Sihir ISIS di Indonesia
Aspirasionline.com – Nuansa serbahitam menyelimuti Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 16 Maret lalu.
Siang itu teduh ketika ribuan orang datang membawa bendera-bendera hitam bertuliskan kalimat tahlil. Bendera yang digunakan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS, Negara Islam Irak dan Suriah) itu mereka genggam ketika orasi dilangsungkan.
“Kami atas nama kaum muslimin dari Lamongan menyatakan dukungan terhadap tegaknya syariat Islam di negeri Syam, dan tegaknya Daulah Islam Irak dan Syam,” demikian orasi yang ditampilkan di situs video Youtube.
Ketika ISIS mengklaim sebagai pemerintahan khilafah Islam, akhir Juni lalu, ia langsung mencuri perhatian dunia. Pemimpinnya, yang disebut khalifah Abu Bakr al Baghdadi, meminta umat muslim sedunia tunduk padanya. Gerakan ini menguasai lebih banyak wilayah Irak dan Syria ketimbang pemerintahan resmi kedua negara tersebut. Posisi ini didapat lewat teror berkedok agama. Setidaknya 350 orang dilaporkan jadi korban senjata ISIS.
Namun kelompok di Indonesia ibarat terkena sihir ISIS. Kelompok-kelompok lokal yang selama ini percaya pada sistem khilafah satu per satu menyatakan dukungannya pada gerakan tersebut. Sebagian pejuang ISIS di medan perang justru dari Indonesia, tulis Majalah TIME.
Padahal, kata dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muchsin Labib, konflik Suriah adalah urusan politik. Kemudian dipoles nubuat-nubuat seolah jadi perang agama. Kini kelompok militan datang dari negara lain yang sebetulnya tidak berkepentingan dengan politik Suriah.
Ide Khilafah
Sebetulnya ide kekhilafahan buat muslim Indonesia tidaklah baru. Ia sudah muncul lewat gerakan seperti NII, dan belakangan Hizbut Tahrir. Namun kata Muchsin gerakan ISIS berbeda karena hadir “dengan kekuatan militer yang besar, dengan media yang kuat, kemudian ada kaitannya dengan yang kita sebut grand design.”
Gagasan pemerintahan khilafah dalam Islam juga tidak lepas dari perdebatan. “Ketika kekhilafahan Ottoman runtuh, Islam terpecah jadi dua: nasionalis dan khilafah,” jelas Muchsin. Kelompok nasionalis percaya pada sistem negara-bangsa, sementara kelompok khilafah pada sistem khilafah.
Bentuk pemerintahan khilafah juga berubah-ubah dari zaman Nabi Muhammad hingga Ottoman. Bentuk yang umum diakui adalah pemerintahan Nabi Muhammad hingga Ali bin Abi Thalib. “Setelah itu kekhilafahan berubah jadi dinasti. Kerajaan temurun,” jelas Muchsin lagi.
Kata Muchsin, “Sistem khilafah adalah sistem yang partisipatif, dibangun dengan konsep syura. Khilafah tidak dengan pemaksaan.”
Mengkhawatirkan Indonesia
Gerakan ISIS yang menyihir kelompok di Indonesia belum dikhawatirkan Kepolisian. “Mengkhawatirkan itu terkait dengan hal yang mengarah pada kekerasan,” kata Boy Rafli Amar, Juru Bicara Mabes Polri, narasumber lainnya. Sementara kata Boy aksi dukungan seperti di Bundaran HI masih dalam koridor hukum yang berlaku.
Boy melanjutkan, aksi dukungan adalah bagian kebebasan berpendapat dan berkespresi yang dilindungi Undang-Undang. Kepolisian memastikan terus memperhatikan aksi-aksi tersebut. “Apabila ada potensi penyalahgunaan, tentu tidak luput dari perhatian aparat dalam hal ini Kepolisian,” ujar Boy.
Ketika ditanya apakah aksi-aksi itu akan mengarah pada teorisme dalam negeri, Boy berkata, “Berpikir ke arah yang negatif itu tidak salah juga. Akan kami cermati bersama.”
Sementara aksi dukungan terus bermunculan, Kepolisian akan terus melakukan pengawasan.
“Kepolisian tidak tinggal diam, akan terus mencermati fenomena, gejala, indikasi yang mengarah pada instabilitas negara kita,” tegas Boy menutup perbincangan.
Sumber : KBR68H