Ketika Protes Pegawai Dihalang oleh Rektor

Nasional

Gerakan ILP PTNB mendapat bermacam respons dari Rektor masing-masing universitas. Mulai dari yang mendukung, sampai yang menghalangi pegawainya untuk berangkat ke Jakarta.

Aspirasionline.com – Suhu panas matahari mulai dirasakan ratusan orang yang berada di Taman Aspirasi Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, pada Kamis (18/05) lalu. Mereka yang tergabung dalam Ikatan Lintas Pegawai (ILP) Peruguran Tinggi Negeri Baru (PTNB) masih tetap terlihat bersemangat meski cuaca siang itu cukup panas.

Dari awal sampai akhir Aksi 1805, begitu mereka menyebut gerakan tersebut, terdapat banyak dosen dan tenaga kependidikan yang mengambil bagian untuk orasi. Salah satunya Umar, dosen Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), yang mengambil bagian menaikkan kembali semangat dan menambah panas suasana kala itu. Dalam orasinya, ia mengatakan bahwa ada Rektor yang menahan dosen dan tenaga kependidikannya untuk tidak berangkat ke Jakarta dan melakukan aksi.

“Pada satu hari sebelum keberangkatan, ada salah satu Rektor yang kebetulan merupakan Ketua Forum Rektor PTNB. Dia mengeluarkan surat edaran di kampusnya (Universitas Maritim Raja Ali Haji, red). Surat edaran tersebut melarang dosen dan tenaga kependidikan mereka untuk ikut aksi. Dengan alasan, surat edaran tersebut permintaan dari Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti),” ungkap pria yang mengajar mata kuliah Bahasa Inggris tersebut.

Hal tersebut jelas tertera pada poin enam Surat Edaran Rektor Nomor SE-1723/UN53/KP/2017 tersebut yang berisi: Rektor tidak mengizinkan calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk mengikuti unjuk rasa terkait proses PPPK ini. Jika ada yang tetap mengikuti, maka akan dicatat dan dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal Kemenristekdikti untuk diambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Adalah Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), Syafsir Akhlus, yang mengeluarkan surat edaran tersebut. Surat edaran ini dianggap kontra dengan pertemuan ILP dan Forum Rektor PTNB yang telah dilakukan pada 10 Mei lalu. “Kami dari ILP melakukan pertemuan di Batam dengan Forum Rektor PTNB. Peretmuan tersebut berkaitan dengan rencana aksi hari ini. Kesepakatannya adalah setiap Rektor tidak boleh menghalangi ataupun mendukung. Jadi bersifat netral dalam aksi ini. Namun, hal ini telah diingkari oleh Rektor Umrah,” tutur Umar kepada ASPIRASI pasca ia melakukan orasi.

Senada dengan Umar, salah satu dosen Umrah yang tidak ingin disebutkan namanya membenarkan bahwa pegawai Umrah yang ingin melakukan aksi dilarang, bahkan diancam. “Ketika ada pengalihan status, pegawai yang berangkat ke Jakrta untuk Aksi 1805 akan diancam untuk tidak dilibatkan dalam proses pengalihan status. Bahkan, ada iming-iming kepada beberapa orang, jika batal ikut ke Jakarta akan diberikan posisi,” tuturnya.

Dengan adanya surat edaran tersebut, beberapa pegawai dari Umrah harus mengurungkan niatnya untuk bergabung dalam Aksi 1805. Hal ini, justru membuat jumlah massa aksi dari Umrah berkurang, yang dari semula 36 menjadi 20 pegawai saja yang tetap berangkat ke Jakarta.

Dengan Alasan Meninggalkan Kewajiban Kampus

ASPIRASI pun mencoba menghubungi Rektor Umrah Syafsir Akhlus guna mengklarifikasi hal tersebut. Namun, ketika dihubungi Syafsir tengah sibuk menjalankan tugasnya, dan melemparkan hal ini supaya mendapat keterangan melalui Staf Humas-nya.

Muharroni, selaku Staf Humas, menjelaskan bahwa surat edaran Rektor intinya lebih memberikan imbauan agar dosen dan pegawai bekerja seperti biasa. “Jika para pegawai pergi ikut aksi, maka akan meninggalkan kewajibannya di kampus. Keputusan ini dibuat berdasar pada imbauan Kementrian untuk tidak melakukan aksi terkait, dan bersabar dalam proses,” tutur pria yang mengajar mata kuliah Pendidikan Bahasa tersebut.

Ia membenarkan bahwa surat edaran tersebut dibuat oleh Rektor Umrah Syafsir Akhlus. Dalam siaran pers di grup media humas Umrah menyatakan bahwa Kemenristekdikti melalui Sekretaris Jenderalnya menghimbau kepada seluruh calon PPPK agar menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengganggu proses pengangkatan PPPK pada PTNB. Rektor Umrah berkewajiban menjaga agar calon PPPK di Umrah tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan diluar koordinasi Rektor selaku pimpinan tertinggi, sehingga Rektor mengeluarkan surat edaran tersebut. Kalimat akhir dalam siaran pers tersebut menuliskan bahwa surat edaran tersebut hanya berlaku bagi calon PPPK yang mentaatinya dan berkeinginan untuk diangkat sebagai PPPK.

Terkait pegawai yang batal mengikuti aksi akan diberikan posisi serta bagi pegawai yang mengikuti aksi di Jakarta dilarang, bahkan diancam tidak dilibatkan dalam pengalihan status pegawai. Muharroni menuturkan bahwa hal tersebut baru pertama kali didengarnya. “Baru kali pula kami dengar. Kami rasa tidak ada yang seperti itu, apalagi di zaman keterbukaan publik seperti sekarang,” ujar pria kelahiran 31 Oktober 1981 silam tersebut.

Tak Ada Larangan dari Kemenristekdikti

Seperti yang diketahui, bahwa dalam Aksi 1805 delapan orang perwakilan ILP-PTNB berhasil memasuki istana untuk menyerukan tuntutannya. Salah satu delegasi ILP, Etik Sutoto menceritakan bahwa di dalam Istana Negara, delegasi ILP melakukan protes ke Direktrorat Jendral Kemenristekdikti Ali Gufron Muktin terkait perlakuan Rektor Umrah.

Etik mengatakan saat dalam istana Ali Gufron memberikan klarifikasi terkait hal tersebut. “Pihak Kemenristekdikti memang tidak ada instruksi untuk melarang. Kami menilai itu merupakan pembungkaman aspirasi. Menyalurkan aspirasi kan dijamin oleh UU,” ujar Etik, menirukan klarifikasi dari pihak Kemenristekdikti.

Etik menjelaskan bahwa dari Kemenristekdikti sebenarnya tidak ada masalah. “Karena, secara struktural dan hukum, dosen dan tenaga kependidikan PTNB belum bisa dikatakan pegawai Kemenristedikti. Maka dari itu Kemenristekdikti tak ada kepentingan untuk melarang. Kecuali kami sudah diangkat PNS, baru ada hak melarang,” tutur pria yang menjadi Koordinator Lapangan dalam Aksi 1805.

Berbanding terbalik dengan Umrah, Universitas Siliwangi justru tidak menerima tekanan dari Rektornya. “Alhamdulillah, pimpinan kami menyatakan yang ingin pergi silakan, yang mau tidak silakan. Bagusnya pimpinan kami menganggap pegawai yang pergi ikut demo itu masuk kerja,” ujar Sarip Mauludin, yang sudah mengabdi di Universitas Siliwangi selama hampir 30 tahun.

Sarip mengatakan selain memperoleh izin untuk pergi ke Jakarta dalam melakukan Aksi 1805, pegawai Universitas Siliwangi juga mendapatkan dukungan dari Rektornya. “Awalnya, untuk bis kami telah sepakat untuk patungan. Namun, pihak Rektorat menyuruh kami jangan patungan, karena mereka yang akan member bantuan,” tutup pria kelahiran 12 Juli 1965 tersebut.

Reporter : Donal Cristoper Siahaan |Editor : Haris Prabowo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *