Aksi “Mesin Harus Berbenah” Mahasiswa Teknik Mesin UPNVJ Tuntut Kejelasan Akademik

CategoriesBerita UPN

Permasalahan akademik di prodi Teknik Mesin UPNVJ memicu aksi mahasiswa bertajuk “Mesin Harus Berbenah.” Mahasiswa menuntut kejelasan terkait keterlambatan penginputan nilai, ketidaksesuaian pembagian konsentrasi, serta kebijakan akademik yang dinilai merugikan.

Aspirasionline.com – Carut-marut masalah yang dirasakan mahasiswa Teknik Mesin Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) memuncak dengan terselenggaranya aksi bertajuk “Mesin Harus Berbenah” di depan gedung Fakultas Teknik (FT), Limo, Depok pada Kamis, (20/2).

Di hadapan para pemangku kebijakan FT, mahasiswa program studi (prodi) Teknik Mesin dari angkatan 2022, 2023, dan 2024 menggelar aksi dengan membentangkan spanduk tuntutan. Sorak-sorai nyanyian Mars Teknik Mesin menggema, menambah semangat dalam unjuk rasa ini.

Aksi ini dipimpin oleh Raffi Indrajati, Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin (HMTM) 2025. Dalam orasinya, Raffi menyoroti keresahan mahasiswa terkait keterlambatan penginputan nilai oleh dosen, yang hingga kini belum juga keluar sejak tahun lalu.

“Nilainya belum keluar sampai saat ini, dan hal itu juga pernah kejadian di angkatan 2021. Hal ini sudah dua kali terjadi teman-teman,” tegas Raffi dalam orasi pada Kamis, (20/2).

Empat tuntutan diserukan pada aksi ini. Pertama, surat pernyataan bersalah dari dosen atas keteledoran yang berulang. Kedua, jaminan hak mahasiswa mendapatkan dosen pembimbing dengan rasio yang seimbang. Ketiga, penghapusan mata kuliah konsentrasi yang dapat diambil lintas konsentrasi. Keempat, penghentian kelas daring, kecuali untuk kelas besar atau dosen purnawirawan di atas 65 tahun.

Berdasarkan wawancara ASPIRASI dengan Firmansyah, mahasiswa Teknik Mesin angkatan 2022, ia menyatakan bahwa sebelum menggelar aksi, mahasiswa telah beberapa kali melakukan audiensi dengan pihak prodi untuk mencari solusi, salah satunya mengenai masalah penginputan nilai. Namun, respons yang diberikan dinilai kurang memuaskan dan justru merugikan mahasiswa.

“SKS (Satuan Kredit Semester) kita yang sudah kita korbankan di KRS (Kartu Rencana Studi) ini kan berkurang, yang mana dari SKS yang hangus ini kan bisa kita manfaatkan untuk mata kuliah lain juga tentunya,” ujar Firmansyah kepada ASPIRASI pada Kamis, (20/2).

Polemik Audiensi yang Tak Kunjung Menghadirkan Solusi

Berdasarkan keterangan Bima Rakha, Wakil Ketua HMTM  2025, sejak 17 Januari 2025, audiensi besar bersama Fahrudin selaku Kepala Program Studi (Kaprodi) telah digelar.

Audiensi tersebut digelar guna mensosialisasikan mekanisme pembagian konsentrasi. Forum tersebut mencapai kesepakatan dan janji bahwa hasil plotting mahasiswa akan diberikan paling lambat satu minggu setelah audiensi.

Namun, seiring waktu berjalan, janji itu seolah menguap tanpa jejak. Hingga 4 Februari 2025, tepat sehari sebelum pengisian KRS, mahasiswa masih tidak mendapatkan kejelasan dari Kaprodi terkait hasil pembagian konsentrasi yang telah disepakati. 

“Sampai pada 4 Februari 2025 yang notabenenya H-1 pengisian KRS, tidak ada tanda-tanda dari Kaprodi maupun jajarannya mengenai kesepakatan yang belum dikirim juga,” jelas Bima kepada ASPIRASI saat dihubungi melalui Instagram pada Minggu, (23/2).

Hal ini mendorong Bima dan Raffi untuk kembali mencoba menghubungi Fahrudin untuk meminta kepastian. Namun, kekecewaan terhadap respon yang diberikan membuat mereka memutuskan untuk menghubungi Arifudin, Sekretaris Prodi (Sesprodi).

“Berkat ketidakpercayaan kami terhadap Kaprodi, kami juga melakukan audiensi terhadap sekretaris prodi mengenai topik plotting-an, hingga nilai yang belum keluar,”  ujar Bima.

Bagai petir menyambar di teriknya matahari di siang hari, Fahrudin secara tiba-tiba mengirimkan hasil plotting-an di pukul 23.30 WIB, hanya 30 menit sebelum hari pengisian KRS.  

Alih-alih menjadi angin segar, nyatanya hasil plotting-an tersebut tidak sesuai dengan apa yang disepakati saat audiensi. 

“Sekitar pukul 23.30 (WIB), 4 Februari 2025 akhirnya Kaprodi mengirimkan hasil plotting-an yang ternyata tidak seimbang dan membuat mahasiswa dilema,” ungkap Bima. 

“Mau tidak mau mahasiswa harus mengikuti ketidaksesuaian plotting-an tersebut,” lanjutnya. 

Kegelisahan pun memuncak, menyulut mahasiswa menggelar audiensi besar di ruang rapat FT setelah masa pengisian KRS. Forum kali ini menjadi panggung bagi mahasiswa menuntut pertanggungjawaban Kaprodi dan jajarannya yang dinilai acuh terhadap aspirasi mahasiswa.

“Setelah masa pengisian KRS, (kami) melakukan audiensi besar di ruang rapat FT mengenai kelakuan Kaprodi dan jajarannya yang kerap menghiraukan pendapat mahasiswa,” jelas Bima.

Audiensi tersebut menghasilkan solusi yang salah satunya adalah surat perjanjian bahwa hal seperti ini tidak akan terulang pada angkatan selanjutnya. Namun, janji kembali tinggal janji. Hingga aksi mahasiswa berlangsung, surat tersebut tidak kunjung diterbitkan. 

“(Audiensi tersebut) menghasilkan beberapa solusi, termasuk surat perjanjian bahwa kejadian ini tidak akan diulangi pada angkatan setelah kami. Namun, hingga saat aksi dijalankan, surat pernyataan tersebut tidak pernah turun,” tukas Bima.

Dua Poin Tuntutan yang Gugur dalam Aksi “Mesin Harus Berbenah”

Setelah melalui serangkaian diskusi panas, aksi yang mulanya membawa empat poin tuntutan ini ternyata menghilangkan dua poin tuntutannya. 

Poin pertama  yang dihilangkan adalah jaminan hak mahasiswa untuk mendapatkan dosen pembimbing dalam konsentrasi yang memiliki rasio dosen seimbang.

Mahasiswa menilai bahwa rasio dosen yang ideal adalah 1:8 dan bukan 1:17, seperti yang terjadi di konsentrasi Material. Di Material, terdapat 17 mahasiswa, namun hanya memiliki satu dosen pembimbing. 

“Kita mengkaji bahwasanya dosen maksimal rasionya 1:8 dengan anak bimbingannya. Sementara ini kasusnya di material itu satu dosen mengampu dan sementara kelasnya ada 17 orang,” jelas Raffi. 

Berdasarkan pantauan reporter ASPIRASI, Fahrudin turut hadir dalam aksi dan menegaskan bahwa rasio dosen yang diberlakukan sudah sesuai standar yang ditetapkan. 

“Rasio dosen itu paling minimum ada di 8, maksimum itu ada di 10. Prodi memberikan itu sebagaimana sudah tercantum dalam peraturan,” tegas Fahrudin kepada massa aksi pada Kamis, (20/2). 

Dirinya menambahkan bahwa mahasiswa bisa mengajukan bimbingan ke dosen di luar konsentrasinya, asalkan dosen yang bersangkutan bersedia. 

Lebih lanjut, poin lain yang gugur adalah penghapusan mata kuliah konsentrasi yang dapat diambil oleh semua mahasiswa lintas konsentrasi. 

Hal tersebut menjadi sorotan dalam poin ini adalah hadirnya mata kuliah kecerdasan buatan yang dinilai tidak relevan bagi beberapa konsentrasi. 

“Seharusnya kita bisa mengambil mata kuliah konsentrasi yang kita tuju, malah di akal-akalin mata kuliah Kecerdasan Buatan! yang mana itu tidak relevan dengan konsentrasi yang kita pilih,” tukas salah seorang mahasiswa lainnya dalam orasinya pada Kamis, (20/2). 

Menanggapi hal tersebut, Oktaviandri selaku Dekan FT menjelaskan bahwa kebijakan terkait mata kuliah Kecerdasan Buatan adalah bagian dari arahan nasional terkait kurikulum berbasis revolusi industri 4.0. 

“Jadi, izin meluruskan, Itu (Kecerdasan Buatan) bukan mata kuliah mengada-ada, tapi mata kuliah yang ini kan instruksi dari kementerian, negara ya, negara menyuruh agar masuk ke unsur revolusi industri 4,” terang Oktaviandri dihadapan massa aksi pada Kamis, (20/2). 

Meskipun dua tuntutan telah digugurkan, massa aksi tetap mempertahankan dua tuntutan lain, yaitu pembuatan surat pernyataan bersalah dari tenaga dosen terkait keteledoran akademik yang berulang, serta poin mengenai pemberhentian kelas daring di luar jadwal kelas besar dan dosen berusia di atas 65 tahun.

Arifudin, selaku dosen yang bertanggung jawab untuk masalah keterlambatan penginputan nilai, mengakui bahwa hal tersebut adalah kesalahannya dan meminta maaf kepada semua mahasiswa terdampak.

“Kepada seluruh mahasiswa teknik mesin terutama angkatan 2022, saya mohon maaf karena memang bisa dibilang ada kesalahan dari saya.” ucap Arifudin di depan massa aksi pada Kamis, (20/2). 

“Mengapa saya seperti ini itu juga ada hal-hal lainnya yang saya tidak perlu jelaskan,” lanjutnya. 

Bersamaan dengan ini, pernyataan berani yang dilontarkan Arifudin bahwa dirinya akan menanggung biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa yang perform jika hal ini terulang kembali, sontak menarik perhatian massa aksi. 

“Jika anda khawatir saya mengulangi hal ini lagi, saya janji tidak akan melakukan hal yang sama. Kemudian jika anda berimbas pada UKT, saya tanggung,” pungkas Arifudin. 

Reporter ASPIRASI telah berupaya menghubungi Fahrudin untuk meminta konfirmasi lebih lanjut terkait permasalahan akademik yang terjadi, namun belum mendapatkan respon hingga berita ini terbit. 

 

Foto: Calvin

Reporter: Tia & Safira | Editor: Nabila Adelita. 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *