JPPR: 188 Juta Orang Datang ke TPS Saat Pilpres
Aspirasionline.com – Kita patut bersyukur bisa melewati agenda nasional pemungutan suara pemilu presiden 9 Juli dengan aman. Apresiasi kepada KPU dan seluruh penyelenggara pemilu. Tapi penyelenggaraan pemilu presiden lalu masih belum sempurna.
Ada catatan dan evaluasi yang musti kita lakukan agar pemilu presiden lima tahun mendatang, yaitu 2019 bisa lebih baik lagi. Terutama seperti yang kita hadapi belakangan ini; soal survei atau hitung cepat pilpres yang bermasalah. Juga sorotan evaluasi terhadap perlindungan kepentingan kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, difabel dan kaum marjinal lain.
Dalam perbincangan di Pilar Demokrasi KBR, Deputi Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz menuturkan ada perbedaan dalam penyelenggaraan pemilu presiden 2014 dengan pemilu presiden 2009. Salah satunya adalah antusias masyarakat yang besar yang tidak terakomodasi oleh penyelenggara pemilu.
“Kita mengapresiasi masyarakat pemilih. Ada 188 juta orang yang datang ke TPS dengan damai. Partisipasi masyarakat di pemilu presiden sangat tinggi jika dibandingkan dengan pemilu legislatif. Selain itu ada hal yang berbeda dari pemilu presiden kali ini, salah satunya adalah polemik hitung cepat yang berbeda,” ujar Masykurudin.
Dari aspek pemilih, masalah hitung cepat mendapatkan perhatian yang membuat masyarakat khawatir terkait suara yang sudah diberikan. Masyarakat mempertanyakan ke mana larinya suara nurani yang sudah diberikan. “Masalah hitung cepat membuat masyarakat khawatir dan berfikir curiga,” lanjut M. Hafidz.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu juga masih menemukan kendala akses masyarakat menggunakan hak pilihnya.
“Dalam evaluasi pemilu presiden 2014, kami menemukan masih ada masyarakat yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Banyak masyarakat yang bekerja tidak bisa menggunakan hak pilih. Apalagi, untuk kelompok disabilitas yang masih tidak bisa menggunakan hak pilih. Kita sudah berikan beberapa catatan, apa yang belum tercapai dalam pemilu presiden 2014 ini,” jelas anggota Nasrullah ketika dihubungi KBR.
Nasrullah menambahkan, Bawaslu yakin jika KPU sudah berusaha menjalankan pemilu dengan maksimal. Namun, jika terjadi kekurangan itu karena ada faktor tertentu seperti kekurangan logistik yang di luar perkiraan.
“Ada satu catatan di Cipinang, karena kekurangan logistik, ada saudara kita yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya,” ucapnya.
Mengenai kelompok disabilitas dan kelompok masyarakat di lembaga pemasyarakatan, Bawaslu juga menilai KPU sudah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya. “Kita tahu di Lembaga Pemasyarakatan itu ada pendatang baru. Mungkin saja mereka tidak terdata saat pendataan pemilih. Perlu ada manajemen pengelolaan logistik bisa diatur sedemikian rupa di tingkat Kabupaten dan Kota, bahkan bisa memindahkan langsung logistik yang ada di TPS yang memiliki sisa surat suara,” tambah Nasrullah.
Tapi menurut Deputi Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz, KPU belum cukup mampu mengakomodasi hak pilih masyarakat. Seperti terlihat dari mencoloknya masalah formulir A-5.
“Antusiasme yang tinggi menyebabkan banyak masyarakat tidak bisa mengurus formulir A-5. Kita memiliki catatan bahwa KPU belum cukup maksimal mengakomodasi hak pilih. Kalau di pilpres sesungguhnya lebih mudah karena surat suaranya sama. Asal dia punya hak pilih dan terdaftar,” tegas Hafidz.
Menutup perbincangan, Deputi Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz meminta agar KPU bisa menjaga independensi mulai dari tingkat PPS hingga Kabupaten Kota. Menurut dia, sumber daya manusia yang rendah menyebabkan tidak ada kemajuan dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Sumber : KBR68H