Perempuan Mahardhika dan FPL gelar media briefing, tagih komitmen negara dalam lambatnya implementasi UU TPKS sejak disahkan tiga tahun yang lalu.
Aspirasionline.com — Perempuan Mahardhika dan Forum Pengada Layanan (FPL) menggelar media briefing dengan tajuk Menagih Komitmen Negara dalam Mewujudkan Upaya Pencegahan, Penanganan, Perlindungan dan Pemulihan yang Komprehensif bagi Korban Kekerasan Seksual di Gedung Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Pusat, pada Kamis, (22/5).
Acara ini digelar sebagai upaya dalam merefleksi tiga tahun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sejak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, (12/4/2022).
Ina Irawati, dari Women Crisis Centre (WCC) Dian Mutiara dan Tim Advokasi UU TPKS Forum Pengada Layanan, mengatakan bahwa masih ada tiga dari tujuh peraturan turunan yang hingga kini masih belum disahkan.
Peraturan turunan tersebut mencakup Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dana Bantuan Korban TPKS, RPP Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4PTPKS), dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.
Menanggapi hal ini, Margareth Robin, Asisten Deputi Perumusan dan Koordinasi Kebijakan Bidang Perlindungan Hak Perempuan mengungkapkan bahwa rumusan turunan peraturan tersebut sudah disampaikan dan dalam menunggu penetapan oleh presiden.
“Turunan Undang-Undang TPKS tadi sudah saya sampaikan semuanya, sudah tinggal pada tahap terakhir dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) akan terus memantau dan mendorong agar turunan Undang-Undang TPKS yang sudah kami sampaikan tadi agar segera diproses dan ditetapkan oleh presiden sehingga dapat memberikan pemenuhan hak,” ungkap Margareth dalam media briefing pada Kamis, (22/5).
Batu Sandungan dalam Implementasi UU TPKS
Meningkatnya kasus kekerasan seksual di berbagai daerah di Indonesia telah mendorong masyarakat sipil dan komunitas perempuan untuk mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) TPKS.
Upaya pembentukan UU TPKS telah lebih dari satu dekade diperjuangkan oleh berbagai organisasi sipil dan perempuan, hingga akhirnya pada Minggu, (9/5/2022) undang-undang ini disahkan melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Kendati demikian, tiga tahun setelah disahkan, UU TPKS masih belum menunjukan perubahan yang progresif dan masih banyak sekali kasus kekerasan seksual yang tidak menggunakan UU TPKS dalam proses hukumnya.
Temuan dari FPL telah mencatat 45,2% organisasi cukup sering menggunakan, 18% kadang-kadang, 14% jarang dan bahkan masih banyak yang belum menggunakan UU TPKS.
Ajeng Gandini Kamila, Program Manager dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyoroti rendahnya penggunaan UU TPKS dalam proses hukum disebabkan juga oleh kurangnya pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap teknis penerapan UU TPKS.
Kurangnya pemahaman dari APH membuat proses hukum kembali menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai landasan hukum. Sedangkan, peraturan ini tidak mengakomodir seluruh tindak kekerasan seksual.
“Karena memang aparat penegak hukum yang enggan menerapkan Undang-Undang TPKS itu, memang enggak paham dan enggak tahu teknisnya bagaimana dan mereka familiarnya dengan KUHP,” ungkap Ajeng.
Pasal turunan yang belum sepenuhnya lengkap juga turut memengaruhi minimnya penggunaan UU TPKS oleh APH. Padahal aturan turunan ini merupakan hal-hal krusial yang dapat menjamin efektifitas dari implementasi UU TPKS.
Lebih lanjut, menurut hasil riset dari ICJR, masih banyak kendala yang terjadi dari bidang hukum yang dapat melemahkan penggunaan UU TPKS bagi korban. Salah satunya, Ajeng mengatakan, APH lebih memprioritaskan penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dibawah umur dibandingkan perempuan dewasa.
Kendala lain juga datang dari melemahnya komitmen-komitmen hingga kurangnya APH dalam menempatkan diri pada sudut pandang korban. APH terkadang memberikan pertanyaan yang menyudutkan dan memaksa korban untuk membuktikan sendiri mengenai bukti kekerasan seksual yang dialami.
“Semuanya (isi di dalam KUHP) itu orientasinya pokoknya pelakunya dihukum tinggi, denda semaksimal mungkin. Padahal yang didorong di TPKS adalah restitusi. Restitusi itu buat korban, (kalau) denda masuknya ke kas negara, enggak nyambung,” tegas Ajeng.
Cenderung Mendapat Kekerasan Berlapis, Perempuan Pekerja Perlu Dilindungi Perangkat Hukum
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, mengatakan bahwa terjadinya kasus kekerasan seksual dipengaruhi oleh relasi kuasa dan gender, salah satunya terhadap perempuan pekerja.
Timpangnya relasi kuasa menempatkan perempuan pekerja di posisi rentan. Banyak pihak yang mendesak untuk mengesahkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, salah satunya adalah deklarasi dukungan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Dalam membuktikan komitmennya, APINDO membentuk Standard Operating Procedure (SOP) pencegahan kasus kekerasan seksual.
Kendati demikian, implementasi SOP di tempat kerja dirasa masih kurang. Salah satu penyebabnya dikarenakan komitmen pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) masih lemah serta munculnya intimidasi kepada anggota satgas PPKS selama mendampingi korban.
“Intimidasi terjadi pada anggota Satgas, jadi ini tidak hanya berita-berita yang kita tahu atau peristiwa-peristiwa yang kita tahu sebelum UU TPKS, setelah UU TPKS pun itu masih terjadi,” ungkap Ika pada Kamis, (22/5).
Ika turut menambahkan bahwa masyarakat dan lembaga pelayanan lainnya harus secara aktif dan bersama-sama menagih komitmen kepada pemerintah dalam menyempurnakan aturan turunan UU TPKS.
“Menurut saya bagaimana kita menagih komitmen negara, karena komitmennya sudah ada, tapi melemah. Nah, jadi perlu kita tagih,” pungkas Ika.
Menanggapi hal ini, Margareth sebagai perwakilan KemenPPPA menilai bahwa UU TPKS sudah cukup memadai untuk menangani kasus kekerasan seksual, namun belum menumbuhkan efek jera sehingga perlu dievaluasi kembali. Margareth turut menambahkan, apabila trauma korban tidak disembuhkan, dikhawatirkan akan menciptakan efek domino yang membuat korban beralih menjadi pelaku.
“Banyak pelaku yang memiliki latar belakang traumatis, mungkin karena pernah mereka menjadi korban. Ini menciptakan efek domino di masyarakat, sehingga penanganannya juga tidak mudah,” jelas Margareth.
Lebih lanjut, Margareth menambahkan bahwa kehadiran UU TPKS merupakan wujud kehadiran nyata negara untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual dan advokasi untuk memahami jenis kekerasan seksual. Sehingga implementasinya nanti dapat memberikan akses keadilan bagi korban dan memberikan rehabilitasi ke pelaku.
“Hadirnya Undang-Undang TPKS ini merupakan wujud kehadiran nyata negara dalam upaya mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual dan perlu advokasi yang lebih mendalam kepada aparat penegak hukum agar memiliki pemahaman terhadap sembilan jenis kekerasan seksual yang ada di Undang-Undang TPKS,” tukas Margareth.
Foto: Fabiana Amhnun
Reporter: Santi, Mg. | Editor: Fabiana Amhnun