Polemik Pembangunan Jurassic Park Taman Nasional Komodo
Proyek Jurassic Park, Taman Nasional Komodo, merupakan salah satu rencana pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang digarap pemerintah. Pembangunan ini banyak menuai kontra.
Aspirasionline.com- Senin, (23/11), Sunspirit for Justice and Peace dan perwakilan warga Pulau Komodo diundang oleh Komisi IV DPR RI untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait pembangunan Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KSPN) Pulau Komodo.
“Pembangunan geopark yang tidak melalui sosialisasi dengan masyarakat yang ada di kawasan itu membuat kami semua kaget,” ujar Akbar selaku perwakilan warga Pulau Komodo.
Akbar mengaku tidak ada transparansi dalam proses pembangunan ini membuat masyarakat kebingungan di mana posisi mereka dalam pembangunan tersebut. Menurutnya masyarakat tidak mengetahui akan menjadi subjek hukum atau hanya menjadi objek yang nantinya akan digusur dan direlokasi.
Akbar juga menilai, selain persoalan transparansi, menjadikan Pulau Komodo sebagai wisata eksklusif 1000 dolar juga dinilai akan menekan jumlah kunjungan wisatawan. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi masyarakat Pulau Komodo yang menggantungkan hidupnya pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Akbar juga mengungkapkan adanya wacana bahwa UMKM akan direlokasi ke Pulau Rinca.
“Hal ini memberatkan masyarakat sebab jarak tempuh dari Pulau Komodo ke Pulau Rinca yang kurang lebih memakan waktu delapan jam,” keluh Akbar dalam konferensi pers virtual tersebut pada Rabu, (25/11).
Tidak adanya pelibatan masyarakat setempat juga diutarakan oleh Venansius Hariyanto, peneliti Sunspirit for Justice and Peace. Menurut Venan, hanya masyarakat Pulau Rinca saja yang diminta pendapatnya, sementara masyarakat Pulau Komodo tidak.
“Para pelaku wisata di Labuan Bajo, tidak. Organisasi-Organisasi lingkungan juga tidak,” kata Venan.
Venan turut menyebutkan lima poin tuntutan yang disampaikan dalam RDP dengan Komisi IV DPR RI. Poin pertama adalah meminta keseluruhan desain dihentikan sementara, kemudian direvisi dan dikaji ulang dengan melibatkan ahli, organisasi-organisasi lingkungan, para pelaku wisata, dan masyarakat setempat.
Kedua, mencabut izin semua perusahaan di dalam kawasan konservasi, semua hotel dan resort cukup diluar kawasan. Ketiga, mengenai kejelasan atas relokasi, dimana mayoritas UMKM yang dijalankan masyarakat setempat hanya berupa usaha kecil yang kurang sesuai dengan wisata ekslusif 1000 dolar.
“Selanjutnya, masyarakat setempat juga menuntut pengakuan budaya dan hak agraria,” ungkap Venan.
Venan juga meminta pemerintah ntuk lebih mendorong fasilitas-fasilitas infrastruktur dasar seperti, pendidikan dasar dan sekolah menengah, peningkatan fasilitas kesehatan, perbaikan dermaga dan air bersih.
Terkait dengan lima poin tuntutan dalam RDP, Dewi Kartika selaku Sekretaris Jendral KPA mengharapkan DPR segera mengambil suatu sikap yang tegas terkait pembangunan geopark ini.
Dewi juga khawatir bahwa pemerintah justru akan berpihak ke proyek pembangunan pariwisata yang merampas tanah warga. “Mengingat pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang ia nilai dapat mengafirmasi motif-motif dan tujuan pembangunan yang bersifat lapar tanah,” tambah Dewi.
Dewi mengucapkan pemberlakuan UU Cipta Kerja pun dapat menimbulkan standar ganda, di mana akses kawasan pembangunan menjadi terbatas untuk warga setempat, namun akses terbuka luas untuk para investor.
“Jadi DPR tidak hanya melakukan rapat dengar pendapat, tetapi juga harus mengambil suatu sikap yang jelas,” ungkap Dewi.
Foto: Google.
Reporter: Bella Mg, Natasya Mg. | Editor: Marsya Aulia.