Gelar Akademik pada Politikus, Prestasi atau Politisasi?

CategoriesNasional

Diberikannya gelar profesor kehormatan kepada Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, turut mengundang banyak pertanyaan publik. Salah satunya, yaitu mempertanyakan perihal urgensi dari gelar tesebut.

Aspirasionline.com − Salah satu Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri mendapat gelar profesor kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) melalui sidang senat terbuka pada Jumat, (11/6) lalu. Gelar tersebut pun menjadikannya sebagai guru besar tidak tetap di Unhan.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun, mengatakan dengan tegas, bahwa sebetulnya tidak ada urgensi dari gelar profesor kehormatan yang diberikan kepada Megawati. Gelar tersebut menurutnya hanyalah sebagai kepentingan politik semata atau biasa disebut dengan politisasi.

Dhia menyebutkan, terdapat suatu pelanggaran peraturan perundang-undangan ketika Megawati diangkat menjadi salah satu guru besar di Unhan. Menurutnya, banyak syarat-syarat yang tidak terpenuhi kala pengangkatan Megawati menjadi salah satu pemangku jabatan di universitas tersebut. Padahal, gelar profesor merupakan gelar dengan tingkat tertinggi jika dilihat dari segi keilmuaannya.

Koordinator KIKA itu juga menerangkan, pemberian gelar ini akan memungkinkan adanya negosiasi yang melahirkan politik barter. Yakni memberikan kemudahan dan keuntungan bagi para pemangku jabatan, ataupun pemilihan presiden periode baru di tahun 2024 nanti.

“Jadi ada orang-orang yang bermain di sini,” ujar Dhia saat diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (21/6).

Dhia lalu menyebutkan, beberapa motif politik barter lainnya, seperti kepentingan posisi pengamanan Kementerian Pendidikan, belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) oleh salah satu kementerian. Kemudian, legitimasi bahwa Megawati berhak mendapatkan posisi Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIN) dan juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan gelar professor tersebut.

“Padahal kita mengetahui bersama bahwa tidak tepat, begitu ya, jika Universitas Pertahanan memberi gelar professor kepada seorang politisi. Itu mungkin ya yang bisa dilihat,” ujarnya.

Sejalan dengan Dhia, Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, pengangkatan Megawati menjadi profesor kehormatan hanyalah untuk politisasi semata. Sehingga tidak mencerminkan apapun dan tidak lebih dari pencitraan.

Ia pun menjelaskan bahwa gelar profesor kehormatan akan lebih pantas diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Sebab, itu membuktikan bahwa jasa orang yang sudah meninggal tersebut, patut dihormati dan dihargai.

“Jadi kalau orang yang masih hidup diberi gelar kehormatan yang seperti sekarang ini, yang terjadi itu, ya, politisasi,” terang Ubaid saat dihubungi ASPIRASI pada Minggu, (20/6).

Selain politisasi, adanya pemberian gelar kehormatan saat ini justru memungkinkan adanya transaksi jual beli gelar. “Banyak kejadian setelah mendapatkan gelar kehormatan terus korupsi dan di penjara. Lalu gelarnya jadi pertanyaan publik, gelar beneran apa beli?” sambungnya.

Ia juga menuturkan bahwa gelar akademik lebih pas untuk diberikan kepada orang-orang yang bergerak di bidang akademik pula. Mereka yang berada di luar lingkaran akademik, sebetulnya tidak perlu diberikan gelar tersebut.

Mengenai Karya Ilmiah dan Politisasi

Sebelumnya, karya tulis ilmiah Megawati sempat ramai diperbincangkan di media sosial. Awalnya, perbincangan ramai lantaran karya ilmiah tersebut membahas pengalaman Megawati dan ditulis pula oleh dirinya sendiri.

Dhia pun kembali menjelaskan perihal penulisan karya tulis yang benar, antara lain yaitu harus bermetode, etis, objektif, serta rasional atau logis. Sementara dalam produk ilmiah Megawati, tulisan tersebut terlalu subjektif karena berisikan mengenai dirinya sendiri dan tidak sistematis lantaran terdapat jumping idea yang cukup banyak.

“Saya pikir tulisan dari Megawati ini cacat karena subjektifitasnya tinggi dan juga di dalamnya ada narasi yang sebenarnya itu sudah ada, jadi tidak memperlihatkan adanya unsur kebaruan di situ,” terang perempuan yang juga berprofesi sebagai dosen itu.

Saat ditanya mengenai bagaimana agar dunia akademik tidak dipolitisasi, Dhia mengatakan, bahwa otonomi kampus harus berjalan tanpa berkaitan dengan kekuasaan. Menurutnya, harus ada penghapusan segala hal yang berkaitan politik dari dunia akademik. Salah satunya yaitu menghapus kebijakan pemilihan rektor oleh menteri.

Kebijakan itu menurutnya akan sangat berpengaruh untuk digunakan sebagai barter politik, sebab 35%  suara dari kementerian berdampak pada pemilihan Rektor. Sehingga hal ini yang kemudian membuat dunia akademik berlomba melanggengkan kekuasaaan itu sendiri.

“Mungkin itu salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menghindari kampus dari intervensi kekuasaan,” tutupnya.

Reporter: Miska Ithra Syahirah | Editor: Shafa Azzahra.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *