Bagaimana Kondisi Kebebasan Berpendapat Saat Ini?
Menyambut Dies Natalis ke-38, LPM Aspirasi menyelenggarakan webinar bertajuk, “Paradoks Kebebasan Berpendapat: Pembungkaman hingga Kekerasan Terhadap Jurnalis” dengan menghadirkan pembicara berkompeten di bidangnya.
Aspirasionline.com − Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aspirasi merayakan hari jadi yang ke-38 dengan mengadakan webinar. Pada tahun ini, LPM Aspirasi membawakan tema, “Paradoks Kebebasan Berpendapat: Pembungkaman hingga Kekerasan Terhadap Jurnalis.” Webinar yang diselenggarakan pada Minggu, (31/10) itu menghadirkan empat pembicara.
Yakni Fatia Maulidiyanti selaku koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nibras Nada Nailufar, Jurnalis Kompas, dan Willy Aditya sebagai Wakil ketua badan legislasi DPR-RI.
Acara dibuka dengan sambutan dari Intan Putri Cahyani selaku Pembina LPM Aspirasi, kemudian dilanjutkan dengan sambutan Pemimpin Umum LPM Aspirasi, Muhammad Rafi Shiddique. Dilanjutkan dengan sambutan Terakhir dari ketua pelaksana Acara Dies Natalis ke-38, Satrio Agassi Raditya.
Dalam sambutannya, Satrio mengungkapkan, bagaimana kondisi kebebasan berpendapat yang terlihat seperti hanya bualan pemerintah semata. Pada satu sisi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan bahwa kebebasan berpendapat adalah suatu hak bagi masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain, hak berpendapat justru dirampas oleh negara.
Hal ini dibenarkan oleh Sasmito, selaku pembicara pertama pada webinar kali ini. Samito menyebutkan, jurnalis yang seharusnya dilindungi oleh UU Pers, justru masih sering mendapatkan kekerasan. Khususnya dengan adanya UU ITE yang beberapa kali menjerat jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
“Meskipun data di AJI itu berbeda dari data di tempat lain seperti LBH Pers, karena AJI hanya memberikan data terkait dengan pemberitaan,” ungkap Sasmito.
Dalam webinar tersebut, Sasmito juga memaparkan bagaimana kondisi demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan skor sebesar 1,3. Sasmito menjelaskan, Indeks Skor Demokrasi Indonesia sempat menyentuh angka 70, dari semula sebesar 75,6. Akan tetapi pada saat Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan hasil temuannya pada tahun 2021, mereka tidak mengundang para jurnalis dengan dalih covid-19.
“Padahal sebelumnya tidak ada masalah untuk konferensi pers secara online,” ungkap ketua umum AJI tersebut.
Nibras atau yang akrab disapa Ajeng juga menceritakan pengalamannya mengalami tindakan kekerasan dari apparat kepolisian. Terhitung sudah tiga hingga empat kali Kekerasan yang ia terima. Mulai dari intimidasi hingga kekerasan ketika sedang meliput demonstrasi Reformasi Dikorupsi pada 2019 silam.
Ajeng juga sempat merekam tindakan polisi yang melakukan kekerasan terhadap seorang demonstran dengan menginjak injak demonstran tersebut hingga lemas. Beruntungnya pada saat itu Ajeng berhasil melarikan diri setelah dibujuk oleh polisi yang menyelamatkannya dari amukan polisi lain untuk tidak menyebarkan video tersebut.
Meskipun demikian, Ajeng menyebutkan, kekerasan yang ia terima saat itu relatif jauh lebih ringan dibandingkan beberapa jurnalis lainnya saat meliput kejadian serupa. Ia mencontohkan Jurnalis Tirto, Haris, yang dipiting dan alat kerjanya dirusak. Hingga seorang jurnalis kompas lainnya yang ada di gedung bentara budaya yang menjadi milik kompas juga diintimidasi oleh polisi di dalam gedung tersebut.
“Saat kita (Jurnalis, red) membuat laporan, itu laporannya diputer puter sampai setengah hari habis buat itu,” ungkap Ajeng.
Pembicara ketiga, Willy Aditya pun mengungkapkan bahwa kekerasan kepada jurnalis, pembungkaman mahasiswa hingga berujung skorsing dari pihak kampus karena mengungkapkan pendapatnya bukanlah suatu hal baru. Bahkan pada masa orde baru, kekerasan yang terjadi berujung pada kematian jurnalis tersebut.
“Kalau teman-teman bilang sampai diskorsing, saya sampai tiga kali dipecat oleh rektor,” cerita Willy.
Lebih lanjut, Willy pun mengajak peserta webinar untuk mencoba merefleksikan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Ia pun menyebut, meskipun Indonesia adalah negara demokrasi, namun sejatinya kebebasan berpendapat di Indonesia masih berupa kebisuan. Willy juga mengungkapkan, bagaimana pembungkaman yang terjadi selama 32 tahun lamanya di era orde baru turut memberikan andil dalam kebebasan berpendapat di Indonesia
“Kita hidup dalam dua ekstrimitas yang dua-duanya membutuhkan effort yang tidak gampang,” lanjut Willy.
Fatia yang menjadi pembicara terakhir pada webinar kali ini pun memberikan paparannya. Sejalan dengan yang dipaparkan Sasmito, Indonesia dalam beberpa riset internasional dinyatakan mengalami penurunan nilai demokrasi, bahkan berpotensi untuk kembali ke zaman otoritarianisme. Hal ini didukung dengan adanya wacana masa presiden yang dinaikkan menjadi 3 periode, ketiadaan partisipasi publik saat membuat kebijakan, hingga lebih banyak situasi dimana publiK semakin digerus haknya.
“Kalau dulu di era Soeharto, kalau menghina pejabat negara ada kemungkinan di kriminalilsasi, nah sekarang juga sama,” jelas Fatia.
Uniknya pada saat ini, kata Fatia, terdapat legitimasi melalui aturan hukum yang justru melanggengkan aksi represivitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan penggerusan hak berpendapat oleh pemerintah itu sendiri. Mulai dari peraturan internal via telegram kapolri, hingga UU ITE yang acapkali menjerat publik yang mencoba mengeluarkan pendapatnya.
Selepas pemaparan dari keempat pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh moderator sebelum diakhiri dengan foto bersama dan pengumuman penanya terbaik yang mendapatkan hadiah buku yang disponsori oleh Human Right Working Group (HRWG).
Reporter: Satrio Agassi Raditya | Editor: M. Faisal Reza.