Pentingnya Hukum yang Berpihak kepada Penyintas Kekerasan Seksual Disabilitas
Judul : No Mercy
Sutradara : Lim Kyeong Taek
Genre : Action
Negara : Korea Selatan
Durasi : 95 menit
Masuknya kembali RUU PKS ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 membawa angin segar. Tak terkecuali bagi penyandang disabilitas yang rentang mengalami kekerasan seksual
Aspirasionline.com – Film No Mercy atau yang lebih dikenal dengan Eonni di negara asalnya, Korea Selatan, merupakan film tentang aksi balas dendam seorang kakak, In Ae (Lee Si Young), kepada para pelaku pelecehan seksual yang dialami oleh adiknya, Eun Hye (Park Se Wan).
In Ae yang baru saja keluar dari penjara dan berniat kembali hidup bersama adiknya dengan aman, terpaksa harus menelan kenyataan pahit. Kala mengetahui adiknya yang memiliki keterbatasan mental, tak terlihat lagi batang hidungnya selepas jam pulang sekolah hari itu.
Segala upaya pun telah In Ae kerahkan. Mulai dari mencari segala petunjuk dari guru sang adik, sampai meminta bantuan kepada pihak polisi. Namun, In Ae tak kunjung mendapat bantuan.
Lantas di tengah keputusasaannya, In Ae justru dikejutkan dengan video rekaman yang tiba-tiba ia dapatkan dari temannya, Eun Hye. Berpegang pada video yang memperlihatkan adiknya mendapat perlakuan kekerasan seksual. Ia pun memberanikan diri untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi.
Film keluaran tahun 2019 ini, menghadirkan laga aksi yang terbilang cukup bengis. Namun, mampu memainkan emosional para penonton, seiring dengan terungkapnya satu per satu pelaku pelecehan seksual sang adik tersebut.
Kasus Pemerkosaan pada Penyandang Disabilitas
Tak hanya di Korea Selatan, di negeri kita sendiri pun, nyatanya masih tak luput dari ancaman pemerkosaan. Pemerkosaan sepertinya masih menjadi ancaman teesendiri, khususnya pada perempuan.
Menurut KUHP Pasal 285, pemerkosaan merupakan tindakan pemaksaan penetrasi penis ke lubang vagina yang dilakukan pria kepada wanita. Sungguh miris, melihat definisi yang terlalu sempit untuk suatu hal yang besar. Jenis pemerkosaan pun beragam, salah satunya yakni pemerkosaan pada disabilitas.
Dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019 yang dikeluarkan Komnas Perempuan pada 6 Maret 2020, setidaknya terdapat 87 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas dan sebesar 79 persen merupakan kekerasan seksual yang didominasi oleh pemerkosaan. Fakta lain menyebutkan, perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok paling rentan dengan persentase kasus 47 persen dari seluruh kasus kekerasan.
Angka sebesar itu, hanyalah segelintir kasus yang diterima Komnas Perempuan. Dalam film ini, Eun Hye yang merupakan penyandang disabilitas intelektual merasa bingung, takut, serta tidak bisa mengontrol dirinya setelah ia mengalami tindakan pemerkosaan. Sang kakak yang bertanya tentang kejadian yang terjadi, menjadi bingung dan terlihat salah paham.
Ia tidak berusaha untuk memahami korban, tetapi malah membentak sang adik yang sedang ketakutan. Semakin diusut, In Ae pun mengetahui kalau sang adik ternyata diculik oleh seorang politikus, lalu dibius dan diperkosa.
In Ae yang berusaha menyelamatkan adiknya itu melakukan perlawanan dengan menusuk mata pelaku. Hal itu menjadi sebab, sang kakak mendekam di balik jeruji saat scene awal film ini diputar.
Pentingnya RUU PKS Bagi Penyandang Disabilitas
Adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), tentu saja disambut baik bagi masyarakat luas. Tak terkecuali bagi penyandang disabilitas.
Fakta bahwa kaum penyandang disabilitas menjadi sasaran empuk para predator seks pun, membuat para aktivis dari berbagai organisasi penyandang disabilitas ikut menuntut Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS. Nantinya, RUU ini akan mengakomodir bentuk kekerasan seksual selain perkosaan.
Seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual sebagai tindak pidana.
Namun,tantangan terbesar bagi para penyandang disabilitas saat ini, ialah sulitnya pengusutan kasus yang dialami karena sistem peradilan yang kompleks. Serta aparat penegak hukum yang tidak kompeten dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Dengan disahkannya RUU ini, nantinya, penyandang disabilitas dapat memiliki hak yang sama untuk menjadi saksi dan memberikan kesaksian saat proses persidangan. Sehingga, diperlukan adanya fasilitas untuk mendukung para penyintas untuk berpartisipasi dalam proses hukum serta menerima pemulihan.
RUU ini mewajibkan peradilan menyiapkan dukungan tersebut. Seperti mempersiapkan staff yang ahli mendampingi para penyandang disabilitas, menyiapkan orang yang mengerti bahasa isyarat. Lalu menyiapkan assistive technology, seperti text-to-speech software yang bisa mengkonversi teks menjadi suara untuk membantu mereka yang buta saat proses persidangan.
Foto: Google.
Penulis: Miska Mg. | Editor: Bianca Chairunisa.