Akhir Masa Periode Jokowi : Taat Konstitusi atau Tambah Sekali Lagi

Nasional

Wacana soal perpanjangan masa jabatan presiden serta penundaan pemilu akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan publik, beragam reaksi pun bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Hanya ada dua pilihan yang tersedia, melanggar konstitusi atau merubah konstitusi.

Aspirasionline.com – Beberapa hari belakangan Indonesia dihebohkan dengan isu perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 periode. Isu tersebut terus bergulir dan menjadi gejolak politik di masyarakat.

Isu yang awalnya digelindingkan oleh beberapa elit politik itu kemudian memancing reaksi dari masyarakat. Banyak penolakan yang muncul silih berganti. Yang terbaru tentu saja aksi para mahasiswa pada sebelas April kemarin di depan Gedung DPR MPR RI.

Staf Khusus Ketua DPR RI, Ujang Komarudin, menyatakan gaya politik Jokowi dapat dibaca dengan jelas. Ketidaktegasan Jokowi dalam beberapa hari belakangan ketika menanggapi isu yang saat ini sedang hangat di masyarakat telah menunjukkan gaya politiknya.

“Gaya politik jokowi itu malu malu tapi mau,” jelas Ujang ketika diwawancarai oleh Aspirasi Jumat, (08/04) lalu.

Ujang sendiri di satu sisi meyakini bahwa tidak ada penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan. Namun, ia mengingatkan bahwa baik penundaan maupun perpanjangan masa jabatan presiden berbeda dengan isu Jokowi tiga periode.

Menurut penjelasan Ujang, penundaan atau perpanjangan ini artinya tidak ada pemilu, masa jabatan Jokowi pada periode keduanya tetap akan berakhir tahun 2024. Namun, ia akan kembali mengikuti pemilu untuk tetap mewujudkan tiga periode tersebut.

“Jokowi tidak menyetop isu Jokowi tiga periode, tapi menyetop penundaan pemilu,” tegasnya.

Isu Tiga Periode dan Nasib Konstitusi Negara

Presiden terikat dengan konstitusi yang sampai saat ini masih berlaku dan belum dilakukan perubahan. Meskipun begitu, ruang untuk melakukan perubahan masih terbuka, tetapi perubahan tersebut juga harus konstitusional.

Dosen Hukum Tata Negara UPN Veteran Jakarta, Wicipto Setiadi, beranggapan jika perubahan dilakukan tetap harus ada hal-hal yang diperhatikan agar tetap konstitusional, baik itu prosedur, substansi, maupun etika atau kepantasannya.

“Jangan karena hukum tidak sesuai atau ada keinginan tertentu dilakukan perubahan,” jelasnya ketika diwawancarai Jumat, (08/04) lalu.

Menurut Wicipto, penambahan masa jabatan menjadi tiga periode mengharuskan adanya perubahan konstitusi. Jika tidak mengubah konstitusi maka artinya hal tersebut akan melanggar konstitusi itu sendiri.

Wicipto sendiri menganggap tidak etis jika melakukan perubahan terhadap konstitusi terkait isu tiga periode tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi pandemi maupun kesulitan ekonomi yang menurutnya sudah tidak relevan untuk masuk kategori darurat atau tidak normal.

“Hukum normal diterapkan untuk keadaan normal juga, kemudian jika ada kejadian yang tidak normal maka hukum yang ditetapkan juga tidak normal, jangan dibalik,” tegas pria yang juga pernah menjadi Staf Ahli Menteri Hukum dan Ham itu.

Pikir-Pikir Kembali Mengubah Konstitusi

Keinginan untuk mengubah konstitusi demi mewujudkan terjadi periode yang ketiga untuk masa jabatan presiden hendaknya dipertimbangkan lebih lagi. Hal ini karena tentunya perubahan konstitusi akan berdampak besar pada jalannya hukum di suatu negara.

“Jika suatu konstitusi dilakukan perubahan secara cepat, konstitusi tersebut tidak berwibawa,” terang Wicipto melanjutkan penjelasannya.

Wicipto juga menyinggung soal kemungkinan dampak yang akan muncul di masyarakat. Menurutnya, perubahan konstitusi bisa saja akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat yang pro maupun yang kontra.

“Jika hal tersebut (tiga periode, red) dipaksakan, maka tujuan mensejahterakan rakyat menjadi terganggu.” ungkap Wicipto.

Hal tersebut juga diamini oleh Ujang, menurutnya Jokowi harus memberikan pernyataan yang lebih tegas terkait isu yang bergulir kencang tersebut. Apalagi terkait abu-abunya pernyataan antara penundaan pemilu, penambahan masa jabatan, maupun Jokowi tiga periode.

Ia beranggapan jika hanya presiden hanya memberikan pernyataan untuk tetap taat konstitusi, maka itu tidaklah cukup. Menurutnya, taat konstitusi masih memiliki makna yang bercabang dan tidak betul-betul tegas pendiriannya.

“Pak Jokowi mestinya mengatakan ke publik, pada masa kepemimpinan saya tidak akan ada amandemen. Sehingga tidak ada penundaan, (tidak ada, red) Jokowi tiga periode,” tutupnya.

Reporter : Pingkan Mg., Diva Mg. | Editor: Ryan Chandra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *