Mengenang Kisah Munir hingga Sejarah Kelam Negara melalui Lagu Di Udara
Produser : Efek Rumah Kaca
Penulis : Cholil Mahmud
Genre : Alternatif/Indie, Indonesian Indie
Tahun : 2007
Durasi : 4 menit 36 detik
Menyinggung isu Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah air melalui karya, Efek Rumah Kaca mengabadikan sosok Munir dalam lagu “Di Udara”.
Aspirasionline.com – Lagu yang dirilis pada tahun 2007 silam oleh band ibukota, Efek Rumah Kaca (ERK) bukan hanya menyajikan alunan tangga nada yang merdu, akan tetapi juga menyampaikan makna yang mendalam.
Di Udara, sebagai lagu ke-7 dari album yang bertajuk Efek Rumah Kaca ini memberikan sensasi kepada para pendengar untuk masuk ke dalam sebuah kisah yang memilukan.
“Aku sering diancam juga teror mencekam”
Kalimat di atas sebagai pembuka lagu tersebut menghadirkan sebuah makna mendalam bagi para penikmat musik, terutama yang memahami kaitannya dengan kejadian sejarah kelam Indonesia.
Peristiwa Tewasnya Aktivis HAM Munir, Mendorong ERK untuk Melahirkan Karya Di Udara
Dilansir dari laman Era.id, pembuatan lagu ini berawal dari penulis sekaligus vokalis ERK, Cholil Mahmud, yang terinspirasi dari Film bertajuk ‘Garuda’s Deadly Upgrade’. Film ini merupakan sebuah dokumenter produksi Offstream Production yang menginvestigasi keganjilan-keganjilan dalam kasus kematian Munir.
“Ku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan”
Itulah sebagian lirik yang menjadi pengingat kita semua akan situasi miris yang pernah terjadi di era Orde Baru. Seorang aktivis HAM bernama Munir Said Thalib menjadi sosok inspirasi di balik lagu yang dibuat oleh grup musik Indie ini.
Sebagai aktivis yang vokal dan berani memperjuangkan HAM di Indonesia, Munir telah menorehkan luka yang sangat dalam akan kepergiannya.
Pahlawan aktivis HAM tersebut meninggal saat perjalanannya menuju Belanda pada 7 Agustus 2004 dalam pesawat Garuda GA-974. Hasil otopsi mengungkapkan adanya racun arsenik sebanyak 3,1 miligram dalam tubuh Munir.
Sederet kasus HAM terkenal yang diperjuangkan oleh Munir adalah kasus penculikan aktivis 1998, kasus Trisakti dan Semanggi, Timor-Timur 1999, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, sejak tahun 1998 ruang gerak Munir menjadi terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan semangatnya demi memperjuangkan isu HAM di tanah air.
Munir telah memberikan catatan kepada sejarah politik Indonesia dengan berhasil melengserkan tiga perwira penting militer Komandan Pasukan Khusus (Kopassus), diantaranya adalah Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan.
Semangat advokasi yang Munir kerahkan tanpa kenal lelah dan takut menginspirasi banyak orang mengenai pentingnya memperjuangkan isu HAM.
“Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti
Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti”
Lirik yang menjadi chorus dari lagu ini menyodorkan rasa semangat yang membara bak sebuah perlawanan yang tidak akan pernah padam. ERK mengajak para pendengar untuk menjadikan lagu ini sebagai sebuah bentuk perlawanan dan penegakan keadilan HAM di tanah air.
Setumpuk Pelanggaran HAM Pada Era Orde Baru yang Berujung Berdebu
Era Orde Baru kental terhadap peristiwa-peristiwa kelam dan tragis mengenai pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari peristiwa penculikan dan penghilangan secara paksa, tragedi Trisakti, hingga penembak misterius (petrus) kerap dikaitkan dengan kepemimpinan represif Soeharto pada saat itu.
Akan tetapi, tumpukan kasus tersebut tidak pernah menemukan titik terang hingga saat ini. Berbagai tuntutan dan aksi telah dilakukan oleh para keluarga korban dan masyarakat untuk menagih jawaban akan kejelasan siapa yang bertanggungjawab akan peristiwa tersebut.
Mengenai penculikan dan penghilangan orang secara paksa yang terjadi pada tahun 1997 hingga 1998 yang masih menyisakan 13 orang hilang tanpa diketahui keberadaan dan kondisinya. Menargetkan para aktivis, mahasiswa, dan pemuda yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan.
Sementara itu, penembakan misterius yang dianggap sebagai “pembersihan” marak menimpa para preman dan orang-orang yang dianggap mengganggu ketertiban mulai terjadi pada tahun 1982 hingga 1985. Rentetan pelanggaran di masa lalu itu menjadi sejarah gelap yang sampai saat ini tidak pernah terungkap.
Di sisi lain, terjadi pula Tragedi Trisakti pada tahun 1998 yang menewaskan empat mahasiswa dalam aksi demonstrasi penuntutan turunnya Soeharto dari jabatan presiden. Tindakan represif aparat yang membuat hilangnya nyawa mahasiswa membuat bertambahnya dosa negara yang tidak pernah diselesaikan.
Peristiwa kelam yang terjadi tidak akan pernah dapat dilupakan, luka serta kerinduan yang tidak akan terobati. Jawaban akan pertanyaan yang tidak pernah ditanggapi sampai permintaan maaf yang tidak pernah dilontarkan. Pelaku pun tidak pernah diketahui, rasanya akan selalu menjadi benang kusut tanpa solusi yang ditelantarkan negara.
Foto : CNN Indonesia
Reporter: Syifa Aulia | Editor: Nabila Adelita.