga setiap orang yang ditemui tak menemukan lagi satu pun sudut kemungkinan untuk berkata: tidak mungkin.[]
Penulis: Ilham Hermansyah, Mahasiswa Fakultas Hukum semester 5, UPNVJ.