UU MD3 Digugat Ramai-Ramai

Nasional

Aspirasionline.com – Bulan ini sejumlah pihak berencana mengajukan uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD ke Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini sering disingkat Undang-undang MD3. Undang-undang ini ramai dipersoalkan karena disahkan sehari sebelum pemilu presiden, atau pada 8 Juli lalu. Lantas muncul dugaan undang-undang ini disiapkan partai-partai pendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa untuk menghadang jika pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.

Seberapa besar dampak Undang-Undang MD3 ini bagi pemerintahan baru nanti, dan mengapa banyak pihak ingin merevisi?

Dalam perbincangan di Pilar Demokrasi KBR dan TV Tempo, Kuasa Hukum PDIP Andi M. Asrun menilai UU MD3, yang belum memiliki nomor lembaran negara itu, menyalahi beberapa ketentuan, di antaranya aturan formil.

“UU MD3 ini membelakangi politik jujur. UU MD3 menyalahi prosedur pembentukan perundangan. Pembentukan UU MD3 tidak melalui proses legislasi yang benar di DPR dan banyak pasal siluman yang muncul sesaat sebelum pengesahan,” ungkap Andi yang juga pernah menggugat uji materi UU pilpres satu putaran.

Menurut Andi, ada keganjilan-keganjilan dalam proses pengesahan UU MD3 di DPR. Beberapa di antaranya adalah proses pembahasan yang melalui badan legislasi DPR. Selain itu, UU ini juga tidak mempunyai naskah akademik, yang biasa ada ketika ada proses revisi sebuah undang-undang.

“UU MD3 salah secara formil atau cacat konstitusi, makanya kita menggugat. Tidak hanya parpol yang menggugat, namun ada lima elemen seperti KPK, Koalisi Perempuan dan juga DPD yang menilai UU MD3 menyalahi aturan karena hanya memberikan keistimewaan kepada DPR,” ungkap Andi.

Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai UU MD3 akan mempengaruhi integritas lembaga DPR sebagai lembaga negara,

“UU MD3 dibentuk untuk memperbaiki kinerja. Namun setelah direvisi malah terbalik dan memperburuk citra DPR. Ada banyak kewenangan DPR yang berlebih dan berpotensi melanggar aturan,” jelas Ronald.

Selain keganjilan-keganjilan dalam proses pembuatan dan isinya, pengesahan UU MD3 juga mengisyaratkan kepentingan politik tertentu. Pengesahan sehari sebelum pencoblosan, oleh beberapa pihak, dinilai sebagai upaya menjegal kepemimpinan partai pengusung pasangan Jokowi – Jk.

Andi M. Asrun menjelaskan, dalam aturan sebelumnya, Ketua DPR dipimpin oleh parpol pemenang pemilu. Tapi UU MD3 hasil revisi terbaru mengubah ketentuan itu.

”Sebelum UU MD3 direvisi, ketua DPR dipimpin parpol pemenang pemilu. Namun (diubah) diputuskan divoting. UU MD3 cacat formil,” ungkap Andi.

Peneliti PSHK Ronald Rofiandi juga mencatat, UU MD3 terbaru memberi ruang lebih kepada DPR untuk bisa melawan proses hukum. Misalnya dalam hal pemeriksaan anggota DPR, aparat hukum harus mendapat izin tertentu.

“Revisi UU MD3 merupakan adanya upaya menghalangi proses hukum terhadap kasus korupsi anggota DPR. Adanya ketentuan mengenai hak anggota DPR untuk mendapatkan dana aspirasi atau dana program pembangunan daerah pemilihan. Selanjutnya ketiga adalah hilangnya pasal-pasal yang mengatur keterwakilan perempuan dalam unsur pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan,” jelasnya.

Mengakhiri perbincangan, kedua narasumber berharap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bisa memutuskan uji materi revisi UU MD3 secara rasional dan mempertimbangan kepentingan masyarakat.

Sumber : KBR68H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *