
Ali Zaidan: Kasus Ahok Terjadi Karena Mobilisasi Hukum
Sebuah wawancara dengan Ali Zaidan, akademisi hukum pidana UPN “Veteran” Jakarta.
Aspirasionline.com – Serangkaian kasus penistaan agama yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang kerap disapa Ahok, menjadi pembahasan penting dalam berbagai wacana maupun sudut pandang. Mulai dari kontestasi arena politik Pemilihan Gubernur yang sedang berlangsung, meruncingnya politik identitas berdasarkan ras dan agama, tekanan masyarakat pada kasus Ahok yang berpotensi mengintervensi peradilan hukum Indonesia, hingga pasal penistaan agama warisan Orde Baru kerap disebut sebagai “pasal karet”.
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Ali Zaidan punya pandangan tersendiri mengenai dinamika hukum yang sedang terjadi pada Ahok. Ia menolak tegas bahwa pasal penistaan agama merupakan pasal karet. Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan 1 Bidang Akademik FH ini juga bercerita banyak mengenai kompetensi hakim yang mengadili sidang perkara tersebut.
Haris Prabowo dan Aprilia Zul Pratiwiningrum dari ASPIRASI bertemu dengan pria kelahiran Sumatra Selatan tersebut diruangannya pada Selasa (23/5) lalu. Wawancara berlangsung selama satu jam dengan membahas segala lintas permasalahan hukum yang sedang terjadi di Indonesia. Berikut petikannya.
Menurut Anda selaku akademisi, selaku dosen Hukum Pidana, yang banyak bergiat di bidang Hukum Pidana, pasal penistaan agama yang ada di dalam KUHP secara keilmuan itu seperti apa?
Sebenarnya hukum itu, termasuk Hukum Pidana, ada untuk melindungi kepentingan-kepentingan, melindungi lembaga-lembaga kemasyarakatan, termasuk di dalamnya nilai-nilai. Jadi kepentingan-kepentingan berkaitan dengan tubuh, nyawa, itu adalah kepentingan hukum, termasuk juga agama. Juga nilai-nilai yang dilindungi oleh negara. Maka dibuatlah regulasi-regulasi seperti yang ada di dalam Pasal 156 itu. Pasal itu baru masuk di dalam KUHP pada tahun 1965. Melalui penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965.
Jika kita berbicara tentang pasal penistaan agama, secara garis besar bisa bertendensi menjadi pasal karet, karena bisa menyentuh ke semua aspek keagamaan. Pertanyaannya, mengapa pasal penistaan agama ini tidak masuk ke pengadilan agama, justru masuk ke pengadilan biasa? Mengapa bisa seperti itu?
Karena pasal tersebut ada di dalam KUHP, yang otomatis adalah pasal pidana. Jadi tidak termasuk ke dalam kompetensi pengadilan agama. Pengadilan agama itu hanya melulu menyelesaikan masalah-masalah keperdataan. Jadi walaupun berkaitan dengan agama, keyakinan seseorang, tetapi ini dianggap sudah tindak pidana yang melanggar ketertiban umum. Jadi tindak pidana penistaan agama itu termasuk ke dalam bab kejahatan terhadap ketertiban umum. Sehingga kalau terjadi seperti itu, kompetensi pengadilan yang melakukan pemeriksaan adalah pengadilan pidana, dalam hal ini pengadilan umum, bukan pengadilan agama. Pengadilan agama itu kompetensinya menyelesaikan masalah-masalah seperti nikah, talak, rujuk, termasuk juga ekonomi islam.
Membicarakan tentang sebuah pengadilan, hakim harus memiliki kompetensi dalam mengadili sebuah kasus. Dalam kasus penistaan agama seperti ini, setidaknya hakim harus bisa berbahasa Arab, paham mantiq, fiqih, hingga sejarah kebudayaan Islam juga. Bagaimana jika seperti ini?
Di dalam hukum acara perdata, ada asas Ius Curia Novit. Hakim harus mengetahui semua hukum, sehingga pengadilan tidak boleh menolak dan mengadili perkara. Persoalannya, apa benar ia mengetahui hukum? Disitulah dibutuhkan keterangan ahli, baik yang didengar di dalam persidangan, atau yang didatangkan secara khusus. Misalnya Mahkamah Konstitusi, mereka hendak melakukan judicial review terhadap UU Pertanian, boleh jadi saksi ahli mereka panggil tapi boleh jadi tidak. Mereka secara khusus dipanggil. Untuk memberikan penjelasan terkait apa objek yang sedang dibicarakan.
Hakim itu dianggap tahu hukum, dia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasannya hukum tidak lengkap. Pokoknya ia dianggap tahu hukum. Dan keputusannnya mengikat, sepanjang tidak ditemukan hal-hal sebaliknya. Hakim dianggap tahu hukum. Ada kesalahan pada tingkat banding dan kasasi, berarti ia tidak tahu sebenarnya, tapi dianggap harus tahu akan objek yang dipersengketakan. Lalu bagaimanan dengan keputusan? Keputusan itu kan demi keadilan. Caranya bagaimana? Dibutuhkan keterangan ahli yang didengar di persidangan atau di luar persidangan. Dijelaskan, sehingga mereka nanti sudah mempunyai konsep dan persepsi tentang apa yang hendak diperiksa itu.
Ini menjadi salah satu persoalan dilematis. Contoh kasus yang telah berlangsung ini: yang dinistakan adalah agama Islam, dan kita paham jika Islam di Indonesia memiliki cukup banyak mazhab. Mulai dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ahmaddiyah, dan lain-lain. Ini menjadi pertanyaan besar: sebenarnya Islam yang mana yang merasa dinistakan? Apa itu berpengaruh juga untuk saksi ahli yang didatangkan?
Sebenarnya tidak, yang penting penistaan agama itu menjelekkan agama lain. Jadi tidak harus tersekat-sekat pada mazhab-mazhab. Tapi secara umum Islam itu sama. Tapi misalnya ajakan untuk tidak sholat, itu kan menistakan agama. Jadi hal-hal yang secara umum seperti itu tidak mungkin sampai kepada keyakinan mendalam tentang sesuatu, karena itu sensitif. Disitulah pasal karet terjadi, padahal tidak. Bagaimana perumusan pasal itu? Penafsirannya tentu sesuai ilmu hukum, tidak ditafsirkan secara subjektif. Penafsiran secara analogi saja tidak boleh dalam hukum pidana. Hukum pidana itu ketat dalam menafsirkan.
Jika kita melihat kasus yang menimpa Ahok sekarang, semua berawal ketika kasus masuk dalam ranah pengadilan karena ada beberapa kelompok masyarakat yang melakukan semacam tekanan terhadap hukum di Indonesia, entah itu kepada Polri, maupun Hakim. Apa ini tidak bisa disebut pasal karet juga? Karena secara tidak langsung ada intervensi dari luar pengadilan ke dalam ranah itu?
Sebenarnya itu bukan pasal karet, yang benar adalah terjadinya mobilisasi hukum. Jadi bagaimana hukum semula itu yang sebenarnya diam, namun kemudian dimobilisasi oleh massa. Sehingga mau tidak mau, lembaga peradilan pun harus mengikuti itu. Tidak mungkin lembaga peradilan itu tidak menghiraukan suasana yang berkembang. Bagaimanapun UU Kehakiman sudah memberikan ruang. Hakim sebagai penegak hukum harus mengikuti nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat. Namun juga ada batasan. Jangan sampai mereka disebut peradilan sesat.
Maksudnya peradilan sesat?
Ketika peradilan itu telah menjadi “peradilan massa”. Peradilan dilakukan berdasarkan tekanan massa. Itu pasti sudah tidak objektif lagi. Jangan sampai terjadi yang seperti itu. Sampai sekarang kan kita sudah membaca putusannya. Saya pribadi yang semula menentang, setelah membaca putusan yang telah dikeluarkan, ya kita anggap benar putusan itu. Berarti yang bersangkutan terbukti melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156a. Tinggal proses hukum selanjutnya berjalan. Saya baca selintas mereka yang hendak melakukan banding, namun dicabut kembali. Kenapa? Masalahnya tidak ada jaminan pengurangan hukuman di tingkat pengadilan selanjutnya. Hukumannya diancam 5 tahun, nanti bisa malah naik. Jika diterima begitu ada kemungkinan-kemungkinan untuk dipotong masa tahanan, seperti remisi atau pembebasan bersyarat. Jadi lebih ideal dan rasional melakukan itu ketimbang melakukan banding yang mungkin saja nanti proses adu kekuatan itu berpindah ke pengadilan tinggi.
Namun menurut Anda, dengan mobilisasi hukum dari tekanan publik kepada penegak hukum, apa bisa dikatakan hukum itu telah berjalan dengan sehat?
Itu nama dinamika. Tinggal penegak hukum dan keadilan harus objektif. Karena putusannya itu nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Pasti mereka membaca koran, menonton televisi, tentang apa yang dikehendaki oleh publik. Hakim itu bukan makhluk biasa. Mereka “makhluk plus”. Tentu saja dalam melakukan sesuatu mereka lebih objektif ketimbang kita. Mereka lebih teliti ketimbang kita. Maka diberi kewenangan untuk mengadili itu. Jadi itu bagian dari dinamika hukum. Tetapi objektifitas, independensi, dan imparsialitas itu mutlak bagi seorang hakim, terutama pada saat memutuskan perkara. Pada waktu hendak mengetukkan palu, imparsialitas menjadi jaminan. Kalau tidak, peradilan sesat akan terjadi.
Ada beberapa wacana dari lembaga-lembaga swasta yang berkecimpung di dunia hukum, bahwa mereka ingin mendesak ke Mahkamah Konstitusi untuk upaya penghapusan atau bahkan judicial review tentang pasal penistaan agama ini. Menurut Anda bagaimana?
Menurut saya pasal penistaan agama itu tetap penting. Karena kita punya 7 agama (yang diakui oleh Pemerintah) di Indonesia yang kelangsungannya harus kita jaga. Jangan sampai menjelekkan agama lain. Pasal ini erat kaitannya dengan SARA. Indonesia didirikan berdasarkan kemajemukan. Jangan sampai menistai.
Menurut saya tetap penting karena ada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia. Nilai itu salah satunya adalah nilai agama. Hukum itu fungsinya melindungi nilai itu, nilai fundamental dalam masyarakat. Karena untuk Indonesia, SARA itu menjadi ciri khas, yaitu kemajemukan. Hukum harus melindungi itu. Ancamannya juga cuma 5 tahun, berarti tergolong delik yang tidak berat.
Dalam Hukum Pidana, terdapat salah satu unsur penting, yaitu niat yang harus dibuktikan. Ahok selama ini selalu menyangkal niat tersebut. Bagaimana menurut Anda?
Dalam menentukan niat, itu bukan dari jawaban atau pernyataan terdakwa. Namun dari keterangan-keterangan saksi yang kemudian disimpulkan oleh Majelis Hakim. Apakah ada unsur opzet (kealpaan) di dalamnya? Jadi Hukum Pidana itu tidak bertumpu pada pengakuan. Karena pengakuan bersalah saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menghukum seseorang. Itu prinsip Hukum Acara Pidana.
Jadi pada waktu membuktikan niat, tergantung kepada para saksi, yang kemudian dari para saksi itulah akan muncul keyakinan hakim. Jadi untuk membuktikan kesengajaan adalah keterangan para saksi, alat bukti lain, dan keyakinan hakim sendiri. Itu yang menjadi dasar pengambilan keputusan. Istilahnya teori pembuktian oleh Undang-Undang secara negatif.
Bagaimana latar belakang munculnya pasal penistaan agama ini secara historis? Ada konteks tertentu?
Saya tidak tahu pasti. Tapi sudah muncul orang-orang yang melakukan tindak pidana itu. Tapi kita punya kekosongan hukum, maka dimasukanlah melalui penetapan presiden. Penetapan presiden itu sudah dikuatkan menjadi UU, masuklah kedalam KUHP. Jadi ada peristiwa yang saya tidak tahu persis. Aslinya hanya menyatakan kebencian terhadap golongan penduduk itu pasal 165. Kemudian 156 ditambahkan masuk manjadi 156a.
Bisakah penistaan agama dijatuhkan kepada ceramah-ceramah keagamaan yang menjatuhkan agama lain?
Kalau untuk konteks keislaman itu biasa, karena kita harus kaffah dalam beragama. Tidak boleh setengah-setengah. Tetapi kalau ada orang dari agama lain apakah perlu kita ucapkan seperti itu? Disitulah perlu rasa toleransi. Seperti contohnya Rhoma Irama pada waktu Pemilihan Presiden 2014 lalu yang ia menyatakan meragukan keislaman Jokowi. Pada waktu itu Rhoma Irama benar, karena ia bicara di depan massa Islam, bertempat di masjid. Namun karena diunggah ke internet, banyak agama-agama lain yang mendengar, disitulah masalah terjadi.
Indonesia lahir dari kemajemukan. Pasal ini tetap perlu, hanya penggunaannya harus hati-hati. Jangan sampai memancing persaingan massa. Karena nilai sosial yang dilindungi itu salah satunya adalah nilai keagamaan, dan hukum berfungsi untuk melindungi nilai-nilai tersebut. Agama bentuknya abstrak, tapi ini kan menyangkut keyakinan kita. Negara harus melindungi nilai-nilai itu melalui perangkat hukum.